Kamis, 29 Mei 2008

pembangunan yang ber-"keadilan"

Etika pada dasarnya sangat terkait dengan nilai-nilai yang diidealkan, terutama hak dan keadilan. Pilihlah salah satu dari nilai-nilai ini dan diskusikan manifestasinya dalam teori maupun kebijakan pembangunan.

Keadilan muncul dalam isu pembangunan terutama setelah pembangunan yang telah dialkukan menimbulkan ketidak-adilan. Keadilan akan muncul ketika menyadari bahwa ada sebagian pihak menjadi korban akan ketidak-adilan. Keadilan menjadi masalah dalam pembangunan ketika ternyata desain pembangunan baik dalam teori dan praktek kebijakan pembangunan selama ini yang didasarkan pada modernitas barat ternyata menimbulakan ketidak-adilan. Model pembangunan yang kemudian disebut sebagai orthodox development theory oleh Rostow dalam The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto menggambarkan bahwa “What is modern is good and what is traditional is bad. Development means becoming modern like the West”. Model pembangunan tersebut menjadi teori pembangunan yang terbaik dan paling berpengaruh di tahun 1950-an dan 1960-an (Foster-Carter, 1976). Model pembangunan ini ternyata menimbulkan masalah ketidak-adilan pada periode berikutnya.

Secara teori, keadilan diartikan oleh berbagai macam perspektif yang masing-masing memiliki indikator yang berbeda-beda untuk mengatakan sesuatu hal tersebut adil atau tidak. Libertarian justice menilai keadilan merupakan jaminan bagi masing-masing individu untuk mendapatkan individual right (liberty). Social justice menilai keadilan berdasar pada equality. Communitarian justice menilai keadilan berdasar keberadaan barang publik (common good). Sedangakan feminist justice menilai keadilan dalam kerangka gender-free society. Keadilan merupakan salah satu nilai etika yang bisa diakui secara universal. Namun terdapat berbagai perbedaan dalam mengartikan dan mengimplementasikannya[1].

Etika pembangunan merujuk pada penggunaan nilai-nilai etis dan normatif pada proses maupun hasil (ends and means) dalam pembangunan. Denis Goulet menjelaskan bahwa ‘“development’ needs to be redefined, demystified, and thrust into the arena of moral debate” (Goulet, 1971). Dengan istilah lain David A. Crocker menggunakan konsep the “theory-practice” of development yang menghubungkan antara teori pembangunan secara normatif dan empiris dengan praktek pembangunan dalam kebijakan dan politik pembangunan[2].

Secara teori, norma atau etika merupakan panduan yang akan mempengaruhi tindakan manusia. Menurut W. David Solomon tindakan manusia melibatkan 3 hal yaitu sebuah aktor yang melakukan tindakan tersebut (agent), tindakan yang dilakukan (action), dan dampak dari tindakan tersebut (consequences) yang merujuk pada 3 teori etika. Virtue theory menekankan pada karakter agen dan mengembangkan konsepsi bagaimana aktor yang ideal secara etis. Deontological theory mendasarkan pada justifikasi moral terhadap tindakan manusia yang menghasilkan aturan-aturan moral. Consequentialist theory menekankan pada konsekuensi dari tindakan sebagai acuan[3]. Dengan kata lain deontological theory akan menila pembangunan sebagai ‘means’ sedangkan consequentialist theory akan menilai pembangunan sebagai ‘ends’.

Ketika memasukkan ‘keadilan’ dalam menilai sebuah model pembangunan maka akan mendorong kita untuk menilai praktek pembangunan melalui kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah (sebagai agen). Etika pembangunan akan mendorong kita untuk menilai apakah kebijakan pembangunan telah mencantumkan nilai keadilan atau tidak? Jika ya, keadilan akan dipandang sebagai ‘means’ ataukah ‘ends’? lalu apakah kita bisa menilai kebijakan pembangunan mana yang lebih baik, menekankan pada ‘means’ atau ‘ends’?

Salah satu kebijakan yang bisa dijadikan contoh untuk menilai praktek etika dalam kebijakan pembangunan adalah kebijakan pemerintah untuk mengijinkan penambangan komersial di kawasan hutan lindung dengan menerbitkan UU no 2/2008. Kebijakan ini merupakan upaya pemerintah untuk memberikan peluang bagi semua pihak yang memiliki keinginan untuk melakukan penambangan di kawasan hutan lindung yang sebelumnya ada dalam otoritas negara. Secara ‘means’, kebijakan ini memberikan jaminan kepada setiap orang untuk mengelola sumber daya alam yang potensial (jaminan individual rights dan liberty) untuk mencapai kemakmuran. Namun jika dilihat dari sisi ‘ends’, kebijakan ini akan memberikan dampak ternyata tidak semua individu mampu memanfaatkan kesempatan yang diberikan pemerintah. Kebijakan pembangunan tersebut justru menimbulkan ketidak-adilan (inequality) karena hanya pemilik modal-lah yang mampu mengakses sumber daya tersebut sehingga pada akhirnya justru menimbulkan distribusi kepemilikan sumber daya tidak seimbang. Lebih jauh lagi kebijakan ini akan memiliki konsekuensi konsentrasi kemakmuran yang tidak merata.

Kita tidak bisa menggeneralisir apakah kebijakan pembangunan yang menekankan pada ‘means’ atau ‘ends’ akan lebih baik diterapkan. Sama seperti ketika kita membicarakan konsep keadilan yang seperti apa yang lebih baik diterapkan dalam kebijakan pembangunan. Dalam prakteknya ada pluralitas desain kebijakan pembangunan yang dianggap lebih tepat untuk diterapkan karena masing-masing komunitas memiliki tujuan pembangunan yang berbeda-beda.

Dalam perkembangan sekarang ethical development mainstreaming sudah menunjukkan perkembangan terutama di negara-negara dunia ketiga. Misalnya dalam MDG’s telah memunculkan upaya gender equality sedang diupayakan meskipun dalam perspektif libertarian. Namun akan menjadi berbeda jikan kita melihat konsekuensi dari kebijakan pembangunan yang dijalankan. Fenomena kebijakan pembangunan saat ini akan memberikan konsekuensi yang jauh berbeda bahkan sebaliknya dari apa yang dirancang sebelumnya. Bukti nyata bagaiman kegagalan model dan kebijakan pembangunan yang selama ini dipraktekkan dan menunjukkan hasil yang berbeda diantaranya bagaimana kebijakan industrialisasi dalam pembangunan justru mengakibatkan pencemaran lingkungan dan krisis energi dunia. Contoh lain yang bisa kita lihat bagaimana MDG’s yang dirancang sebagai program pembangunan untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan dan setelah 7 tahun berjalan justru muncul kondisi krisis pangan dunia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa desain pembangunan dan kebijakan pembangunan yang memasukkan nilai-nilai keadilan (atau nilai-nilai etika yang lain) akan juga dapat menjamin keadilan pada hasil pembangunannya.



[1] Lihat James P. Sterba,” Social Justice” Economics, Ethics, and Public Policy, Charles K. Wilber (ed), Rowman & Littlefield Publisher, Inc.: Maryland, 1998, p.189-213.

[2] David A. Crocker, “Toward Development Ethics”, Economics, Ethics, and Public Policy, Charles K. Wilber (ed), Rowman & Littlefield Publisher, Inc.: Maryland, 1998, p.325.

[3] Lihat W. David Solomon, “Normative Ethical Theories”, dalam Economics, Ethics, and Public Policy, Charles K. Wilber (ed), Rowman & Littlefield Publisher, Inc.: Maryland, 1998, p.121-129.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar