Kamis, 29 Mei 2008

100 TAHUN (MASIH) TERPERANGKAP UTANG LUAR NEGERI

100 Tahun (Masih) Terperangkap Utang Luar Negeri

Galuh Candra Patria, SIP [1]

As a consequence of having to pay its debts, a country is unable to guarantee its citizens subsistence levels of food, water, clothing and shelter and basic health care and education; in order to service its debt, it is forced to destroy and degrade the environment; by merit of its massive debt burden it is deemed ineligible for much-needed aid

Noreena Hertz, The Debt Threat, 2004

Hutang luar negeri merupakan hal yang tidak asing dalam kebijakan ekonomi sebuah negara, termasuk di Indonesia. Dalam argumentasinya, pemerintah mengambil kebijakan penerimaan hutang luar negeri untuk membiayai defisit anggaran belanja negara.[2] Namun dalam kenyataannya, setiap tahun rancangan anggaran dan pendapatan negara selalu dalam kondisi defisit sehingga hutang luar negeri merupakan bagian dari kebijakan pembiayaan negara setiap tahunnya, bahkan jumlahnya cenderung meningkat dalam anggaran belanja penyesuaian yang daripada rancangan awal yang dibuat oleh pemerintah.

Dalam beberapa tahun terakhir beban hutang luar negeri Indonesia yang dibayar oleh pemerintah tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Padahal beban pembayaran hutang luar negeri yang harus ditanggung pemerintah menghabiskan tidak kurang dari sepertiga jumlah total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebijakan pembubaran CGI dan keputusan pemerintah untuk menghentikan pinjaman dari IMF tidak membuat kebijakan hutang luar negeri dihentikan. Hal ini disebabkan karena meskipun tanpa melalui kedua lembaga tersebut Indonesia masih terus membuat komitmen utang luar negeri secara bilateral.

Dalam konteks ekonomi politik ada dua hal yang mendasari kebijakan luar negeri. Pertama, prinsip keseimbangan neraca pembayaran (balance-of-payment) yang secara ekonomi mendorong pemerintah untuk menutupi defisit anggarannya. Kedua, berbagai macam bentuk bantuan dan pinjaman tersebut merupakan bagian dari program pembangunan yang ditujukan untuk negara-negara dunia ketiga (developing and underdeveloped countries).

Utang Sebagai ‘Instrumen Pembangunan’ Internasional

Sejak kemunculannya pasca Perang Dunia II, berbagai macam bentuk pinjaman dan bantuan luar negeri yang diberikan negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dinilai memiliki kepentingan politik dan ekonomi bagi pihak kreditor. Bahkan ketika Marshal Plan menjadi sebuah ide baru dalam ‘foreign aid’ sudah dinilai memiliki banyak kepentingan ekonomi Amerika selain kepentingan geopolitik dalam situasi perang dingin.[3]

Beginning with Marshal Plan when it was new aid concept, which included a sort of preferential credit that generally benefited the supplier of aid more than recipient.[4]

Marshal Plan generosity: much of the money so provided came back to the USA for the purchase of food , raw materials and capital goods. It was thus a powerful stimulant to American Economy.[5]

Hasil dari penelitian di empat negara di Amerika Latin (Columbia, Chile, Brazil, dan Peru), Teresa Hayter menyimpulkan bahwa hutang luar negeri pada dasarnya bukanlah transfer sumbar daya yang bebas bersyarat. Menurut Hayter ada beberapa hal yang biasa dipersyaratkan dalam pemberian hutang luar negeri. Pertama, pembelian barang dan jasa dari negara pemberi pinjaman. Kedua, peniadaan kebebasan untuk melakukan kebijakan ekonomi tertentu. Ketiga, permintaan untuk melakukan kebijakan ekonomi yang dikehendaki oleh pemberi pinjaman, terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur tangan negara dalam ekonomi.[6]

Wacana-wacana debt trap yang berkembang kemudian membuat banyak pihak, terutama NGO baik lokal maupun internasional menyerukan penghapusan dan penolakan hutang luar negeri. Di banyak negara dunia ketiga menunjukkan fakta bahwa hutang luar negeri justru tidak membantu menyelesaikan masalah kemiskinan mereka. Meningkatnya suku bunga dan nilai tukar membuat jumlah hutang lama semakin membengkak dan membuat negara debitor membayar jumlah yang jauh lebih banyak dari jumlah awal hutang mereka.

From 1970-2002, Africa received some $540 billion in loans and paid back $550 billion in principal and interest. Yet Africa remains today with a debt stock of $295 billion.(Jubilee USA, 2007)

Tidak hanya sampai di situ, bagi negara-negara di Afrika menghabiskan uang lebih banyak untuk membayar hutang daripada berbagai jenis bantuan kemanusiaan yang mereka terima.

IMF dan Bank Dunia menanggapi kritik tersebut dengan mengeluarkan inisiatif baru yaitu mekanisme Heavily Indebted Poor Countries (HIPC) pada tahun 1996 untuk menghapuskan hutang bagi negara-negara yang tergolong sangat miskin. Namun seperti juga syarat untuk mendapatkan hutang luar negeri, mekanisme penghapusan hutang luar negeri melalui HIPC ini juga melibatkan syarat-syarat yang tidak jauh berbeda. Liberalisasi dan privatisasi masih menjadi syarat utama jika sebuah negara ingin menghapuskan hutangnya.

Logika pemberian utang luar negeri bukanlah suatu bentuk ’charity’ untuk membantu negara-negara yang kekurangan pembiayaan untuk membiayai pembangunannya. Dalam sejarahnya pemberian bantuan atau pinjaman sarat dengan berbagai macam kepentingan. Utang merupakan sarana bagi negara-negara kreditor untuk memutar kelebihan modal yang mereka miliki agar tidak menimbulkan masalah jika disimpan di dalam negeri. Oleh karena itu mereka membutuhkan lahan di luar negeri untuk ”menginvestasikan” kelebihan modal tersebut. Susan Strange juga menjelaskan bahwa pinjaman yang diberikan oleh IMF tidak diberikan bagi negara yang dinilai memerlukan atau negara yang paling taat dengan aturan IMF namun diperuntukkan bagi negara yang masalah ekonominya akan berpotensi untuk mengganggu stabilitas ekonomi internasional (Strange, 1973).

Indonesia dan Utang Luar Negeri-(nya)

Sejarah utang luar negeri Indonesia sudah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia. Indonesia menjadi kreditor sejak mengambil alih hutang Hindia Belanda sebagai salah satu hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 sebagai syarat untuk mendapat pengakuan kedaulatan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Pada masa demokrasi terpimpin Presiden Sukarno Indonesia pernah menghentikan pembayaran atas hutang Hindia Belanda dan membatalkan hasil KMB secara sepihak. Namun sejak naiknya Orde Baru Indonesia kembali melakukan ‘kewajibannya’ untuk membayar hutang Hindia Belanda.

Sejka tahun 1966, masyarakat internasional yang dipimpin oleh Bank Dunia telah memainkan peran sangat besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia. IGGI atau CGI merupakan badan yang memungkinkan bagi Indonesia mempunyai mekanisme yang sistematis dan terus-menerus setiap tahunnya menerima utang dari negara-negara kreditor.[7] Meskipun pergantian kepemimpinan terus berlangsung dan bahkan reformasi politik telah digulirkan, namun kebijakan setiap kepemimpinan presiden yang berbeda-beda tersebut tetap memiliki kebijakan yang sama yaitu memasukkan utang luar negeri dalam kebijakan fiskal setiap tahunnya

Penjelasan berikut bisa digunakan untuk menggambarkan seberapa besarnya ketergantungan Indonesia terhadap utang luyar negeri. Untuk tahun anggaran 1988/1989 sebesar 80,86% anggaran pembangunan didanai utang dari IGGI/CGI. Untuk tahun anggaran 1999, 100% anggaran pembangunan harus didanai oleh CGI (Gie, 1999). Dalam kenyataannya anggaran berimbang yang selalu dijadikan dasar untuk menyusun APBN merupakan ”anggaran defisit” yang dijadikan ”berimbang” dengan cara menutupnya dengan utang luar negeri.

Sekitar 80% dari total utang luar negeri yang diberikan oleh kreditor kepada Indonesia berupa utang proyek. Utang proyek merupakan utang yang diberikan oleh kreditor dalam bentuk barang dan jasa. Sebagai kreditor utama JBIC menyumbang 49% dari keseluruhan jumlah utang proyek, sedangkan Bank Dunia 20% dan ADB sebesar 16%. Dengan demikian pinjaman yang diterima dari kreditor sebagian besar tidak berupa cash money, melainkan dalam bentuk barang atau jasa yang berasal dari pihak kreditor. Beberapa proyek-proyek besar seperti P2KP (Urban Poverty Project), PPK (Kecamatan Development Project), bahkan sampai PNPM yang merupakan proyek-proyek yang berskala nasional merupakan program-program yang dibiayai oleh utang luar negeri.

Pihak kreditor yang memberikan ”pinjaman” kepada Indonesia bisa berasala dari lembaga multilateral maupun pinjaman bilateral. Utang luar negeri pemerintah yang terbesar bersal dari Japan Bank International Corporation (JIBC), sedangkan World Bank atau Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) merupakan dua lembaga multilateral yang menjadi kreditor terbesar untuk Indonesia. Sebagian besar utang luar negeri tersebut diberikan melalui mekanisme Official Dvelopment Assistance (ODA) yang bersifat pinjaman lunak. Meskipun bersifat pinjaman lunak yang artinya jangka pengembaliannya yang panjang dan memiliki bunga rendah dan tidak mengikuti mekanisme pasar, pinjaman ini justru mensyaratkan banyak hal.

Bentuk-bentuk persyaratan tersebut salah satunya tercantum dalam Structural Adjustment Program (SAP) atas pinjaman yang diberikan IMF. Berbagai macam kebijakan tersebut tidak ada yang berkaitan dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat apalagi mengentaskan kemiskinan. Pemotongan subsidi dan privatisasi justru membuat beban hidup masyarakat semakin berat. Di banyak negara, termasuk Indonesia anggaran yang dialokasikan untuk pembayaran utang luar negeri jauh lebih besar daripada anggaran pendidikan, kesehatan, dan subsidi pertanian. Bahkan meskipun anggaran untuk ketiga sektor tersebut dijumlahkan.

Selain berbagai macam bentuk persayaratan tersebut masih ada berbagai macam kewajiban yang harus ditanggung oleh penerima pinjaman luar negeri atas beban Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau beban Bank Indonesia. beberapa jenis Beban tersebut adalah sebagai berikut. Bunga Pinjaman, merupakan biaya bunga atas fasilitas pinjaman luar negeri yang telah disediakan yang telah ditarik (disburshed loan); Commitment Fee, yaitu fee yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman (lender) atas komitmen pinjaman yang telah diberikan dan telah dituangkan dalam loan agreement; administration fee, front end fee; dan Agent Fee, adalah fee yang dibayarkan kepada agen yang ditunjuk oleh pemerintah RI dalam rangka perolehan pinjaman sindikasi.[8]

Debt Dependency dan Debt “Trap”

Dari penjelasan di atas bisa menunjukkan bagaiamana ketergantungan Indonesia terhadap uatang luar negeri. Kondisi anggaran belanja pemerintah setiap tahun yang selalu defisit membuat pemerintah secara “otomatis” akan mengimplementasikan kebijakan utang luar negeri setiap tahunnya. Satu hal yang menarik dan sering dicatat sebagai suatu keberhasilan oleh pemerintah bahwa setiap tahunnya meskipun tetap menarik utang luar negeri baru, rasio utang luar negeri terhadap GDP dilaporkan mengalami penurunan. Bagaimana bisa? Secara rasional hal ini sangat wajar karena di lain pihak pemerintah selalu menargetkan pertumbuhan ekonomi yang implikasinya meningkatkan jumlah GDP. Dengan demikian selama percepatan penambahan utang baru tidak lebih besar dari angka pertumbuhan GDP maka rasio utang terhadap GDP akan terlihat mengalami penurunan, namun belum tentu volume-nya mengalami pnurunan.

Satu hal yang perlu dicatat bahwa logika penutupan defisit dengan menggunakan utang luar negeri pada kenyataannya tidak bisa diterima. Dalam ilmu ekonomi pembiayaan luar negeri ini didasarkan atas alasan menutupi balance of payment. Padahal yang terjadi di Indonesia balance of payment tersebut menjadi negatif disebabkan oleh utang luar negeri maka sangatlah tidak masuk akal jika untuk menutupi negative transfer tersebut dengan solusi utang juga. Terlebih lagi pada kenyataannya situasi arus pinjaman luar negeri (sejak tahun 1970-an) menunjukkan besar cicilan hutang dan bunga pinjaman semakin besar sedangkan pinjaman bersih yang masuk dan dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan semakin kecil.[9]

Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan net-negative transfer yang terjadi di Indonesia. Pertama, meskipun pinjaman belum dicairkan pihak debitor sudah harus membayar commitment fee yang besarnya sekitar 1% dari jumlah utang yang telah disepakati. Pemberian pinjaman oleh negara kreditor tidak serta merta langsung dilakukan. Sampai dengan tahun 2005 baru 44% dari total jumlah pinjaman yang disepakati yang sudah dicairkan. Namun pemerintah tetap harus membayar biaya komitmen dari pinjaman yang belum dicairkan, artinya bahkan kita harus membayar untuk sesuatu yang belum kita terima. Kedua, bunga utang dan berbagai macam bentuk ’fee’ lainnya yang harus dibayar oleh kreditor. Ketiga, perbedaan nilai uang (net present value) pada saat pembayaran pinjaman membuat jumlah utang yang disesuaikan dengan nilai uang saat itu bisa meningkatkan jumlah utang yang harus dibayar daripada jumlah aslinya. Alasan-alasan tersebut akan membuat kita berpikir siapakah sebenarnya yang menjadi kreditor?

Bagi Indonesia, debt trap tidak hanya berarti prediksi bahwa Indonesia tidak akan bisa membayar lunas hutang-hutang luar negerinya, tetapi juga sampai kapanpun jika ’politik anggaran’ yang dipakai saat ini terus digunakan maka setiap tahunnya Indonesia dipastikan akan terus menarik komitmen pinjaman luar negeri baru. Dengan demikian status Indonesia sebagai negara debitor tidak akan bisa berubah.



[1] Staf peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta; Research and Campaign Officer sekretariat nasional Koslisi Anti Utang.

[2] Hutang luar negeri merupakan bagian dari modal asing yang digunakan untuk membiayai pembngunan disamping investasi asing dalam bentuk foreign direct investment (FDI) dan investasi portofolio. Lihat dalam Sritua Arief dan Adi Sasono, Modal Asing, Beban Hutang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1987.

[3] Lihat dalam Jacques B. Gelinas, Freedom from Debt, London: Zed Books Ltd, 1998. p 5-6.

[4] Ibid. p. 5.

[5] J.K. Galbraith, A Journey Through Economic Time, p. 147 dalam Gelinas, p. 6

[6] Lihat Teresa Hayter, Aid as Imperialism, 1971 dalam Revrisond Baswir, Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme Indonesia, 2007.

[7] Kwik Kian Gie, Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar, Penerbit Buku Kompas: Jakarta, 2006

[8] Sanuri, Pinjaman Luar Negeri Pemerintah: Loan Agreement hingga Restrukturisasi, Direktorat Luar Negeri Bagian Export Import, Bank Indonesia, 2005.

[9] Arif dan Sasono, op cit. p.23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar