Kamis, 29 Mei 2008

pembangunan yang ber-"keadilan"

Etika pada dasarnya sangat terkait dengan nilai-nilai yang diidealkan, terutama hak dan keadilan. Pilihlah salah satu dari nilai-nilai ini dan diskusikan manifestasinya dalam teori maupun kebijakan pembangunan.

Keadilan muncul dalam isu pembangunan terutama setelah pembangunan yang telah dialkukan menimbulkan ketidak-adilan. Keadilan akan muncul ketika menyadari bahwa ada sebagian pihak menjadi korban akan ketidak-adilan. Keadilan menjadi masalah dalam pembangunan ketika ternyata desain pembangunan baik dalam teori dan praktek kebijakan pembangunan selama ini yang didasarkan pada modernitas barat ternyata menimbulakan ketidak-adilan. Model pembangunan yang kemudian disebut sebagai orthodox development theory oleh Rostow dalam The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto menggambarkan bahwa “What is modern is good and what is traditional is bad. Development means becoming modern like the West”. Model pembangunan tersebut menjadi teori pembangunan yang terbaik dan paling berpengaruh di tahun 1950-an dan 1960-an (Foster-Carter, 1976). Model pembangunan ini ternyata menimbulkan masalah ketidak-adilan pada periode berikutnya.

Secara teori, keadilan diartikan oleh berbagai macam perspektif yang masing-masing memiliki indikator yang berbeda-beda untuk mengatakan sesuatu hal tersebut adil atau tidak. Libertarian justice menilai keadilan merupakan jaminan bagi masing-masing individu untuk mendapatkan individual right (liberty). Social justice menilai keadilan berdasar pada equality. Communitarian justice menilai keadilan berdasar keberadaan barang publik (common good). Sedangakan feminist justice menilai keadilan dalam kerangka gender-free society. Keadilan merupakan salah satu nilai etika yang bisa diakui secara universal. Namun terdapat berbagai perbedaan dalam mengartikan dan mengimplementasikannya[1].

Etika pembangunan merujuk pada penggunaan nilai-nilai etis dan normatif pada proses maupun hasil (ends and means) dalam pembangunan. Denis Goulet menjelaskan bahwa ‘“development’ needs to be redefined, demystified, and thrust into the arena of moral debate” (Goulet, 1971). Dengan istilah lain David A. Crocker menggunakan konsep the “theory-practice” of development yang menghubungkan antara teori pembangunan secara normatif dan empiris dengan praktek pembangunan dalam kebijakan dan politik pembangunan[2].

Secara teori, norma atau etika merupakan panduan yang akan mempengaruhi tindakan manusia. Menurut W. David Solomon tindakan manusia melibatkan 3 hal yaitu sebuah aktor yang melakukan tindakan tersebut (agent), tindakan yang dilakukan (action), dan dampak dari tindakan tersebut (consequences) yang merujuk pada 3 teori etika. Virtue theory menekankan pada karakter agen dan mengembangkan konsepsi bagaimana aktor yang ideal secara etis. Deontological theory mendasarkan pada justifikasi moral terhadap tindakan manusia yang menghasilkan aturan-aturan moral. Consequentialist theory menekankan pada konsekuensi dari tindakan sebagai acuan[3]. Dengan kata lain deontological theory akan menila pembangunan sebagai ‘means’ sedangkan consequentialist theory akan menilai pembangunan sebagai ‘ends’.

Ketika memasukkan ‘keadilan’ dalam menilai sebuah model pembangunan maka akan mendorong kita untuk menilai praktek pembangunan melalui kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah (sebagai agen). Etika pembangunan akan mendorong kita untuk menilai apakah kebijakan pembangunan telah mencantumkan nilai keadilan atau tidak? Jika ya, keadilan akan dipandang sebagai ‘means’ ataukah ‘ends’? lalu apakah kita bisa menilai kebijakan pembangunan mana yang lebih baik, menekankan pada ‘means’ atau ‘ends’?

Salah satu kebijakan yang bisa dijadikan contoh untuk menilai praktek etika dalam kebijakan pembangunan adalah kebijakan pemerintah untuk mengijinkan penambangan komersial di kawasan hutan lindung dengan menerbitkan UU no 2/2008. Kebijakan ini merupakan upaya pemerintah untuk memberikan peluang bagi semua pihak yang memiliki keinginan untuk melakukan penambangan di kawasan hutan lindung yang sebelumnya ada dalam otoritas negara. Secara ‘means’, kebijakan ini memberikan jaminan kepada setiap orang untuk mengelola sumber daya alam yang potensial (jaminan individual rights dan liberty) untuk mencapai kemakmuran. Namun jika dilihat dari sisi ‘ends’, kebijakan ini akan memberikan dampak ternyata tidak semua individu mampu memanfaatkan kesempatan yang diberikan pemerintah. Kebijakan pembangunan tersebut justru menimbulkan ketidak-adilan (inequality) karena hanya pemilik modal-lah yang mampu mengakses sumber daya tersebut sehingga pada akhirnya justru menimbulkan distribusi kepemilikan sumber daya tidak seimbang. Lebih jauh lagi kebijakan ini akan memiliki konsekuensi konsentrasi kemakmuran yang tidak merata.

Kita tidak bisa menggeneralisir apakah kebijakan pembangunan yang menekankan pada ‘means’ atau ‘ends’ akan lebih baik diterapkan. Sama seperti ketika kita membicarakan konsep keadilan yang seperti apa yang lebih baik diterapkan dalam kebijakan pembangunan. Dalam prakteknya ada pluralitas desain kebijakan pembangunan yang dianggap lebih tepat untuk diterapkan karena masing-masing komunitas memiliki tujuan pembangunan yang berbeda-beda.

Dalam perkembangan sekarang ethical development mainstreaming sudah menunjukkan perkembangan terutama di negara-negara dunia ketiga. Misalnya dalam MDG’s telah memunculkan upaya gender equality sedang diupayakan meskipun dalam perspektif libertarian. Namun akan menjadi berbeda jikan kita melihat konsekuensi dari kebijakan pembangunan yang dijalankan. Fenomena kebijakan pembangunan saat ini akan memberikan konsekuensi yang jauh berbeda bahkan sebaliknya dari apa yang dirancang sebelumnya. Bukti nyata bagaiman kegagalan model dan kebijakan pembangunan yang selama ini dipraktekkan dan menunjukkan hasil yang berbeda diantaranya bagaimana kebijakan industrialisasi dalam pembangunan justru mengakibatkan pencemaran lingkungan dan krisis energi dunia. Contoh lain yang bisa kita lihat bagaimana MDG’s yang dirancang sebagai program pembangunan untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan dan setelah 7 tahun berjalan justru muncul kondisi krisis pangan dunia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa desain pembangunan dan kebijakan pembangunan yang memasukkan nilai-nilai keadilan (atau nilai-nilai etika yang lain) akan juga dapat menjamin keadilan pada hasil pembangunannya.



[1] Lihat James P. Sterba,” Social Justice” Economics, Ethics, and Public Policy, Charles K. Wilber (ed), Rowman & Littlefield Publisher, Inc.: Maryland, 1998, p.189-213.

[2] David A. Crocker, “Toward Development Ethics”, Economics, Ethics, and Public Policy, Charles K. Wilber (ed), Rowman & Littlefield Publisher, Inc.: Maryland, 1998, p.325.

[3] Lihat W. David Solomon, “Normative Ethical Theories”, dalam Economics, Ethics, and Public Policy, Charles K. Wilber (ed), Rowman & Littlefield Publisher, Inc.: Maryland, 1998, p.121-129.

100 TAHUN (MASIH) TERPERANGKAP UTANG LUAR NEGERI

100 Tahun (Masih) Terperangkap Utang Luar Negeri

Galuh Candra Patria, SIP [1]

As a consequence of having to pay its debts, a country is unable to guarantee its citizens subsistence levels of food, water, clothing and shelter and basic health care and education; in order to service its debt, it is forced to destroy and degrade the environment; by merit of its massive debt burden it is deemed ineligible for much-needed aid

Noreena Hertz, The Debt Threat, 2004

Hutang luar negeri merupakan hal yang tidak asing dalam kebijakan ekonomi sebuah negara, termasuk di Indonesia. Dalam argumentasinya, pemerintah mengambil kebijakan penerimaan hutang luar negeri untuk membiayai defisit anggaran belanja negara.[2] Namun dalam kenyataannya, setiap tahun rancangan anggaran dan pendapatan negara selalu dalam kondisi defisit sehingga hutang luar negeri merupakan bagian dari kebijakan pembiayaan negara setiap tahunnya, bahkan jumlahnya cenderung meningkat dalam anggaran belanja penyesuaian yang daripada rancangan awal yang dibuat oleh pemerintah.

Dalam beberapa tahun terakhir beban hutang luar negeri Indonesia yang dibayar oleh pemerintah tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Padahal beban pembayaran hutang luar negeri yang harus ditanggung pemerintah menghabiskan tidak kurang dari sepertiga jumlah total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebijakan pembubaran CGI dan keputusan pemerintah untuk menghentikan pinjaman dari IMF tidak membuat kebijakan hutang luar negeri dihentikan. Hal ini disebabkan karena meskipun tanpa melalui kedua lembaga tersebut Indonesia masih terus membuat komitmen utang luar negeri secara bilateral.

Dalam konteks ekonomi politik ada dua hal yang mendasari kebijakan luar negeri. Pertama, prinsip keseimbangan neraca pembayaran (balance-of-payment) yang secara ekonomi mendorong pemerintah untuk menutupi defisit anggarannya. Kedua, berbagai macam bentuk bantuan dan pinjaman tersebut merupakan bagian dari program pembangunan yang ditujukan untuk negara-negara dunia ketiga (developing and underdeveloped countries).

Utang Sebagai ‘Instrumen Pembangunan’ Internasional

Sejak kemunculannya pasca Perang Dunia II, berbagai macam bentuk pinjaman dan bantuan luar negeri yang diberikan negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dinilai memiliki kepentingan politik dan ekonomi bagi pihak kreditor. Bahkan ketika Marshal Plan menjadi sebuah ide baru dalam ‘foreign aid’ sudah dinilai memiliki banyak kepentingan ekonomi Amerika selain kepentingan geopolitik dalam situasi perang dingin.[3]

Beginning with Marshal Plan when it was new aid concept, which included a sort of preferential credit that generally benefited the supplier of aid more than recipient.[4]

Marshal Plan generosity: much of the money so provided came back to the USA for the purchase of food , raw materials and capital goods. It was thus a powerful stimulant to American Economy.[5]

Hasil dari penelitian di empat negara di Amerika Latin (Columbia, Chile, Brazil, dan Peru), Teresa Hayter menyimpulkan bahwa hutang luar negeri pada dasarnya bukanlah transfer sumbar daya yang bebas bersyarat. Menurut Hayter ada beberapa hal yang biasa dipersyaratkan dalam pemberian hutang luar negeri. Pertama, pembelian barang dan jasa dari negara pemberi pinjaman. Kedua, peniadaan kebebasan untuk melakukan kebijakan ekonomi tertentu. Ketiga, permintaan untuk melakukan kebijakan ekonomi yang dikehendaki oleh pemberi pinjaman, terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur tangan negara dalam ekonomi.[6]

Wacana-wacana debt trap yang berkembang kemudian membuat banyak pihak, terutama NGO baik lokal maupun internasional menyerukan penghapusan dan penolakan hutang luar negeri. Di banyak negara dunia ketiga menunjukkan fakta bahwa hutang luar negeri justru tidak membantu menyelesaikan masalah kemiskinan mereka. Meningkatnya suku bunga dan nilai tukar membuat jumlah hutang lama semakin membengkak dan membuat negara debitor membayar jumlah yang jauh lebih banyak dari jumlah awal hutang mereka.

From 1970-2002, Africa received some $540 billion in loans and paid back $550 billion in principal and interest. Yet Africa remains today with a debt stock of $295 billion.(Jubilee USA, 2007)

Tidak hanya sampai di situ, bagi negara-negara di Afrika menghabiskan uang lebih banyak untuk membayar hutang daripada berbagai jenis bantuan kemanusiaan yang mereka terima.

IMF dan Bank Dunia menanggapi kritik tersebut dengan mengeluarkan inisiatif baru yaitu mekanisme Heavily Indebted Poor Countries (HIPC) pada tahun 1996 untuk menghapuskan hutang bagi negara-negara yang tergolong sangat miskin. Namun seperti juga syarat untuk mendapatkan hutang luar negeri, mekanisme penghapusan hutang luar negeri melalui HIPC ini juga melibatkan syarat-syarat yang tidak jauh berbeda. Liberalisasi dan privatisasi masih menjadi syarat utama jika sebuah negara ingin menghapuskan hutangnya.

Logika pemberian utang luar negeri bukanlah suatu bentuk ’charity’ untuk membantu negara-negara yang kekurangan pembiayaan untuk membiayai pembangunannya. Dalam sejarahnya pemberian bantuan atau pinjaman sarat dengan berbagai macam kepentingan. Utang merupakan sarana bagi negara-negara kreditor untuk memutar kelebihan modal yang mereka miliki agar tidak menimbulkan masalah jika disimpan di dalam negeri. Oleh karena itu mereka membutuhkan lahan di luar negeri untuk ”menginvestasikan” kelebihan modal tersebut. Susan Strange juga menjelaskan bahwa pinjaman yang diberikan oleh IMF tidak diberikan bagi negara yang dinilai memerlukan atau negara yang paling taat dengan aturan IMF namun diperuntukkan bagi negara yang masalah ekonominya akan berpotensi untuk mengganggu stabilitas ekonomi internasional (Strange, 1973).

Indonesia dan Utang Luar Negeri-(nya)

Sejarah utang luar negeri Indonesia sudah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia. Indonesia menjadi kreditor sejak mengambil alih hutang Hindia Belanda sebagai salah satu hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 sebagai syarat untuk mendapat pengakuan kedaulatan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Pada masa demokrasi terpimpin Presiden Sukarno Indonesia pernah menghentikan pembayaran atas hutang Hindia Belanda dan membatalkan hasil KMB secara sepihak. Namun sejak naiknya Orde Baru Indonesia kembali melakukan ‘kewajibannya’ untuk membayar hutang Hindia Belanda.

Sejka tahun 1966, masyarakat internasional yang dipimpin oleh Bank Dunia telah memainkan peran sangat besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia. IGGI atau CGI merupakan badan yang memungkinkan bagi Indonesia mempunyai mekanisme yang sistematis dan terus-menerus setiap tahunnya menerima utang dari negara-negara kreditor.[7] Meskipun pergantian kepemimpinan terus berlangsung dan bahkan reformasi politik telah digulirkan, namun kebijakan setiap kepemimpinan presiden yang berbeda-beda tersebut tetap memiliki kebijakan yang sama yaitu memasukkan utang luar negeri dalam kebijakan fiskal setiap tahunnya

Penjelasan berikut bisa digunakan untuk menggambarkan seberapa besarnya ketergantungan Indonesia terhadap utang luyar negeri. Untuk tahun anggaran 1988/1989 sebesar 80,86% anggaran pembangunan didanai utang dari IGGI/CGI. Untuk tahun anggaran 1999, 100% anggaran pembangunan harus didanai oleh CGI (Gie, 1999). Dalam kenyataannya anggaran berimbang yang selalu dijadikan dasar untuk menyusun APBN merupakan ”anggaran defisit” yang dijadikan ”berimbang” dengan cara menutupnya dengan utang luar negeri.

Sekitar 80% dari total utang luar negeri yang diberikan oleh kreditor kepada Indonesia berupa utang proyek. Utang proyek merupakan utang yang diberikan oleh kreditor dalam bentuk barang dan jasa. Sebagai kreditor utama JBIC menyumbang 49% dari keseluruhan jumlah utang proyek, sedangkan Bank Dunia 20% dan ADB sebesar 16%. Dengan demikian pinjaman yang diterima dari kreditor sebagian besar tidak berupa cash money, melainkan dalam bentuk barang atau jasa yang berasal dari pihak kreditor. Beberapa proyek-proyek besar seperti P2KP (Urban Poverty Project), PPK (Kecamatan Development Project), bahkan sampai PNPM yang merupakan proyek-proyek yang berskala nasional merupakan program-program yang dibiayai oleh utang luar negeri.

Pihak kreditor yang memberikan ”pinjaman” kepada Indonesia bisa berasala dari lembaga multilateral maupun pinjaman bilateral. Utang luar negeri pemerintah yang terbesar bersal dari Japan Bank International Corporation (JIBC), sedangkan World Bank atau Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) merupakan dua lembaga multilateral yang menjadi kreditor terbesar untuk Indonesia. Sebagian besar utang luar negeri tersebut diberikan melalui mekanisme Official Dvelopment Assistance (ODA) yang bersifat pinjaman lunak. Meskipun bersifat pinjaman lunak yang artinya jangka pengembaliannya yang panjang dan memiliki bunga rendah dan tidak mengikuti mekanisme pasar, pinjaman ini justru mensyaratkan banyak hal.

Bentuk-bentuk persyaratan tersebut salah satunya tercantum dalam Structural Adjustment Program (SAP) atas pinjaman yang diberikan IMF. Berbagai macam kebijakan tersebut tidak ada yang berkaitan dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat apalagi mengentaskan kemiskinan. Pemotongan subsidi dan privatisasi justru membuat beban hidup masyarakat semakin berat. Di banyak negara, termasuk Indonesia anggaran yang dialokasikan untuk pembayaran utang luar negeri jauh lebih besar daripada anggaran pendidikan, kesehatan, dan subsidi pertanian. Bahkan meskipun anggaran untuk ketiga sektor tersebut dijumlahkan.

Selain berbagai macam bentuk persayaratan tersebut masih ada berbagai macam kewajiban yang harus ditanggung oleh penerima pinjaman luar negeri atas beban Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau beban Bank Indonesia. beberapa jenis Beban tersebut adalah sebagai berikut. Bunga Pinjaman, merupakan biaya bunga atas fasilitas pinjaman luar negeri yang telah disediakan yang telah ditarik (disburshed loan); Commitment Fee, yaitu fee yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman (lender) atas komitmen pinjaman yang telah diberikan dan telah dituangkan dalam loan agreement; administration fee, front end fee; dan Agent Fee, adalah fee yang dibayarkan kepada agen yang ditunjuk oleh pemerintah RI dalam rangka perolehan pinjaman sindikasi.[8]

Debt Dependency dan Debt “Trap”

Dari penjelasan di atas bisa menunjukkan bagaiamana ketergantungan Indonesia terhadap uatang luar negeri. Kondisi anggaran belanja pemerintah setiap tahun yang selalu defisit membuat pemerintah secara “otomatis” akan mengimplementasikan kebijakan utang luar negeri setiap tahunnya. Satu hal yang menarik dan sering dicatat sebagai suatu keberhasilan oleh pemerintah bahwa setiap tahunnya meskipun tetap menarik utang luar negeri baru, rasio utang luar negeri terhadap GDP dilaporkan mengalami penurunan. Bagaimana bisa? Secara rasional hal ini sangat wajar karena di lain pihak pemerintah selalu menargetkan pertumbuhan ekonomi yang implikasinya meningkatkan jumlah GDP. Dengan demikian selama percepatan penambahan utang baru tidak lebih besar dari angka pertumbuhan GDP maka rasio utang terhadap GDP akan terlihat mengalami penurunan, namun belum tentu volume-nya mengalami pnurunan.

Satu hal yang perlu dicatat bahwa logika penutupan defisit dengan menggunakan utang luar negeri pada kenyataannya tidak bisa diterima. Dalam ilmu ekonomi pembiayaan luar negeri ini didasarkan atas alasan menutupi balance of payment. Padahal yang terjadi di Indonesia balance of payment tersebut menjadi negatif disebabkan oleh utang luar negeri maka sangatlah tidak masuk akal jika untuk menutupi negative transfer tersebut dengan solusi utang juga. Terlebih lagi pada kenyataannya situasi arus pinjaman luar negeri (sejak tahun 1970-an) menunjukkan besar cicilan hutang dan bunga pinjaman semakin besar sedangkan pinjaman bersih yang masuk dan dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan semakin kecil.[9]

Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan net-negative transfer yang terjadi di Indonesia. Pertama, meskipun pinjaman belum dicairkan pihak debitor sudah harus membayar commitment fee yang besarnya sekitar 1% dari jumlah utang yang telah disepakati. Pemberian pinjaman oleh negara kreditor tidak serta merta langsung dilakukan. Sampai dengan tahun 2005 baru 44% dari total jumlah pinjaman yang disepakati yang sudah dicairkan. Namun pemerintah tetap harus membayar biaya komitmen dari pinjaman yang belum dicairkan, artinya bahkan kita harus membayar untuk sesuatu yang belum kita terima. Kedua, bunga utang dan berbagai macam bentuk ’fee’ lainnya yang harus dibayar oleh kreditor. Ketiga, perbedaan nilai uang (net present value) pada saat pembayaran pinjaman membuat jumlah utang yang disesuaikan dengan nilai uang saat itu bisa meningkatkan jumlah utang yang harus dibayar daripada jumlah aslinya. Alasan-alasan tersebut akan membuat kita berpikir siapakah sebenarnya yang menjadi kreditor?

Bagi Indonesia, debt trap tidak hanya berarti prediksi bahwa Indonesia tidak akan bisa membayar lunas hutang-hutang luar negerinya, tetapi juga sampai kapanpun jika ’politik anggaran’ yang dipakai saat ini terus digunakan maka setiap tahunnya Indonesia dipastikan akan terus menarik komitmen pinjaman luar negeri baru. Dengan demikian status Indonesia sebagai negara debitor tidak akan bisa berubah.



[1] Staf peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta; Research and Campaign Officer sekretariat nasional Koslisi Anti Utang.

[2] Hutang luar negeri merupakan bagian dari modal asing yang digunakan untuk membiayai pembngunan disamping investasi asing dalam bentuk foreign direct investment (FDI) dan investasi portofolio. Lihat dalam Sritua Arief dan Adi Sasono, Modal Asing, Beban Hutang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1987.

[3] Lihat dalam Jacques B. Gelinas, Freedom from Debt, London: Zed Books Ltd, 1998. p 5-6.

[4] Ibid. p. 5.

[5] J.K. Galbraith, A Journey Through Economic Time, p. 147 dalam Gelinas, p. 6

[6] Lihat Teresa Hayter, Aid as Imperialism, 1971 dalam Revrisond Baswir, Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme Indonesia, 2007.

[7] Kwik Kian Gie, Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar, Penerbit Buku Kompas: Jakarta, 2006

[8] Sanuri, Pinjaman Luar Negeri Pemerintah: Loan Agreement hingga Restrukturisasi, Direktorat Luar Negeri Bagian Export Import, Bank Indonesia, 2005.

[9] Arif dan Sasono, op cit. p.23.

UTANG LUAR NEGERI:

UTANG LUAR NEGERI:

BUKAN INSTRUMEN UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT

Galuh Candra Patria, SIP

Utang luar negeri merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk menutupi defisit pembiayaan negara. Dalam beberapa tahun terakhir beban uatng luar negeri Indonesia yang dibayar oleh pemerintah tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Padahal beban pembayaran utang luar negeri yang harus ditanggung pemerintah menghabiskan tidak kurang dari sepertiga jumlah total APBN kita. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebijakan pembubaran CGI dan keputusan pemerintah untuk menghentikan pinjaman dari IMF tidak membuat kondisi menjadi lebih baik. Hal ini disebabkan karena meskipun tanpa melalui kedua lembaga tersebut Indonesia masih terus membuat komitmen utang luar negeri dengan pihak lain.

Pihak kreditor yang memberikan ”pinjaman” kepada Indonesia bisa berasala dari lembaga multilateral maupun pinjaman bilateral. Utang luar negeri pemerintah yang terbesar bersal dari Japan Bank International Corporation (JIBC), sedangkan World Bank atau Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) merupakan dua lembaga multilateral yang menjadi kreditor terbesar untuk Indonesia. Sebagian besar utang luar negeri tersebut diberikan melalui mekanisme Official Dvelopment Assistance (ODA) yang bersifat pinjaman lunak.

Sekitar 80% dari total utang luar negeri yang diberikan oleh kreditor kepada Indonesia berupa utang proyek. Utang proyek merupakan utang yang diberikan oleh kreditor dalam bentuk barang dan jasa. Sebagai kreditor utama JBIC menyumbang 49% dari keseluruhan jumlah utang proyek, sedangkan Bank Dunia 20% dan ADB sebesar 16%. Dengan demikian pinjaman yang diterima dari kreditor sebagian besar tidak berupa cash money, melainkan dalam bentuk barang atau jasa yang berasal dari pihak kreditor. Proyek apa yang akan ditangani oleh dana utang tersebut biasanya juga ditentukan atas proposal negara kreditor bukan pemerintah Indonesia.

Sebagian besar dari jumlah utang tersebut digunakan untuk membiayai proyek pembangunan infrastruktur dan pemliharaan stabilitas ekonomi makro (terutama yang berasal dari ADB). Terlebih lagi fokus utama mereka adalah untuk menagatsi masalh kemiskinan terutama setelah ditetapkannya Millennium Dvelopment Goals (MDGs) pada tahun 2000. Namun satu hal yang perlu dicermati adalah baik proyek pembangunan maupun program restrukturisasi keuangan yang didanai oleh utang luar negeri tersebut tidak digunakan secara efisien. Banyak contoh proyek utang yang didanai oleh Bank Dunia misalnya ternyata tidak tepat sasaran, tidak efisien, bahkan gagal mengatasi persoalan yang ada. Dengan demikian sbenarnya tidak ada nilai lebih atau manfaat yang signifikan yang bisa dinikmati masyarakat atas proyek-proyek yang didanai oleh utang luar negeri ini.

Utang Luar Negeri: Alat Eksploitasi?

Dalam analisis ilmu politik sebuah kebijakan biasanya dilihat sebagai who gets what, how, and when. Sebuah kebijakan dilaksanakan dan dipertahankan bisa hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Melihat fakta bahwa utang luar negeri ternyata tidak bisa dinikmati manfaatnya tentunya bukan rakyat yang menikmati bagian ”kue” yang terbesar. Lebih jauh lagi akan menuntun kita untuk mencari tahu bagaimana implikasi utang luar negeri bagai kesejahteraan rakyat.

Utang luar negeri diberikan kepada negara debitor biasanya bahkan selalu diikuti dengan berbagai macam syarat. Hal-hal yang dipersyaratkan dalam pemberian utang luar negeri biasanya meliputi bentuk-bentuk pembelian barang dan jasa dari negara yang bersangkutan dan permintaan agar negara debitor melaksanakan kebijakan ekonomi tertentu. Semua lembaga debitor, terutama IMF, Bank Dunia, maupun ADB biasanya memberikan syarat pemberian utang yang seragam. Syarat tersebut diantaranya berupa pengendalian inflasi, privatisasi, liberalisasi, dan dukungan terhadap keberadaan investasi asing. Terlebih lagi syarat yang mereka tentukan juga yaitu pemotongan terhadap berbagai macam pengeluaran dalam bentuk subsidi masyarakat karena dinilai tidak efisien.

Bentuk-bentuk persyaratan tersebut salah satunya tercantum dalam Structural Adjustment Program (SAP) atas pinjaman yang diberikan IMF. Berbagai macam kebijakan tersebut tidak ada yang berkaitan dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat apalagi mengentaskan kemiskinan. Pemotongan subsidi dan privatisasi justru membuat beban hidup masyarakat semakin berat. Di banyak negara, termasuk Indonesia anggaran yang dialokasikan untuk pembayaran utang luar negeri jauh lebih besar daripada anggaran pendidikan, kesehatan, dan subsidi pertanian. Bahkan meskipun anggaran untuk ketiga sektor tersebut dijumlahkan.

Lalu siapa yang mendapat keuntungan dari utang luar negeri? Logika pemberian utang luar negeri bukanlah suatu bentuk ’charity’ untuk membantu negara-negara yang kekurangan pembiayaan untuk membiayai pembangunannya. Dalam sejarahnya, utang merupakan sarana bagi negara-negara kreditor untuk memutar kelebihan modal yang mereka miliki agar tidak menimbulkan masalah jika disimpan di dalam negeri. Oleh karena itu mereka membutuhkan lahan di luar negeri untuk ”menginvestasikan” kelebihan modal tersebut.

Utang luar negeri tidak lain adalah menkanisme untuk mengakumulasikan modal bagi pihak kreditor. Hal ini terlihat jelas jika kita mencermati beban apa saja yang harus dibayar negara debitor ketika mereka menerima pinjaman. Tidak hanya utang pokok dan bunga yang harus dibayar kembali oleh debitor tetapi juga harus membayar commitment fee yang besarnya sekitar 1% dari jumlah utang yang telah disepakati. Pemberian pinjaman oleh negara kreditor tidak serta merta langsung dilakukan. Sampai dengan tahun 2005 baru 44% dari total jumlah pinjaman yang disepakati yang sudah dicairkan. Namun pemerintah tetap harus membayar biaya komitmen dari pinjaman yang belum dicairkan, artinya bahkan kita harus membayar untuk sesuatu yang belum kita terima. Ironisnya lagi pemerintah terus melakukan kesepakatan baru untuk menambah utang luar negeri Indonesia.

Pembiayan Alternatif

Melihat kenyataan diatas tentunya sudah sepatutnya jika banyak kritik didesakkan agar pemerintah menghentikan untuk melakukan kesepakatan utang baru. Utang luar negeri yang selama ini tidak bisa dinikmati manfaatnya pun harus dihentikan pembayarannya karena itu merupakan salah satu bentuk odious debt (utang haram). Namun satu hal yang perlu dicatat adalah kita tidak bisa menerima penghapusan utang luar negeri melalui mekanisme Heavily Indebted Poor Countries (HIPC) yang ditawarkan oleh Bank Dunia dan IMF karena mekanisme ini masih mensyaratkan privatisasi dalam penghapusan utang terhadap negara debitor.

Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah apakah Indonesia mampu menutupi kekurangan pembiayaan tanpa harus berhutang, dan dari mana asal pembiayaan tersebut? Indonesia bisa menutupi pembiayaan tersebut jika bisa mebgoptimalkan pembiayaan yang berasal dari dalam negeri. Satu hal yang unik terjadi di Indonesia adalah tingkat utang luar negeri yang tinggi dibarengi dengan tingkat tabungan masyarakat yang tinggi. Persentase LDR yang ada di Indonesia hanya mencapai 60%. Hal ini membuktikan bahwa domestic capital yang ada belum dimanfaatkan secara optimal. Seharusnya ini bisa dimanfaatkan untuk menutup pembiayaan negara tanpa harus berhutang

Seperti telah dijelaskan di atas adalah logika utang luar negeri bukanlah untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terlebih lagi dalam ilmu ekonomi pembiayaan luar negeri ini didasarkan atas alasan menutupi balance of payment. Padahal yang terjadi di Indonesia balance of payment tersebut menjadi negatif disebabkan oleh utang luar negeri maka sangatlah tidak masuk akal jika untuk menutupi negative transfer tersebut dengan solusi utang juga.

Dengan demikian sangatlah logis jika dikatakan bahwa utang luar negeri bukanlah instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Utang luar negeri justru hanya membebani masyarakat. Kenyataan bahwa negara debitor harus membayar jauh lebih banyak dari apa yang mereka diterima justru akan membuat negara debitor lah yang sebenarnya memberikan “subsidi” terhadap negara kreditor yang kebanyakan merupakan negara-negara maju. Oleh karena itu jika kesejahteraan rakyat memnag ingin dicapai maka penghapusan utang lama dan stop pembentukan utang baru merupakan syarat wajib yang harus dilakukan. Jika tidak, Indonesia tetap akan ada dalam posisi debt trap dan rakyat yang harus menanggungnya.

V don’t owe, won’t pay! V

ROAD MAP PENGHAPUSAN UTANG LUAR NEGERI

ROAD MAP PENGHAPUSAN UTANG LUAR NEGERI

Perlu untuk disadari bahwa gerakan mewujudkan penghapusan utang luar negeri (ULN) di Indonesia memerlukan upaya dan strategi yang sistematis. Hal ini sangat penting karena kita berhadapan dengan kekuatan yang lebih establish dan menguasai baik struktur (domestik dan internasional), pola pikir atau paradigma elit yang berkuasa (birokrasi) maupun keberadaan aktor-aktor yang secara sengaja memeliharanya. Tujuan yang ingin kita capai bersama tidak akan bisa tercapai hanya dengan melakukan kampanye, seminar, diskusi, yang sifatnya sporadis. Kegiatan monitoring yang akan dilakukan pun hanya merupakan salah satu bagian dari tahapan dalam road map yang harus kita miliki.

Road map merupakan tahapan-tahapan atau alur yang direncanakan untuk dilewati demi mencapai tujuan yang ingin diraih. Dalam hal ini jika kita akan melakukan monitoring, harus bisa dipetakan bagaimana posisi monitoring terhadap aksi-aksi yang lain. Bagaimana posisi jaringan-jaringan yang ada di daerah dan berhubungan langsung dengan grass root dalam tahapan besar yang sudah dirancang. Sehingga dengan demikian, diharapkan baik monitoring maupun upaya membentuk gerakan sosial untuk mewujudkan penghapusan ULN bisa saling berkaitan –nyambung- dan bisa mendukung satu dengan yang lain.

Dalam monitoring sendiri ada dua hal yang bisa dijadikan strategi aksi. Pertama, monitoring di tingkat grass root sebagai upaya untuk menciptakan kesadaran (consciousness) gerakan sosial atau gerakan rakyat. Pada bagaian ini berhubungan dengan bagaimana membungkus isu ULN dengan bahasa yang lebih bisa diterima masyarakat. Kita membutuhkan semacam need assessment untuk bisa mengetahui apa kebutuhan dasar masyarakat sehingga bisa memasukkan isu ULN melalui aktifitas atau kebutuhan yang setiap hari dihadapi oleh masyarakat secara langsung dan menjadikannya sebagai bagian dari daily need. Tahap selanjutnya setelah kita mampu memetakan kebutuhan dasar masyarakat, yaitu melakukan studi potensi dengan maksud meyakinkan masyarakat bahwa potensi yang ada bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehingga masyarakat juga bias ikut memahami bahwa proyek ULN selama ini tidak relevan lagi dengan apa yang mereka butuhkan. Dua hal tersebut dilakukan seiring dengan upaya identifikasai atau investigasi mengenai dampak dan implikasi dari existing debt yang sekarang sedang berjalan. Proses identifikasi ini bisa memanfaatkan metode monitoring yang umum dilakukan namun dengan tujuan atau membungkus kesimpulan dengan cara yang berbeda dan disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai.

Kedua, yaitu upaya structural monitoring atau monitoring di level sistem dimana selama ini kebijakan ULN dibuat. Tujuan monitoring struktural ini selain memetakan stakeholder yang terlibat dalam sistem pembuatan kebijakan ULN baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi proyek ULN juga untuk mengangkat gerakan sosial yang telah dibangun di level grass root tadi ke level yang lebih tinggi (agregasi gerakan sosial). Tahapan ini dimaksudkan untuk mentransformasikan gerakan sosial yang sudah dibangun menjadi agenda politik atau bahkan untuk membongkar sistem yang ada jika memang diperlukan. Untuk itu diperlukan pemetaan kekuatan sosial-ekonomi-politik untuk menentukan titik-titik vital mana yang perlu ”ditembak”. Kemudian menentukan elemen-elemen mana yang mampu digerakkan untuk mendukung agenda politik yang telah kita buat, misalnya elemen sosial masyarakat yang mana atau seperti apa, atau unit-unit politik seperti lembaga legislatif yang bisa dimanfaatkan.

Mengapa pentingnya road map yang terarah ini ditekankan adalah agar kita bisa melihat gerakan ini sebagai gerakan keseluruhan, bukan parsial. Monitoring –apapun bentuknya untuk melakukan monitoring yang ”patriotik”- harus juga didukung oleh tahapan lain dalam road map. Misalnya bagaimana keberadaan epistemic community yang tidak hanya mendesakkan kebijakan tetapi juga mampu bergerak masif membawa ide-ide anti ULN ini menjadi bagian mindset masyarakat. Oleh karena itu gerakan ini tidak akan berhasil hanya cukup denagn meemikirkan metode teknis apa yang akan diaplikasikan dalam monitoring nanti tetapi juga apa yang akan kita lakukan atas hasil monitoring ini, mau dibawa kemana, bagaimana peran dan posisi elemen-elemen lain yang bisa mendukung upaya ini, dan sebagainya. Jika semua itu bisa terpetakan dan terorganisir dengan jelas maka kita tidak hanya mendapatkan guideline yang lebih jelas atas metode teknis monitoring ”patriotik” yanga akan digarap tetapi juga guideline bagi keseluruhan tahapan yang harus dialui untuk mewujudkan penghapusan ULN.

KEMISKINAN DAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS

KEMISKINAN DAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS

DALAM PERSPEKTIF FEMINIS DAN MARXIS

Isu kemiskinan masih menjadi perhatian utama masyarakat dunia. Arus globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi ternyata tidak berkorelasi positif terhadap penurunan jumlah masyarakat miskin di dunia tetapi justru tidak hanya meningkatkan jumlah masyarakat miskin di dunia melainkan juga kesenjangan yang semakin lebar antara penduduk kaya dan miskin. Pada tahun 2001 tercatat masih ada sekitar 800 juta masyarakat dunia yang kekurangan pangan dan di tahun 2005 UNDP mencatat sekitar 3 milyar orang di dunia hidup kurang dari US$ 2 per hari.[1] Oleh karena itu upaya pengentasan kemiskinan menjadi agenda utama di banyak negara bahkan oleh lembaga internasional termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Masyarakat internasional telah sepakat melakukan upaya dalam sebuah komitmen global yang dinamakan Millennium Development Goals (MDGs). Pada tahun 2000, para pemimpin dari 189 negara sepakat untuk mengentaskan kemiskinan dengan mengadopsi UN Millennium Declaration pada 2000 Millennium Summit di New York, Amerika Serikat. Dalam deklarasi tersebutlah tercantum komitmen MDGs. MDGs terdiri dari 8 goals, 18 target, dan lebih dari 40 indikator dalam berbagai aspek pembangunan ekonomi dan sosial yang mesti dicapai oleh semua negara pada tahun 2015.[2] Untuk masalah kemiskinan, MDGs menargetkan upaya mengurangi setengah proporsi dari jumlah penduduk yang pendapatannya kurang dar US$ 1 per hari antara tahun 1990 dan 2015.

Terlepas dari perdebatan tentang bagaimana menentukan indikator kemiskinan dan tidak mengabaikan hasil yang telah dicapai melalui program-program dalam kerangka MDGs, menarik untuk dilihat apakah MDGs sebagai sebuah ”resep” untuk mengentaskan kemiskinan telah sesuai dengan apa yang diyakini beberapa perspektif, yaitu dalam kacamata feminis dan marxis. Paper ini akan membahas apakah MDGs akan mampu memecahkan masalah kemiskinan dunia. Namun untuk mengetahui hal tersebut tentunya kita harus melihat bagaimana kedua perspektif tersebut mendefinisikan penyebab dari masalah kemiskinan dunia.

MDGs Dalam Perspektif Feminis

Seperti yang kita tahu dalam perspektif feminis sendiri tidak ada satu generalisasi asumsi tentang gender. Menurut mereka gender merupakan konsep yang sangat bias dan tidak bisa dengan mudah diaplikasikan secara global di negara yang berbeda. Karena jika demikian akan terjadi overgeneralisasi terhadap pengalaman perempuan, sedangkan hubungan gender terkonstruksi secara historis dan kultural, oleh karena itu tidak akan sama di satu tempat dengan tempat yang lain.[3] Namun setidaknya mereka memiliki satu penilaian yang sama bahwa batasan gender dan negara –yang menjadi salah satu aktor utama dalam politik internasional- telah ‘menyingkirkan’ perempuan dari kehidupan politik domestik dan internasional.[4] Laki-laki maupun maskulinitas telah mendominasi berbagai konsep dalam hubungan internasional serta mendominasi pembahasan tentang agenda kebijakan domestik maupun internasional.

Akibat dari dominasi maskulinitas tersebut, maka konsep-konsep utama yang sering digunakan dalam analisis hubungan internasional seperti kekuasaan (power), rasionalitas, keamanan, kedaulatan dan kepentingan nasional lebih bersifat androsentris.[5] Hal ini berdampak pada kebijakan yang berhasil diformulasikan dalam analisis tersebut lebih cenderung bersifat maskulin. Salah satu contoh adalah bagaimana perspektif realis yang mendominasi dalam teori hubungan internasional membuat power menjadi fokus utama dalam kebijakan internasional. Orang akan lebih banyak mendefinisikan kepentingan nasional secara power centric dimana konsep kedaulatan dan keamanan tradisional menjadi prioritas utama dalam politik internasional. Untuk bertahan dari dunia yang anarkis maka setiap negara harus mampu berjuang (struggle for power) dengan mengandalkan kekuatan mereka masing-masing (self-help).

Menurut perspektif feminis, rasionalitas yang dibangun oleh perspektif realis yang akhirnya mendefinisikan kepentingan nasional dan kedaulatan adalah kemampuan untuk mengatasi ancaman eksternal membuat kepentingan nasional diinterpretasikan sebagai interaksi yang bersifat exogenous dan bukan bersifat endogenous.[6] Hal ini mencerminkan bagaimana pandangan maskulin dalam melihat dunia. Bagi analisis yang menggunakan perspektif feminis, penjelasan tersebut bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa pengeluaran militer dunia menunjukkan peningkatan tajam.[7] Lalu apa hubungannya jika dikaitkan dengan konteks kemiskinan?

PBB dan seluruh badan-badannya menghabiskan anggaran sebesar $ 20 milyar per tahun untuk membiayai kegiatannya. Ini berarti PBB mengambil sekitar $ 3 dari setiap penduduk dunia. Jika kita bandingkan dengan pengeluaran militer dunia yang mencapai $ 1.118 milyar maka berapa banyak jumlah yang diambil dan dipergunakan untuk membangun persenjataan yang seharusnya bisa didistribusikan kepada penduduk dunia untuk mengurangi jumlah masyarakat yang berpendapatan kurang dari $ 1 per hari. Data lain menunjukkan pada tahun 1998 jumlah pengeluaran militer dunia sebesar $ 780 milyar sedangkan jika dibandingkan dengan pengeluaran di sektor sosial di seluruh negara berkembang hanya sekitar $ 40 milyar (UNDP,1998). Di Amerika Serikat sendiri pada tahun 2006 total pengeluaran untuk anggaran militer dan perang mencapai 41% dari keseluruhan budgetnya. Sedangkan budget yang dialokasikan untuk mengatasi kemiskinan hanya mencapai 12% dari jumlah keseluruhan.[8]

Di sisi lain feminis melihat bahwa perempuan selalu menjadi korban termasuk dalam konteks kemiskinan. Melihat dari komposisi penduduk dunia dimana jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari laki-laki, dari sekitar 1 milyar penduduk dunia yang berpendapatan kurang dari $ 1 per hari sebagian besar merupakan perempuan. UNDP mencatat sekitar 60% dari jumlah pekerja untuk keluarga yang tidak dibayar adalah perempuan.[9] Aktivitas ekonomi yang berkembang sampai saat ini membuat pembagian antara aktivitas produktif yang sebagian besar didominasi laki-laki sedangkan peran perempuan dalam aktivitas domestik lebih banyak diabaikan dan dianggap tidak produktif secara ekonomi. Bahkan perempuan dibayar 20-50 % lebih rendah daripada laki-laki jika dibandingkan dalam pekerjaan yang sama.[10] Oleh karena itu kapitalisme global juga memiliki peran dalam membuat perempuan menjadi korban dalam pembangunan.

Dalam beberapa kebijakan, seperti Structural Adjusment Program (SAP) yang diusung oleh lembaga multilateral seperti IMF juga membawa dampak yang memberatkan terutama terhadap kelompok perempuan.[11] Kebijakan SAP mensyaratkan pemotongan berbagai pembiayaan dan subsidi sosial. Hal ini berdampak negatif bagi perempuan terutama di negara berkembang yang biasanya di tangan merekalah beban untuk memenuhi kebutuhan sosial keluarga harus terpenuhi. Tanggung jawab seorang ibu termasuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya bisa terpenuhi. Bisa dibayangkan bagaimana dampaknya bagi perempuan jika negara memotong subsidi di sektor sosial ini akan menyulitkan mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut bagi keluarganya.

Mulai tahun 1970-an gerakan feminis ini mulai mendapat tempat baik di dalam proses pembuatan kebijakan maupun perkembangan gender mainstreaming dalam pembuatan kebijakan publik. Beberapa konsep emansipasi dalam pembangunan seperti Women in Development (WID) maupun Gender and Development (GAD) telah banyak dipakai meskipun belum mewujudkan kondisi yang ideal. Kebanyakan upaya tersebut hanya mengakomodasi hak-hak perempuan dan kesetaraan gender sebagai nilai dalam pembangunan. Selama ini hanya kelompok feminis liberal yang banyak berpengaruh dalam gerakan emansipasi tersebut. Perjuangan mereka hanya sebatas agar wanita mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki, sedangkan masalah konstruksi gender secara historis dan kultural tidak menjadi perhatian oleh kelompok ini.

MDGs merupakan instrumen yang cukup feminis dalam mengatasi masalah kemiskinan dunia. Prinsip charity yang secara eksplisit termuat dalam komitmen MDGs mencerminkan pendekatan yang jauh dari nilai-nilai maskulinitas. Dalam komitmen tersebut masalah kemiskinan tidak ditangani dengan cara self-help maupun persaingan diantara aktor internasional melainkan membutuhkan kedermawanan. Pendekatan yang melihat upaya mengatasi kemiskinan sebagai bentuk kedermawanan memang sangat menonjol meskipun tidak dominan.[12]

Mencantumkan “Promote gender equality and empowerment of women” (goal 3) dalam salah satu tujuan MDGs merupakan kulminasi dari advokasi dan aksi yang dilakukan oleh gerakan perempuan dunia selama bertahun-tahun. Prioritas terhadap upaya promosi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan merupakan upaya untuk mengakomodasi hak-hak perempuan dan kesetaraan gender sebagai nilai dalam pembangunan.[13] Tidak hanya itu, tujuan MDGs lainnya seperti mengurangi tingkat kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu juga merupakan bentuk upaya mewujudkan equal oportunities bagi perempuan. Selama ini bagi kelompok feminis liberal tanggung jawab menjaga dan memelihara anak (childcare) dianggap membebani perempuan dan mampu menghambat perempuan untuk memperoleh kesempatan yang setara dengan laki-laki. Oleh karena itu mereka menuntut pembagian peran dan tanggung jawab yang sama dalam keluarga serta peran negara untuk menyediakan childcare facilities.[14]

Dengan demikian MDGs merupakan konsep dan upaya penanggulangan kemiskinan yang dinilai cukup feminis paling tidak bagi kelompok feminis liberal. Feminisme dalam MDGs tidak hanya tercermin dalam tujuan-tujuan yang tercantum di dalamnya tetapi juga pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah kemiskinan dunia. Namun demikian, bagi kelompok feminis lain MDGs belum bisa mengatasi permasalahan gender terutama secara historis maupun kultural.

Kemiskinan dalam Kaca Mata Marxis

Salah satu kunci analisis marxisme terhadap hubungan internasional didasarkan pada konsep materialisme historis dimana setiap individu harus memenuhi kebutuhan materialnya sebelum mereka bisa melakukan kegiatan yang lain.[15] Oleh karena itu Marx menganggap bahwa sejarah umat manusia selalu diwarnai dengan perjuangan untuk memenuhi kebutuhan material dasar tersebut. Marx juga membagi manusia kedalam dua kelas yang saling bersaing yaitu kelas borjuis dan kelas proletar atau antara pemilik modal (kapitalis) dan buruh yang memiliki hubungan eksploitatif.

Dua poin utama yang menjadi perhatian dalam analisis marxis adalah kapitalisme global dan international inequality, serta penyebaran kapitalisme secara global melatarbelakangi perkembangan masyarakat modern dan pengorganisasian dalam hubungan internasional.[16] Kapitalisme global menjadi penyebab international inequality karena keinginan untuk mencapai surplus value dan mengakumulasi kapital oleh para pemilik modal dengan cara melakukan eksploitasi terhadap kelas proletar. Upaya struggle of power mengarah pada ekspansi kolonialisme dan perkembangan perdagangan dunia serta pasar global.[17] Seperti sejarah bangsa Eropa dimana mereka melakukan kolonialisme di negara-negara dunia ketiga tidak lain adalah karena dorongan untuk mencari sumber daya sekaligus memperluas pasar bagi hasil produksinya.

Marxisme lebih percaya atas motif-motif kapitalisme daripada nasionalisme dalam melakukan analisis terhadap fenomena global. International inequality yang disebabkan oleh penguasaan sumber daya yang dikontrol oleh sekelompok orang hanya bisa diatasi dengan menciptakan kesadaran kelas diantara kaum proletar (kelas yang tereksploitasi). Oleh karena itu marxisme percaya akan cara-cara yang bersifat revolusioner untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih adil.

Perspektif marxis melihat bahwa golongan masyarakat miskin dan yang paling miskin ada dalam kelas pekerja. Dengan demikian, kemiskinan erat hubungannya dengan kapitalisme dan kelas borjuis (kapitalis). Struktur dan sistem produksi kapitalislah yang menyebabkan kemiskinan, dimana mereka melakukan eksploitasi terhadap buruh untuk mencapai surplus value. Kapitalisme tidak hanya mencari upah buruh yang paling murah atau buruh yang bisa dipekerjakan dengan tidak dibayar tetapi juga untuk mencapai produktivitas dan meningkatkan keuntungan produktivitas buruh dinilai sama dengan mesin.[18]

Dalam perkembangan ekonomi global sekarang yang didominasi oleh liberalisasi dan privatisasi mendorong kepemilikan sumber daya alam oleh segelintir orang. Bagi masyarakat miskin, mereka akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan material dasarnya dan tidak punya pilihan selain masuk ke dalam kelas buruh (proletar). Namun ketika masuk dalam struktur produksi kapitalis mereka hanya mengalami eksploitasi karena upah buruh yang minimal sehingga mendorong kondisi under-consumption. Kondisi under-consumption inilah yang menimbulkan kemiskinan absolut karena mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar manusia untuk bisa bertahan hidup.

Dalam konteks MDGs, perspektif marxis memiliki tempat dimana indikator basis material untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia digunakan sebagai ukuran untuk mengatasi masalah kemiskinan. MDGs memiliki tujuan untuk mengurangi jumlah masyarakat miskin di dunia. Target pendapatan $ 1 per hari yang harus dipenuhi untuk mengurangi extrem poverty dikorelasikan dengan upaya untuk mengurangi kelaparan karena makanan merupakan salah satu kebutuhan material dasar manusia. Selain itu MDGs juga meyakini upaya untuk mengatasi kemiskinan diperlukan upaya global dan kerjasama internasional. Setidaknya kesadaran global nutuk mengatasi masalah kemiskinan harus dibangun. Dalam perspektif marxis pun kesadaran internasional yang melewati batas-batas teritorial negara perlu digalang untuk mencapai tujuan.

Namun pendekatan yang digunakan dalam MDGs masih berlawanan dengan bagaimana seharusnya kemiskinan diatasi. Target MDGs diantaranya yaitu memperluas lapangan kerja di sektor industri yang dinilai produktif dan melakukan kerjasama dengan sektor swasta hanya akan mendorong eksploitasi tenaga kerja dan tidak akan menyelesaikan masalah kemiskinan tetapi justru disitulah akar penyebab kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh keyakinan marxisme bahwa sektor swasta sebagai pemilik modal tidak akan memikirkan kesejahteraan buruh dalam proses produksi tetapi hanya upaya untuk meningkatkan produktivitas dan mengakumulasi keuntungan yang dilakukan dengan eksploitasi terhadap pekerja.

Selain perbedaan pandangan bagaimana menyelesaikan masalah kemiskinan perbedaan juga terlihat pada pendekatan yang diambil. Marxisme yang percaya akan cara-cara revolusioner dan gerakan massa tidak akan mengambil pendekatan charity yang dipakai dalam MDGs. Kedermawanan tidak akan mengatasi akar masalah struktural yang menyebabkan kemiskinan yaitu eksploitasi.

Feminis Marxis: Sebuah Sintesis?

Perspektif marxis feminis bisa dilihat sebagai bentuk kritik terhadap feminis liberal. Menurut mereka, oppression terhadap perempuan bukan merupakan hasil dari bias gender atau tindakan individual tetapi lebih sebagai produk politik, sosial, dan ekonomi, dari struktur kapitalisme.[19] Engels mengklaim bahwa sumber dari women’s oppression adalah keberadaan private property. Kepemilikan pribadi berarti produksi yang dikuasai oleh sekelompok kecil orang, yang didominasi laki-laki, dan berada dalam kelas atas. Masyarakat kapitalis inilah yang kemudian membagi karakter antara rumah dan tempat kerja (‘home’ and ‘work-place’) yang menjadi bersifat ‘private’ dan ‘public’ sphere.[20]

Feminis marxis menganggap division of labour juga terpisah secara sexual berdasarkan laki-laki dan perempuan dimana perempuan berada dalam area private atau home yang dianggap tidak produktif sedangkan laki-laki mendominasi public sphere dimana kegiatan ekonomi produktif berlangsung. Oleh karena itu tidaklah mustahil kepemilikan modal (capital) dikuasai sebagian besar oleh laki-laki, sedangkan perempuan tidak memiliki sumber material untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sehingga sebagain besar jumlah penduduk miskin adalah wanita. Meskipun demikian, perempuan merupakan support system bagi kapitalisme karena aktivitas domestiknya berjasa untuk menjamin laki-laki yang melakukan aktivitas ekonomi di sektor publik bisa berlangsung.[21]

Struktur produksi yang demikian tidak hanya mengakibatkan inequality dalam struktur masyarakat dunia antara pekerja dan pemilik modal tetapi juga antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini perempuan menempati posisi paling bawah dalam rantai eksploitasi kapitalisme. Upah buruh wanita yang lebih murah daripada upah buruh laki-laki merupakan satu bukti eksploitasi terhadap perempuan akibat kapitalisme global. Karena kecenderungan untuk bisa dibayar lebih murah tersebut, pemilik modal juga terdorong untuk memilih mempekerjakan buruh perempuan sehingga cost produksi bisa ditekan untuk meningkatkan akumulasi keuntungan.

Oleh karena itu, bagi kelompok marxis feminis upaya pengentasan kemiskinan tidak hanya sebatas memberikan fasilitas pendidikan dan jaminan kesehatan bagi perempuan seperti yang ditargetkan dalam MDGs tetapi juga mendorong agar perempuan bisa menempati posisi yang lebih equal dengan laki-laki dalam rantai produksi. Mereka juga berusaha menghilangkan struktur kelas yang eksploitatif terhadap perempuan dengan melawan kapitalisme global.

Satu hal yang menarik dari perspektif feminis ini adalah bagaimana cara yang akan ditempuh untuk mengatasi kemiskinan. Apakah lebih cenderung pada marxisme yang percaya pada gerakan revolusioner atau lebih condong pada prinsip feminisme yang berlawanan dengan revolusi yang cenderung maskulin. Ketika menganalisis penyebab kemiskinan sampai bagaimana mengatasinya, feminis marxis bisa menggabungkan antara asumsi perspektif marxis dan feminis. Tetapi untuk melakukannya revolusi dan charity merupakan dua hal yang saling berlawanan. Selama ini memang perspektif feminis liberal lebih mendominasi untuk diterapkan sehingga sulit untuk dilihat bagaimana feminis marxis mengimplementasikan strateginya secara nyata.

Kesimpulan

Perbedaan pandangan dalam menilai akar masalah kemiskinan membuat masing-masing perspektif memiliki strategi yang berbeda-beda tentang bagaimana cara mengatasinya. Meskipun demikian perspektif yang berbeda juga memiliki kesamaan dalam analisisnya bahkan beberapa strategi yang mereka hasilkan juga tidak berbeda secara absolut. Seperti bagaimana perspektif feminis dan marxis menilai MDGs sebagai ’resep’ untuk mengatasi masalah kemiskinan di dunia. Ternyata tidak semua goal dalam MDGs dinilai salah atau benar secara keseluruhan. MDGs ternyata mengakomodasi pandangan kedua perspektif tersebut, meskipun dalam kadar yang berbeda. Bahkan bisa saja terjadi sintesis perspektif yang menggabungkan asumsi dan metodologi analisis keduanya seperti dalam perspektif feminis marxis.

Daftar Pustaka

Haris-White, Barbarra Poverty and Capitalism, December 2005, <http://www3.qeh.ox.ac.uk/pdf/qehwp/qehwps134.pdf>

Linklater, Andrew. ‘Marxism’, in Scott Burchil, Scott, Richard Devetak, et all, Theories of International Relations. Basingstoke: Palgrave

Shah, Anup. World Military Spending, 25 February 2007, <http://www.globalissues. org/Geopolitics/ArmsTrade/Spending.asp>

Sugiono, Muhadi. Kemiskinan, Konsep, dan Pendekatan, makalah dipresentasikan dalam seminar tentang ’Kemiskinan Global’, dalam Diplomatic Course V Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 17 Maret 2006.

Steans, Gill. Gender and International Relations: An Introduction, Polity Press: Cornwall, 1998.

True, Jacqui ‘Feminism’, in Scott Burchil, Scott, Richard Devetak, et all, Theories of International Relations, Basingstoke: Palgrave

United Nation, The Millenium Development Goals Report 2007, New York <http://www.huwu.org/millenniumgoals/pdf/mdg2007.pdf>

United Nation Development Program, Millenium Development Goals: National Reports A Look Trough Gender Lens, May 2003, <http://www.undp.org/women/docs/mdgs-genderlens.pdf>



[1] UNDP melaporkan lebih dari 1 milyar penduduk dunia hidup dengan pendapatan di bawah US$ 1 per hari pada tahun 1990.

[2] 8 tujuan dari MDGs meliputi: mengentaskan kemiskinan ekstrim dan kelaparan; mencapai pendidikan dasar universal; mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; mengurangi tingkat kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya; menjamin kelangsungan lingkungan hidup; mengenbangkan kemitraan global untuk pembangunan.

[3] Jacqui True, ‘Feminism’, in Scott Burchil, Scott, Richard Devetak, et all, Theories of International Relations. Basingstoke: Palgrave. p. 237-238.

[4] Ibid, p. 237

[5] Ibid, p. 254

[6] Ibid, p. 255

[7] Dalam laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) mencatat jumlah pengeluaran militer dunia pada tahun 2006 mencapai $ 1.118 milyar, senilai dengan 2,5% GDP dunia .

[8] Sumber Friends Committee on National Legislation, February 15, 2007 dalam Anup Shah, World Military Spending, <http://www.globalissues.org/Geopolitics/ArmsTrade/Spending.asp>

[9] Sumber UN, The Millenium Development Goals Report 2007, New York <http://www.huwu.org/ millenniumgoals/pdf/mdg2007.pdf>.

[10] Gill Steans, Gender and International Relations: An Introduction, Polity Press: Cornwall, 1998, p. 136.

[11] Ibid, p. 142.

[12] Muhadi Sugiono, Kemiskinan, Konsep, dan Pendekatan, makalah dipresentasikan dalam seminar tentang ’Kemiskinan Global’, dalam Diplomatic Course V Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 17 Maret 2006.

[13] UNDP, Millenium Development Goals: National Reports A Look Trough Gender Lens, May 2003., p. 2.

[14] Steans, op. cit. p. 17.

[15] Andrew Linklater, ‘Marxism’, in Scott Burchil, Scott, Richard Devetak, et all, Theories of International Relations. Basingstoke: Palgrave, p 132.

[16] Ibid. p. i50.

[17] Ibid, p. 134

[18] Barbarra Haris-White, Poverty and Capitalism, December 2005,

[19] Steans, op. cit. p. 18.

[20] Ibid. diambil dari The Origins of The Famil, Private Property and the State yang ditulis oleh Frederick Engels di tahun 1884.

[21] Ibid, p. 19.