UTANG LUAR NEGERI:
BUKAN INSTRUMEN UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Galuh Candra Patria, SIP
Utang luar negeri merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk menutupi defisit pembiayaan negara. Dalam beberapa tahun terakhir beban uatng luar negeri
Pihak kreditor yang memberikan ”pinjaman” kepada
Sekitar 80% dari total utang luar negeri yang diberikan oleh kreditor kepada
Sebagian besar dari jumlah utang tersebut digunakan untuk membiayai proyek pembangunan infrastruktur dan pemliharaan stabilitas ekonomi makro (terutama yang berasal dari ADB). Terlebih lagi fokus utama mereka adalah untuk menagatsi masalh kemiskinan terutama setelah ditetapkannya Millennium Dvelopment Goals (MDGs) pada tahun 2000. Namun satu hal yang perlu dicermati adalah baik proyek pembangunan maupun program restrukturisasi keuangan yang didanai oleh utang luar negeri tersebut tidak digunakan secara efisien. Banyak contoh proyek utang yang didanai oleh Bank Dunia misalnya ternyata tidak tepat sasaran, tidak efisien, bahkan gagal mengatasi persoalan yang ada. Dengan demikian sbenarnya tidak ada nilai lebih atau manfaat yang signifikan yang bisa dinikmati masyarakat atas proyek-proyek yang didanai oleh utang luar negeri ini.
Utang Luar Negeri: Alat Eksploitasi?
Dalam analisis ilmu politik sebuah kebijakan biasanya dilihat sebagai who gets what, how, and when. Sebuah kebijakan dilaksanakan dan dipertahankan bisa hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Melihat fakta bahwa utang luar negeri ternyata tidak bisa dinikmati manfaatnya tentunya bukan rakyat yang menikmati bagian ”kue” yang terbesar. Lebih jauh lagi akan menuntun kita untuk mencari tahu bagaimana implikasi utang luar negeri bagai kesejahteraan rakyat.
Utang luar negeri diberikan kepada negara debitor biasanya bahkan selalu diikuti dengan berbagai macam syarat. Hal-hal yang dipersyaratkan dalam pemberian utang luar negeri biasanya meliputi bentuk-bentuk pembelian barang dan jasa dari negara yang bersangkutan dan permintaan agar negara debitor melaksanakan kebijakan ekonomi tertentu. Semua lembaga debitor, terutama IMF, Bank Dunia, maupun ADB biasanya memberikan syarat pemberian utang yang seragam. Syarat tersebut diantaranya berupa pengendalian inflasi, privatisasi, liberalisasi, dan dukungan terhadap keberadaan investasi asing. Terlebih lagi syarat yang mereka tentukan juga yaitu pemotongan terhadap berbagai macam pengeluaran dalam bentuk subsidi masyarakat karena dinilai tidak efisien.
Bentuk-bentuk persyaratan tersebut salah satunya tercantum dalam Structural Adjustment Program (SAP) atas pinjaman yang diberikan IMF. Berbagai macam kebijakan tersebut tidak ada yang berkaitan dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat apalagi mengentaskan kemiskinan. Pemotongan subsidi dan privatisasi justru membuat beban hidup masyarakat semakin berat. Di banyak negara, termasuk
Lalu siapa yang mendapat keuntungan dari utang luar negeri? Logika pemberian utang luar negeri bukanlah suatu bentuk ’charity’ untuk membantu negara-negara yang kekurangan pembiayaan untuk membiayai pembangunannya. Dalam sejarahnya, utang merupakan sarana bagi negara-negara kreditor untuk memutar kelebihan modal yang mereka miliki agar tidak menimbulkan masalah jika disimpan di dalam negeri. Oleh karena itu mereka membutuhkan lahan di luar negeri untuk ”menginvestasikan” kelebihan modal tersebut.
Utang luar negeri tidak lain adalah menkanisme untuk mengakumulasikan modal bagi pihak kreditor. Hal ini terlihat jelas jika kita mencermati beban apa saja yang harus dibayar negara debitor ketika mereka menerima pinjaman. Tidak hanya utang pokok dan bunga yang harus dibayar kembali oleh debitor tetapi juga harus membayar commitment fee yang besarnya sekitar 1% dari jumlah utang yang telah disepakati. Pemberian pinjaman oleh negara kreditor tidak serta merta langsung dilakukan. Sampai dengan tahun 2005 baru 44% dari total jumlah pinjaman yang disepakati yang sudah dicairkan. Namun pemerintah tetap harus membayar biaya komitmen dari pinjaman yang belum dicairkan, artinya bahkan kita harus membayar untuk sesuatu yang belum kita terima. Ironisnya lagi pemerintah terus melakukan kesepakatan baru untuk menambah utang luar negeri
Pembiayan Alternatif
Melihat kenyataan diatas tentunya sudah sepatutnya jika banyak kritik didesakkan agar pemerintah menghentikan untuk melakukan kesepakatan utang baru. Utang luar negeri yang selama ini tidak bisa dinikmati manfaatnya pun harus dihentikan pembayarannya karena itu merupakan salah satu bentuk odious debt (utang haram). Namun satu hal yang perlu dicatat adalah kita tidak bisa menerima penghapusan utang luar negeri melalui mekanisme Heavily Indebted Poor Countries (HIPC) yang ditawarkan oleh Bank Dunia dan IMF karena mekanisme ini masih mensyaratkan privatisasi dalam penghapusan utang terhadap negara debitor.
Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah apakah
Seperti telah dijelaskan di atas adalah logika utang luar negeri bukanlah untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terlebih lagi dalam ilmu ekonomi pembiayaan luar negeri ini didasarkan atas alasan menutupi balance of payment. Padahal yang terjadi di Indonesia balance of payment tersebut menjadi negatif disebabkan oleh utang luar negeri maka sangatlah tidak masuk akal jika untuk menutupi negative transfer tersebut dengan solusi utang juga.
Dengan demikian sangatlah logis jika dikatakan bahwa utang luar negeri bukanlah instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Utang luar negeri justru hanya membebani masyarakat. Kenyataan bahwa negara debitor harus membayar jauh lebih banyak dari apa yang mereka diterima justru akan membuat negara debitor lah yang sebenarnya memberikan “subsidi” terhadap negara kreditor yang kebanyakan merupakan negara-negara maju. Oleh karena itu jika kesejahteraan rakyat memnag ingin dicapai maka penghapusan utang lama dan stop pembentukan utang baru merupakan syarat wajib yang harus dilakukan. Jika tidak,
V don’t owe, won’t pay! V
Tidak ada komentar:
Posting Komentar