KEMISKINAN DAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS
DALAM PERSPEKTIF FEMINIS DAN MARXIS
Isu kemiskinan masih menjadi perhatian utama masyarakat dunia. Arus globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi ternyata tidak berkorelasi positif terhadap penurunan jumlah masyarakat miskin di dunia tetapi justru tidak hanya meningkatkan jumlah masyarakat miskin di dunia melainkan juga kesenjangan yang semakin lebar antara penduduk kaya dan miskin. Pada tahun 2001 tercatat masih ada sekitar 800 juta masyarakat dunia yang kekurangan pangan dan di tahun 2005 UNDP mencatat sekitar 3 milyar orang di dunia hidup kurang dari US$ 2 per hari. Oleh karena itu upaya pengentasan kemiskinan menjadi agenda utama di banyak negara bahkan oleh lembaga internasional termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Masyarakat internasional telah sepakat melakukan upaya dalam sebuah komitmen global yang dinamakan Millennium Development Goals (MDGs). Pada tahun 2000, para pemimpin dari 189 negara sepakat untuk mengentaskan kemiskinan dengan mengadopsi UN Millennium Declaration pada 2000 Millennium Summit di New York, Amerika Serikat. Dalam deklarasi tersebutlah tercantum komitmen MDGs. MDGs terdiri dari 8 goals, 18 target, dan lebih dari 40 indikator dalam berbagai aspek pembangunan ekonomi dan sosial yang mesti dicapai oleh semua negara pada tahun 2015. Untuk masalah kemiskinan, MDGs menargetkan upaya mengurangi setengah proporsi dari jumlah penduduk yang pendapatannya kurang dar US$ 1 per hari antara tahun 1990 dan 2015.
Terlepas dari perdebatan tentang bagaimana menentukan indikator kemiskinan dan tidak mengabaikan hasil yang telah dicapai melalui program-program dalam kerangka MDGs, menarik untuk dilihat apakah MDGs sebagai sebuah ”resep” untuk mengentaskan kemiskinan telah sesuai dengan apa yang diyakini beberapa perspektif, yaitu dalam kacamata feminis dan marxis. Paper ini akan membahas apakah MDGs akan mampu memecahkan masalah kemiskinan dunia. Namun untuk mengetahui hal tersebut tentunya kita harus melihat bagaimana kedua perspektif tersebut mendefinisikan penyebab dari masalah kemiskinan dunia.
MDGs Dalam Perspektif Feminis
Seperti yang kita tahu dalam perspektif feminis sendiri tidak ada satu generalisasi asumsi tentang gender. Menurut mereka gender merupakan konsep yang sangat bias dan tidak bisa dengan mudah diaplikasikan secara global di negara yang berbeda. Karena jika demikian akan terjadi overgeneralisasi terhadap pengalaman perempuan, sedangkan hubungan gender terkonstruksi secara historis dan kultural, oleh karena itu tidak akan sama di satu tempat dengan tempat yang lain. Namun setidaknya mereka memiliki satu penilaian yang sama bahwa batasan gender dan negara –yang menjadi salah satu aktor utama dalam politik internasional- telah ‘menyingkirkan’ perempuan dari kehidupan politik domestik dan internasional. Laki-laki maupun maskulinitas telah mendominasi berbagai konsep dalam hubungan internasional serta mendominasi pembahasan tentang agenda kebijakan domestik maupun internasional.
Akibat dari dominasi maskulinitas tersebut, maka konsep-konsep utama yang sering digunakan dalam analisis hubungan internasional seperti kekuasaan (power), rasionalitas, keamanan, kedaulatan dan kepentingan nasional lebih bersifat androsentris. Hal ini berdampak pada kebijakan yang berhasil diformulasikan dalam analisis tersebut lebih cenderung bersifat maskulin. Salah satu contoh adalah bagaimana perspektif realis yang mendominasi dalam teori hubungan internasional membuat power menjadi fokus utama dalam kebijakan internasional. Orang akan lebih banyak mendefinisikan kepentingan nasional secara power centric dimana konsep kedaulatan dan keamanan tradisional menjadi prioritas utama dalam politik internasional. Untuk bertahan dari dunia yang anarkis maka setiap negara harus mampu berjuang (struggle for power) dengan mengandalkan kekuatan mereka masing-masing (self-help).
Menurut perspektif feminis, rasionalitas yang dibangun oleh perspektif realis yang akhirnya mendefinisikan kepentingan nasional dan kedaulatan adalah kemampuan untuk mengatasi ancaman eksternal membuat kepentingan nasional diinterpretasikan sebagai interaksi yang bersifat exogenous dan bukan bersifat endogenous. Hal ini mencerminkan bagaimana pandangan maskulin dalam melihat dunia. Bagi analisis yang menggunakan perspektif feminis, penjelasan tersebut bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa pengeluaran militer dunia menunjukkan peningkatan tajam. Lalu apa hubungannya jika dikaitkan dengan konteks kemiskinan?
PBB dan seluruh badan-badannya menghabiskan anggaran sebesar $ 20 milyar per tahun untuk membiayai kegiatannya. Ini berarti PBB mengambil sekitar $ 3 dari setiap penduduk dunia. Jika kita bandingkan dengan pengeluaran militer dunia yang mencapai $ 1.118 milyar maka berapa banyak jumlah yang diambil dan dipergunakan untuk membangun persenjataan yang seharusnya bisa didistribusikan kepada penduduk dunia untuk mengurangi jumlah masyarakat yang berpendapatan kurang dari $ 1 per hari. Data lain menunjukkan pada tahun 1998 jumlah pengeluaran militer dunia sebesar $ 780 milyar sedangkan jika dibandingkan dengan pengeluaran di sektor sosial di seluruh negara berkembang hanya sekitar $ 40 milyar (UNDP,1998). Di Amerika Serikat sendiri pada tahun 2006 total pengeluaran untuk anggaran militer dan perang mencapai 41% dari keseluruhan budgetnya. Sedangkan budget yang dialokasikan untuk mengatasi kemiskinan hanya mencapai 12% dari jumlah keseluruhan.
Di sisi lain feminis melihat bahwa perempuan selalu menjadi korban termasuk dalam konteks kemiskinan. Melihat dari komposisi penduduk dunia dimana jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari laki-laki, dari sekitar 1 milyar penduduk dunia yang berpendapatan kurang dari $ 1 per hari sebagian besar merupakan perempuan. UNDP mencatat sekitar 60% dari jumlah pekerja untuk keluarga yang tidak dibayar adalah perempuan. Aktivitas ekonomi yang berkembang sampai saat ini membuat pembagian antara aktivitas produktif yang sebagian besar didominasi laki-laki sedangkan peran perempuan dalam aktivitas domestik lebih banyak diabaikan dan dianggap tidak produktif secara ekonomi. Bahkan perempuan dibayar 20-50 % lebih rendah daripada laki-laki jika dibandingkan dalam pekerjaan yang sama. Oleh karena itu kapitalisme global juga memiliki peran dalam membuat perempuan menjadi korban dalam pembangunan.
Dalam beberapa kebijakan, seperti Structural Adjusment Program (SAP) yang diusung oleh lembaga multilateral seperti IMF juga membawa dampak yang memberatkan terutama terhadap kelompok perempuan. Kebijakan SAP mensyaratkan pemotongan berbagai pembiayaan dan subsidi sosial. Hal ini berdampak negatif bagi perempuan terutama di negara berkembang yang biasanya di tangan merekalah beban untuk memenuhi kebutuhan sosial keluarga harus terpenuhi. Tanggung jawab seorang ibu termasuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya bisa terpenuhi. Bisa dibayangkan bagaimana dampaknya bagi perempuan jika negara memotong subsidi di sektor sosial ini akan menyulitkan mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut bagi keluarganya.
Mulai tahun 1970-an gerakan feminis ini mulai mendapat tempat baik di dalam proses pembuatan kebijakan maupun perkembangan gender mainstreaming dalam pembuatan kebijakan publik. Beberapa konsep emansipasi dalam pembangunan seperti Women in Development (WID) maupun Gender and Development (GAD) telah banyak dipakai meskipun belum mewujudkan kondisi yang ideal. Kebanyakan upaya tersebut hanya mengakomodasi hak-hak perempuan dan kesetaraan gender sebagai nilai dalam pembangunan. Selama ini hanya kelompok feminis liberal yang banyak berpengaruh dalam gerakan emansipasi tersebut. Perjuangan mereka hanya sebatas agar wanita mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki, sedangkan masalah konstruksi gender secara historis dan kultural tidak menjadi perhatian oleh kelompok ini.
MDGs merupakan instrumen yang cukup feminis dalam mengatasi masalah kemiskinan dunia. Prinsip charity yang secara eksplisit termuat dalam komitmen MDGs mencerminkan pendekatan yang jauh dari nilai-nilai maskulinitas. Dalam komitmen tersebut masalah kemiskinan tidak ditangani dengan cara self-help maupun persaingan diantara aktor internasional melainkan membutuhkan kedermawanan. Pendekatan yang melihat upaya mengatasi kemiskinan sebagai bentuk kedermawanan memang sangat menonjol meskipun tidak dominan.
Mencantumkan “Promote gender equality and empowerment of women” (goal 3) dalam salah satu tujuan MDGs merupakan kulminasi dari advokasi dan aksi yang dilakukan oleh gerakan perempuan dunia selama bertahun-tahun. Prioritas terhadap upaya promosi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan merupakan upaya untuk mengakomodasi hak-hak perempuan dan kesetaraan gender sebagai nilai dalam pembangunan. Tidak hanya itu, tujuan MDGs lainnya seperti mengurangi tingkat kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu juga merupakan bentuk upaya mewujudkan equal oportunities bagi perempuan. Selama ini bagi kelompok feminis liberal tanggung jawab menjaga dan memelihara anak (childcare) dianggap membebani perempuan dan mampu menghambat perempuan untuk memperoleh kesempatan yang setara dengan laki-laki. Oleh karena itu mereka menuntut pembagian peran dan tanggung jawab yang sama dalam keluarga serta peran negara untuk menyediakan childcare facilities.
Dengan demikian MDGs merupakan konsep dan upaya penanggulangan kemiskinan yang dinilai cukup feminis paling tidak bagi kelompok feminis liberal. Feminisme dalam MDGs tidak hanya tercermin dalam tujuan-tujuan yang tercantum di dalamnya tetapi juga pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah kemiskinan dunia. Namun demikian, bagi kelompok feminis lain MDGs belum bisa mengatasi permasalahan gender terutama secara historis maupun kultural.
Kemiskinan dalam Kaca Mata Marxis
Salah satu kunci analisis marxisme terhadap hubungan internasional didasarkan pada konsep materialisme historis dimana setiap individu harus memenuhi kebutuhan materialnya sebelum mereka bisa melakukan kegiatan yang lain. Oleh karena itu Marx menganggap bahwa sejarah umat manusia selalu diwarnai dengan perjuangan untuk memenuhi kebutuhan material dasar tersebut. Marx juga membagi manusia kedalam dua kelas yang saling bersaing yaitu kelas borjuis dan kelas proletar atau antara pemilik modal (kapitalis) dan buruh yang memiliki hubungan eksploitatif.
Dua poin utama yang menjadi perhatian dalam analisis marxis adalah kapitalisme global dan international inequality, serta penyebaran kapitalisme secara global melatarbelakangi perkembangan masyarakat modern dan pengorganisasian dalam hubungan internasional. Kapitalisme global menjadi penyebab international inequality karena keinginan untuk mencapai surplus value dan mengakumulasi kapital oleh para pemilik modal dengan cara melakukan eksploitasi terhadap kelas proletar. Upaya struggle of power mengarah pada ekspansi kolonialisme dan perkembangan perdagangan dunia serta pasar global. Seperti sejarah bangsa Eropa dimana mereka melakukan kolonialisme di negara-negara dunia ketiga tidak lain adalah karena dorongan untuk mencari sumber daya sekaligus memperluas pasar bagi hasil produksinya.
Marxisme lebih percaya atas motif-motif kapitalisme daripada nasionalisme dalam melakukan analisis terhadap fenomena global. International inequality yang disebabkan oleh penguasaan sumber daya yang dikontrol oleh sekelompok orang hanya bisa diatasi dengan menciptakan kesadaran kelas diantara kaum proletar (kelas yang tereksploitasi). Oleh karena itu marxisme percaya akan cara-cara yang bersifat revolusioner untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih adil.
Perspektif marxis melihat bahwa golongan masyarakat miskin dan yang paling miskin ada dalam kelas pekerja. Dengan demikian, kemiskinan erat hubungannya dengan kapitalisme dan kelas borjuis (kapitalis). Struktur dan sistem produksi kapitalislah yang menyebabkan kemiskinan, dimana mereka melakukan eksploitasi terhadap buruh untuk mencapai surplus value. Kapitalisme tidak hanya mencari upah buruh yang paling murah atau buruh yang bisa dipekerjakan dengan tidak dibayar tetapi juga untuk mencapai produktivitas dan meningkatkan keuntungan produktivitas buruh dinilai sama dengan mesin.
Dalam perkembangan ekonomi global sekarang yang didominasi oleh liberalisasi dan privatisasi mendorong kepemilikan sumber daya alam oleh segelintir orang. Bagi masyarakat miskin, mereka akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan material dasarnya dan tidak punya pilihan selain masuk ke dalam kelas buruh (proletar). Namun ketika masuk dalam struktur produksi kapitalis mereka hanya mengalami eksploitasi karena upah buruh yang minimal sehingga mendorong kondisi under-consumption. Kondisi under-consumption inilah yang menimbulkan kemiskinan absolut karena mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar manusia untuk bisa bertahan hidup.
Dalam konteks MDGs, perspektif marxis memiliki tempat dimana indikator basis material untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia digunakan sebagai ukuran untuk mengatasi masalah kemiskinan. MDGs memiliki tujuan untuk mengurangi jumlah masyarakat miskin di dunia. Target pendapatan $ 1 per hari yang harus dipenuhi untuk mengurangi extrem poverty dikorelasikan dengan upaya untuk mengurangi kelaparan karena makanan merupakan salah satu kebutuhan material dasar manusia. Selain itu MDGs juga meyakini upaya untuk mengatasi kemiskinan diperlukan upaya global dan kerjasama internasional. Setidaknya kesadaran global nutuk mengatasi masalah kemiskinan harus dibangun. Dalam perspektif marxis pun kesadaran internasional yang melewati batas-batas teritorial negara perlu digalang untuk mencapai tujuan.
Namun pendekatan yang digunakan dalam MDGs masih berlawanan dengan bagaimana seharusnya kemiskinan diatasi. Target MDGs diantaranya yaitu memperluas lapangan kerja di sektor industri yang dinilai produktif dan melakukan kerjasama dengan sektor swasta hanya akan mendorong eksploitasi tenaga kerja dan tidak akan menyelesaikan masalah kemiskinan tetapi justru disitulah akar penyebab kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh keyakinan marxisme bahwa sektor swasta sebagai pemilik modal tidak akan memikirkan kesejahteraan buruh dalam proses produksi tetapi hanya upaya untuk meningkatkan produktivitas dan mengakumulasi keuntungan yang dilakukan dengan eksploitasi terhadap pekerja.
Selain perbedaan pandangan bagaimana menyelesaikan masalah kemiskinan perbedaan juga terlihat pada pendekatan yang diambil. Marxisme yang percaya akan cara-cara revolusioner dan gerakan massa tidak akan mengambil pendekatan charity yang dipakai dalam MDGs. Kedermawanan tidak akan mengatasi akar masalah struktural yang menyebabkan kemiskinan yaitu eksploitasi.
Feminis Marxis: Sebuah Sintesis?
Perspektif marxis feminis bisa dilihat sebagai bentuk kritik terhadap feminis liberal. Menurut mereka, oppression terhadap perempuan bukan merupakan hasil dari bias gender atau tindakan individual tetapi lebih sebagai produk politik, sosial, dan ekonomi, dari struktur kapitalisme. Engels mengklaim bahwa sumber dari women’s oppression adalah keberadaan private property. Kepemilikan pribadi berarti produksi yang dikuasai oleh sekelompok kecil orang, yang didominasi laki-laki, dan berada dalam kelas atas. Masyarakat kapitalis inilah yang kemudian membagi karakter antara rumah dan tempat kerja (‘home’ and ‘work-place’) yang menjadi bersifat ‘private’ dan ‘public’ sphere.
Feminis marxis menganggap division of labour juga terpisah secara sexual berdasarkan laki-laki dan perempuan dimana perempuan berada dalam area private atau home yang dianggap tidak produktif sedangkan laki-laki mendominasi public sphere dimana kegiatan ekonomi produktif berlangsung. Oleh karena itu tidaklah mustahil kepemilikan modal (capital) dikuasai sebagian besar oleh laki-laki, sedangkan perempuan tidak memiliki sumber material untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sehingga sebagain besar jumlah penduduk miskin adalah wanita. Meskipun demikian, perempuan merupakan support system bagi kapitalisme karena aktivitas domestiknya berjasa untuk menjamin laki-laki yang melakukan aktivitas ekonomi di sektor publik bisa berlangsung.
Struktur produksi yang demikian tidak hanya mengakibatkan inequality dalam struktur masyarakat dunia antara pekerja dan pemilik modal tetapi juga antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini perempuan menempati posisi paling bawah dalam rantai eksploitasi kapitalisme. Upah buruh wanita yang lebih murah daripada upah buruh laki-laki merupakan satu bukti eksploitasi terhadap perempuan akibat kapitalisme global. Karena kecenderungan untuk bisa dibayar lebih murah tersebut, pemilik modal juga terdorong untuk memilih mempekerjakan buruh perempuan sehingga cost produksi bisa ditekan untuk meningkatkan akumulasi keuntungan.
Oleh karena itu, bagi kelompok marxis feminis upaya pengentasan kemiskinan tidak hanya sebatas memberikan fasilitas pendidikan dan jaminan kesehatan bagi perempuan seperti yang ditargetkan dalam MDGs tetapi juga mendorong agar perempuan bisa menempati posisi yang lebih equal dengan laki-laki dalam rantai produksi. Mereka juga berusaha menghilangkan struktur kelas yang eksploitatif terhadap perempuan dengan melawan kapitalisme global.
Satu hal yang menarik dari perspektif feminis ini adalah bagaimana cara yang akan ditempuh untuk mengatasi kemiskinan. Apakah lebih cenderung pada marxisme yang percaya pada gerakan revolusioner atau lebih condong pada prinsip feminisme yang berlawanan dengan revolusi yang cenderung maskulin. Ketika menganalisis penyebab kemiskinan sampai bagaimana mengatasinya, feminis marxis bisa menggabungkan antara asumsi perspektif marxis dan feminis. Tetapi untuk melakukannya revolusi dan charity merupakan dua hal yang saling berlawanan. Selama ini memang perspektif feminis liberal lebih mendominasi untuk diterapkan sehingga sulit untuk dilihat bagaimana feminis marxis mengimplementasikan strateginya secara nyata.
Kesimpulan
Perbedaan pandangan dalam menilai akar masalah kemiskinan membuat masing-masing perspektif memiliki strategi yang berbeda-beda tentang bagaimana cara mengatasinya. Meskipun demikian perspektif yang berbeda juga memiliki kesamaan dalam analisisnya bahkan beberapa strategi yang mereka hasilkan juga tidak berbeda secara absolut. Seperti bagaimana perspektif feminis dan marxis menilai MDGs sebagai ’resep’ untuk mengatasi masalah kemiskinan di dunia. Ternyata tidak semua goal dalam MDGs dinilai salah atau benar secara keseluruhan. MDGs ternyata mengakomodasi pandangan kedua perspektif tersebut, meskipun dalam kadar yang berbeda. Bahkan bisa saja terjadi sintesis perspektif yang menggabungkan asumsi dan metodologi analisis keduanya seperti dalam perspektif feminis marxis.
Daftar Pustaka
Haris-White, Barbarra Poverty and Capitalism, December 2005, <http://www3.qeh.ox.ac.uk/pdf/qehwp/qehwps134.pdf>
Linklater, Andrew. ‘Marxism’, in Scott Burchil, Scott, Richard Devetak, et all, Theories of International Relations. Basingstoke: Palgrave
Steans, Gill. Gender and International Relations: An Introduction, Polity Press: Cornwall, 1998.
True, Jacqui ‘Feminism’, in Scott Burchil, Scott, Richard Devetak, et all, Theories of International Relations, Basingstoke: Palgrave
United Nation, The Millenium Development Goals Report 2007, New York <http://www.huwu.org/millenniumgoals/pdf/mdg2007.pdf>
United Nation Development Program, Millenium Development Goals: National Reports A Look Trough Gender Lens, May 2003, <http://www.undp.org/women/docs/mdgs-genderlens.pdf>