R. William Liddle
Profesor ilmu politik Ohio State University, Columbus, Ohio, AS.
TEMPO Interaktif, : APAKAH Kabinet Indonesia Bersatu jilid kedua merupakan reinkarnasi Mafia Berkeley, yang selama puluhan tahun sangat mempengaruhi pembentukan kebijakan ekonomi pemerintahan Soeharto? Dari satu segi, jawabannya pasti ya.
Profesor Widjojo Nitisastro dari Universitas Indonesia, mantan capo mafia tersebut, dan Profesor Boediono dari Universitas Gadjah Mada, Menteri Koordinator Ekonomi yang baru, menganut aliran keyakinan yang sama.
Mereka adalah mainstream economists, ekonom profesional yang percaya pada kekuatan pasar sebagai penggerak utama ekonomi modern. Negara dalam model ini diberi peran tut wuri handayani, mengatur konteks agar pasar bisa berjalan dengan baik.
Pemerintah ditugasi menjaga stabilitas makro-ekonomi melalui kebijakan moneter dan fiskal yang konservatif, serta menciptakan aturan perdagangan dan penanaman modal yang terbuka. Pemerintah juga harus mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur lain untuk memberdayakan semua aktor ekonomi.
Namun, dari segi lain, yaitu strategi politik untuk mewujudkan cita-cita ekonomi tersebut, dua tokoh itu berpaling seratus delapan puluh derajat. Widjojo adalah makhluk Orde Baru yang otoriter, sedangkan Boediono makhluk era Reformasi yang demokratis. Audiens Widjojo adalah Soeharto; audiens Boediono adalah seluruh rakyat Indonesia.
Saya teringat secara dramatis perbedaan itu ketika saya mendengarkan ceramah Boediono, "Managing the Indonesian Economy: Some Lessons from the Past," di Canberra, Australia, September lalu.
Boediono memaparkan visi politiknya dengan jelas, juga dalam beberapa ceramah di Jakarta sebelum ia diangkat sebagai menko. Intinya adalah sebuah tawaran kepada kaum politisi: kalau Anda mengizinkan kami, para ekonom, untuk membentuk kebijakan pokok ekonomi berdasarkan pengetahuan ilmiah, kami menjanjikan laju pertumbuhan yang maksimal.
Anda dan masyarakat Indonesia akan menikmati hasilnya dalam bentuk kue nasional yang semakin besar. Kebijakan pokok yang dimaksudkan termasuk kebijakan moneter, yang sudah dikuasai Bank Indonesia, kebijakan fiskal, dan beberapa bagian dari kebijakan perdagangan dan pembangunan.
Tawaran Boediono dipengaruhi analisis Alan Blinder, profesor ekonomi di Universitas Princeton dan mantan Wakil Ketua Federal Reserve Board, bank sentral kami. Menurut Blinder, masyarakat Amerika perlu memikirkan kembali proses pengambilan berbagai macam keputusan kolektif. Khususnya di bidang ekonomi, "government is too political"-- pemerintah terlalu dipengaruhi oleh kalkulasi politik.
Kebijakan negara sering berpihak pada kelompok kepentingan yang sempit, yang membuat masyarakat semakin skeptis terhadap semua politisi, baik Republikan maupun Demokrat.
Blinder tak mau meninggalkan demokrasi, yang merupakan persaingan sehat antarpolitisi untuk memperoleh dukungan masyarakat. Tanpa persaingan politik, masyarakat akan kehilangan kesempatan memilih pemerintahannya sendiri. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa setiap masalah harus dipecahkan dengan cara yang sama.
Blinder menganjurkan fleksibilitas. Dalam tiap kasus kebijakan, para politisi diharap memperhitungkan bobot relatif dari tiga faktor: pengetahuan ilmiah, perspektif jangka panjang, dan dampak luas atau umum sebuah solusi.
Pengetahuan ilmiah yang hanya dikuasai oleh para ahli sering diperlukan, misalnya untuk memilih beberapa rencana undang-undang pajak. Hanya ekonom terlatih yang mampu menilai dampak rencana-rencana tersebut terhadap pertumbuhan atau distribusi.
Begitu juga dengan perspektif jangka panjang dan kemampuan untuk mengetahui apakah sebuah kebijakan akan berdampak luas atau tidak. Contohnya adalah penentuan tingkat bunga oleh Federal Reserve Board. Orang-orang yang berpikiran jangka pendek dan hanya untuk kepentingan kelompoknya sendiri, seperti kebanyakan politisi, akan menciptakan kebijakan yang keliru bagi masyarakat umum.
Tawaran Boediono merupakan penerapan analisis Blinder kepada masyarakat Indonesia masa kini, ketika kedua negara kita adalah negara demokrasi. Ada tiga alasan untuk menerima tawaran tersebut.
Pertama, Boediono dan timnya adalah ekonom profesional yang akan menciptakan dan melaksanakan kebijakan berdasarkan ilmu yang mereka kuasai. Mereka tidak punya kepentingan lain sebagai pengusaha atau pemimpin partai politik.
Kedua, dalam sistem demokrasi yang berlaku kini, Boediono dan timnya terpaksa berhubungan dengan wakil rakyat di DPR secara langsung, transparan, dan kontinu. Perkataan dan perbuatan mereka akan dipantau, diperiksa, dan dinilai terus.
Hal ini berbeda sama sekali dengan zaman Soeharto, ketika Widjojo dan rekannya hanya berbicara kepada sang penguasa tunggal. Akhirnya, senjata pamungkas wakil rakyat adalah hak mereka untuk menolak tawaran Boediono kalau kinerjanya tak lagi memadai. Tentu kita semua berharap supaya hak itu tidak pernah perlu dilakukan.
Kolom ini juga bisa dibaca di Majalah Tempo, edisi 2 Desember 2005.
striking_brainwave
its just my inspiration, could be giving some advantages for us
Senin, 01 Juni 2009
Rabu, 25 Februari 2009
Korupsi Utang Luar Negeri Libatkan Kreditor
Rencana KPK untuk melakukan klarifikasi terhadap pengelolaan utang luar negeri pemerintah yang ditujukan kepada tiga lembaga yaitu Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Bappenas merupakan satu langkah positif. Meskipun cukup disayangkan mengapa inisiatif ini baru dilakukan saat ini meskipun penyimpangan pengelolaan utang luar negeri pemerintah sudah disuarakan sejak lama.
Rencana KPK untuk melakukan klarifikasi terhadap pengelolaan utang luar negeri pemerintah yang ditujukan kepada tiga lembaga yaitu Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Bappenas merupakan satu langkah positif. Meskipun cukup disayangkan mengapa inisiatif ini baru dilakukan saat ini meskipun penyimpangan pengelolaan utang luar negeri pemerintah sudah disuarakan sejak lama.
Penyimpangan dalam pengelolaan utang luar negeri pemerintah tidak hanya sebatas pada penyelewengan terhadap sejumlah uang tertentu yang berasal dari pinjaman atau utang luar negeri tetapi juga menyangkut persoalan yang lebih mendasar. Korupsi kebijakan untuk mematuhi berbagai agenda neoliberal yang bertentangan dengan amanat konstitusi dalam penyelenggaraan kebijakan ekonomi melalui berbagai policy matrix, letter of development policy, serta indikator makroekonomi dan fiskal yang harus dipenuhi oleh pihak debitor. Korupsi anggaran proyek utang akibat penggelembungan harga barang, kualitas tidak sesuai dengan standar yang ada, rendahnya penyerapan, banyaknya pinjaman yang kurang efektif maupun tidak efektif, pengelolaan yang tidak transparan, dsb.
Berbeda dengan data KPK yang mengutip hasil audit BPK yang menyatakan terdapat 2.214 loan agreement per bulan Juli 2008, menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU), sampai dengan tahun 2008 jumlah perjanjian pinjaman (loan agreement) yang telah ditandatangani oleh pemerintah, baik yang berasal dari lembaga multilateral, bilateral, maupun pinjaman komersial sebanyak ±5000 perjanjian. Struktur perjanjian pinjaman antara luar negeri pada umumnya terdiri atas mata uang, bunga, biaya-biaya, jangka waktu (tenor), jumlah angsuran, dan grace period. Grace period merupakan periode antara tanggal penandatanganan pinjaman dengan pembayaran cicilan pokok pertama. Sedangkan ketentuan atas bunga terdiri dari jenis bunga, referensi bunga, dan spread.
Proses pemeriksaan atau audit terhadap utang-utang luar negeri tersebut tidak hanya menyangkut transaparansi dan klarifikasi nominal dan perbedaan catatan antara beberapa lembaga seperti Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan Bappenas tetapi juga secara meyeluruh meliputi:
1. Total hutang, susunan, riwayat dan kerugiannya;
2. Asal mula, tujuan-tujuan, bagaimana kesepakatan hutang berlangsung (kondisi dan keadaan sekitar);
3. Syarat-syarat yang ditetapkan, bagaimana sumber-sumber ditempatkan
4. Bagaimana pembayaran utang menghisap anggaran negara, biaya-biaya sosial;
5. Legitimasi, legalitas utang;
6. Apa saja yang sudah dibayar dan siapa yang diuntungkan dari pembayaran itu, permukaan hubungan ketergantungan;
7. Komisi-komisi yang dibayar;
8. Bunga yang dikenakan dan dibayar, perubahan ketentuan-ketentuan unilateral;
9. Syarat perjanjian yang tak terduga
10. Mismanajemen hutang, pemeriksaan kebijakan ekonomi dan proses hutang
Untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap utang-utang luar negeri pemerintah maka terlebih dahulu diperlukan moratorium pembayaran utang dan penarikan sebelum penyelidikan terhadap penyelewengan utang luar negeri dilaporkan.
Karena utang luar negeri merupakan transaksi yang harus dibayar kembali, maka jika hasil penyelidikan KPK nantinya mampu membuktikan penyelewengan atas pengelolaan utang luar negeri maka harus juga dicarikan solusi bagi beban utang tersebut agar tidak lagi membebani anggaran negara. Penyelesaian terhadap beban utang yang terbukti telah disalahgunakan tersebut harus mencakup siapa yang harus membayar bebean utang yang tidak mendatangkan manfaat kepada rakyat tersebut atau diperlukan penghapusan utang atas utang-utang tersebut.
Tidak hanya menuntut pertanggungjawaban aktor-aktor domestik, tetapi juga pihak kreditor internasional karena transaksi utang luar negeri melibatkan kedua belah pihak baik debitor maupun kreditor. Terlebih lagi jika terdapat policy matrix ataupun berbagai macam conditionalities yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia sebagai debitor pada kenyataannya justru lebih banyak yang menguntungkan kepentingan pihak kreditor.
Rencana KPK untuk melakukan klarifikasi terhadap pengelolaan utang luar negeri pemerintah yang ditujukan kepada tiga lembaga yaitu Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Bappenas merupakan satu langkah positif. Meskipun cukup disayangkan mengapa inisiatif ini baru dilakukan saat ini meskipun penyimpangan pengelolaan utang luar negeri pemerintah sudah disuarakan sejak lama.
Penyimpangan dalam pengelolaan utang luar negeri pemerintah tidak hanya sebatas pada penyelewengan terhadap sejumlah uang tertentu yang berasal dari pinjaman atau utang luar negeri tetapi juga menyangkut persoalan yang lebih mendasar. Korupsi kebijakan untuk mematuhi berbagai agenda neoliberal yang bertentangan dengan amanat konstitusi dalam penyelenggaraan kebijakan ekonomi melalui berbagai policy matrix, letter of development policy, serta indikator makroekonomi dan fiskal yang harus dipenuhi oleh pihak debitor. Korupsi anggaran proyek utang akibat penggelembungan harga barang, kualitas tidak sesuai dengan standar yang ada, rendahnya penyerapan, banyaknya pinjaman yang kurang efektif maupun tidak efektif, pengelolaan yang tidak transparan, dsb.
Berbeda dengan data KPK yang mengutip hasil audit BPK yang menyatakan terdapat 2.214 loan agreement per bulan Juli 2008, menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU), sampai dengan tahun 2008 jumlah perjanjian pinjaman (loan agreement) yang telah ditandatangani oleh pemerintah, baik yang berasal dari lembaga multilateral, bilateral, maupun pinjaman komersial sebanyak ±5000 perjanjian. Struktur perjanjian pinjaman antara luar negeri pada umumnya terdiri atas mata uang, bunga, biaya-biaya, jangka waktu (tenor), jumlah angsuran, dan grace period. Grace period merupakan periode antara tanggal penandatanganan pinjaman dengan pembayaran cicilan pokok pertama. Sedangkan ketentuan atas bunga terdiri dari jenis bunga, referensi bunga, dan spread.
Proses pemeriksaan atau audit terhadap utang-utang luar negeri tersebut tidak hanya menyangkut transaparansi dan klarifikasi nominal dan perbedaan catatan antara beberapa lembaga seperti Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan Bappenas tetapi juga secara meyeluruh meliputi:
1. Total hutang, susunan, riwayat dan kerugiannya;
2. Asal mula, tujuan-tujuan, bagaimana kesepakatan hutang berlangsung (kondisi dan keadaan sekitar);
3. Syarat-syarat yang ditetapkan, bagaimana sumber-sumber ditempatkan
4. Bagaimana pembayaran utang menghisap anggaran negara, biaya-biaya sosial;
5. Legitimasi, legalitas utang;
6. Apa saja yang sudah dibayar dan siapa yang diuntungkan dari pembayaran itu, permukaan hubungan ketergantungan;
7. Komisi-komisi yang dibayar;
8. Bunga yang dikenakan dan dibayar, perubahan ketentuan-ketentuan unilateral;
9. Syarat perjanjian yang tak terduga
10. Mismanajemen hutang, pemeriksaan kebijakan ekonomi dan proses hutang
Untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap utang-utang luar negeri pemerintah maka terlebih dahulu diperlukan moratorium pembayaran utang dan penarikan sebelum penyelidikan terhadap penyelewengan utang luar negeri dilaporkan.
Karena utang luar negeri merupakan transaksi yang harus dibayar kembali, maka jika hasil penyelidikan KPK nantinya mampu membuktikan penyelewengan atas pengelolaan utang luar negeri maka harus juga dicarikan solusi bagi beban utang tersebut agar tidak lagi membebani anggaran negara. Penyelesaian terhadap beban utang yang terbukti telah disalahgunakan tersebut harus mencakup siapa yang harus membayar bebean utang yang tidak mendatangkan manfaat kepada rakyat tersebut atau diperlukan penghapusan utang atas utang-utang tersebut.
Tidak hanya menuntut pertanggungjawaban aktor-aktor domestik, tetapi juga pihak kreditor internasional karena transaksi utang luar negeri melibatkan kedua belah pihak baik debitor maupun kreditor. Terlebih lagi jika terdapat policy matrix ataupun berbagai macam conditionalities yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia sebagai debitor pada kenyataannya justru lebih banyak yang menguntungkan kepentingan pihak kreditor.
“catatan” Utang Luar Negeri Pemerintahan SBY
Fenomena ekonomi-politik yang terjadi akhir-akhir ini sering menggunakan isu utang luar negeri sebagai catatan keberhasilan pemerintah yang sedang berkuasa saat ini. Beberapa hal yang sering disebutkan diantaranya ”keberhasilan” untuk melunasi utang-utang IMF, menurunkan persentase stok utang luar negeri terhadap PDB, serta kemampuan untuk mempertahankan posisi sovereign credit rating Indonesia. Memang semua informasi yang diberikan pemerintah kepada publik adalah benar, namun ada beberapa konsekuensi dari ”keberhasilan” pemerintah tersebut yang jarang diketahui publik.
Fenomena ekonomi-politik yang terjadi akhir-akhir ini sering menggunakan isu utang luar negeri sebagai catatan keberhasilan pemerintah yang sedang berkuasa saat ini. Beberapa hal yang sering disebutkan diantaranya ”keberhasilan” untuk melunasi utang-utang IMF, menurunkan persentase stok utang luar negeri terhadap PDB, serta kemampuan untuk mempertahankan posisi sovereign credit rating Indonesia. Memang semua informasi yang diberikan pemerintah kepada publik adalah benar, namun ada beberapa konsekuensi dari ”keberhasilan” pemerintah tersebut yang jarang diketahui publik.
Komitmen pemerintah untuk terus melaksanakan kewajiban pembayaran pinjaman luar negerinya meskipun sumber keuangan negara terbatas. Sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan tren yang meningkat. Sejak awal masa pemerintahan presiden SBY di tahun 2005 sampai dengan September 2008 total pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp277 triliun. Sedangkan total penarikan pinjaman luar negeri baru dari tahun 2005 sampai dengan September 2008 sebesar Rp101,9 triliun. Meskipun jumlah pembayaran pinjaman luar negeri telah lebih dari dua kali lipat penarikan pinjaman baru, jumlah total debt outstanding justru meningkat dari Rp1.294,8 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp1.486,2 triliun pada bulan September 2008. Meskipun perkembangan rasio utang terhadap PDB menunjukkan penurunan, jika secara nominal total utang luar negeri pemerintah justru menunjukkan peningkatan. Data depkeu juga menyebutkan bahwa sampai dengan 5 tahun kedepan kewajiban untuk membayar kembali utang sesuai jatuh temponya masih cukup tinggi, rata-rata sekitar Rp89,2 triliun per tahun.
Data Dirjen Pengelolaan Utang menyebutkan bahwa sampai dengan akhir September 2008 jumlah penarikan pinjaman luar negeri pemerintah kumulatif sebesar USD 183.569,7 juta sedangkan jumlah cicilan pokok, bunga dan biaya-biaya utang luar negeri yang telah dibayarkan sebesar USD 192.322 juta. Pengalaman selama 4 tahun terakhir pemerintahan presiden SBY juga membuktikan bahwa secara nominal jumlah debt outstanding pemerintah justru meningkat meskipun jumlam pembayaran bunga dan cicilan pokok jauh lebih besar dari penarikan pinjaman baru
Untuk mengurangi beban pembayaran utang dalam jangka waktu dekat pemerintah melakukan strategi pertukaran utang (debt switching). Kebijakan restrukturisasi utang yang dilakukan pemerintah adalah melalui mekanisme pasar, yang antara lain dengan melakukan reprofiling, debt swap, dan buyback. Pemerintah juga telah menciptakan sumber-sumber keuangan negara yang lebih beragam sebagai bagian dari manajemen pengelolaan utangnya. Dengan demikian utang jangka pendek dapat dipindahkan beban pembayarannya melalui penerbitan SBN jangka panjang. Bertambahnya penerbitan SBN yang dilakukan pemerintah tidak hanya untuk menutupi defisit yang semakin besar, tetapi juga kebutuhan refinancing pinjaman luar negeri yang jatuh tempo.
Meskipun peningkatan penerbitan SUN yang dilakukan pemerintah didasari oleh semangat untuk mengurangi ketergantungan keuangan negara terhadap pinjaman luar negeri, porsi kepemilikan asing atas SUN menunjukkan peningkatan. Dari 2,69% pada bulan Desember 2004, kepemilikan asing atas SUN Indonesia meningkat menjadi 19,47% pada bulan September 2008. Fakta tersebut menunjukkan indikasi bahwa penerbitan SUN menjadi lahan investasi yang menarik bagi investor asing, terutama di tengah naiknya suku bunga dan imbal hasil akibat kondisi pasar keuangan saat ini.
Kondisi krisis keuangan global yang berdampak juga di Indonesia membuat pemerintah mengambil satu langkah kebijakan fiskal yaitu dengan memperlebar defisit anggaran sebesar 2,5% dari PDB yang berdampak pada semakin membengkaknya kebutuhan pembiayaan melalui utang luar negeri. Menurut Kepala Bappenas, Paskah Suzeta, pemerintah harus mencari dana pinjaman luar negeri mengingat keterbatasan kapasitas belanja pemerintah untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan, terutama dalam kondisi krisis global saat ini. Bahkan ironisnya, belanja parpol untuk pemilu 2009 pun dimasukkan sebagai salah satu faktor penopang pertumbuhan ekonomi.
Dalam pasal 23 APBN tahun 2009 disebutkan bahwa jika terjadi keadaan darurat seperti penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kenaikan biaya utang, maka pemerintah memeiliki kelonggaran untuk mengambil langkah-langkah diantaranya yaitu menerbitkan SBN yang melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN tahun yang bersangkutan dan melakukan penarikan dana pembiayaan siaga dari sumber pinjaman bilateral maupun multilateral. Tidak hanya untuk memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi, strategi tersebut dibutuhkan mengingat tingginya jumlah pinjaman luar negeri yang akan jatuh tempo pada tahun 2009 sebesar Rp60,82 triliun dan ditambah dengan jumlah SUN yang jatuh tempo sebesar Rp39,05 triliun.
Melihat tingginya biaya penerbitan SBN maka pemerintah meyakini pengalokasian pinjaman siaga untuk menutupi defisit APBN 2009 merupakan alternatif pembiayaan yang paling aman dan menarik di tengah ketidakpastian dalam pasar keuangan dan krisis ekonomi dunia saat ini. Di tengah kondisi pasar derivatif yang tidak stabil saat ini restrukturisasi utang melalui mekanisme pasar merupakan hal yang paling beresiko. Jika penerbitan SUN tidak mampu mencapai target maka hal ini membuktikan lemahnya kepercayaan pemegang SUN pemerintah Indonesia. Bagi para investor, saat ini yang paling aman adalah mengejar SUN yang diterbitkan oleh pemerintah Amerika karena dianggap investasi surat utang yang paling aman.
Beralih pada pinjaman siaga multilateral dan bilateral menjadi jalan keluar pemerintah untuk emnutupi pembengkakan defisit APBN 2009. Sampai dengan sekarang pemerintah menyatakan ”berhasil” mendapat komitmen pinjaman siaga hingga US$6 miliar (setara Rp66 triliun) yang bersumber dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Islam (IDB), Bank Pembangunan Asia (ADB), Pemerintah Australia, dan Pemerintah Jepang. Pinjaman siaga ini di luar nilai pinjaman proyek dan pinjaman program yang telah disepakati dengan lembaga donor. Melalui skema Deferred Drowdown Option [pinjaman siaga] yang didapat dari para kreditor bilateral dan multilateral tersebut Menteri Keuangan mengklaim suatu hasil yang menguntungkan karena besaran bunga yang hanya 2,75% dianggap lebih murah di tengah ketatnya likuiditas di pasar bila dibandingkan dengan bunga yang berasal dari penerbitan instrumen pembiayaan lain seperti surat utang negara.
Meskipun dikatakan memiliki bunga rendah dan tanpa conditionalities, komitmen yang dibuat oleh kreditor bilateral dan multilateral masih belum mencapai tahap persetujuan loan agreement. Oleh karena itu masih belum bisa dilihat bagaimana dampak pinjaman baru ini terhadap peningkatan stok utang pemerintah dan beban pembayarannya di masa yang akan datang. Jika merujuk pada skema DDO yang ditawarkan oleh Bank Dunia tetap ada beberapa hal yang menjadi prasyarat meskipun dikatakan sebelumnya bahwa pinjaman siaga tersebut tidak memiliki conditionalities diantaranya yaitu melakukan penyesuaian kerangka makroekonomi dan mengikuti program-program yang tercantum dalam Letter of Development Policy.
Selain membayar bunga pinjaman, skema DDO yang ditawarkan oleh Bank Dunia juga mensyaratkan biaya-biaya pinjaman seperti front-end fee dan commitment fee yang masing-masing besarnya 1% dengan ketentuan tertentu. Seharusnya menilai skema pinjaman siaga ini tidak sesederhana seperti yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan, hanya dengan mempertimbangakn rendahnya bunga pinjaman dan tidak adanya ikatan politis sebagai conditionalities pinjaman. Langkah pemerintah untuk tidak meminjam pada IMF bisa jadi disebabkan untuk menghindari sentimen negatif yang bisa berdampak politik bagi pemerintah yang sedang berkuasa sekarang, terutama di masa menjelang pemilu 2009. Namun yang perlu diingat bahwa baik IMF maupun Bank Dunia merupakan dua institusi keuangan internasional yang senantiasa berpegang pada Washington Consensus dalam setiap kebijakannya.
Jika berani melakukan tuntutan penghapusan utang, dan banyak argumentasi yang bisa dipakai bahwa tuntutan penghapusan utang memang legitimate untuk diterima Indonesia, maka pemerintah tidak perlu mengajukan pinjaman baru untuk mengatasi krisis. Alokasi pembayaran utang luar negeri bisa dimanfaatkan untuk membantu rakyat mengatasi dampak krisis. Belum lagi jika mempertimbangkan banyaknya proyek utang yang buruk kinerjanya seperti telah dijelaskan sebelumnya serta bukti-bukti audit yang dilakukan BPKP menemukan sebanyak Rp 438,15 miliar dana yang tidak digunakan (menyimpang) dan telah ditindaklanjuti sebesar Rp 330,41 miliar (75,41 persen) seharusnya bisa menjadi argumentasi yang kuat untuk menilai rendahnya efektifitas utang luar negeri sebagai instrumen pembangunan dan kebijakan ekonomi. Renegosiasi atas utang luar negeri pemerintah, atau penghentian pembayaran utang-utang luar negeri yang tidak efektif, illegitimate, dan merugikan kepentingan rakyat harusnya bisa dilakukan dan menjadi alternatif “penghematan” belanja negara sehingga penarikan utang baru tidak perlu dilakukan lagi.
Fenomena ekonomi-politik yang terjadi akhir-akhir ini sering menggunakan isu utang luar negeri sebagai catatan keberhasilan pemerintah yang sedang berkuasa saat ini. Beberapa hal yang sering disebutkan diantaranya ”keberhasilan” untuk melunasi utang-utang IMF, menurunkan persentase stok utang luar negeri terhadap PDB, serta kemampuan untuk mempertahankan posisi sovereign credit rating Indonesia. Memang semua informasi yang diberikan pemerintah kepada publik adalah benar, namun ada beberapa konsekuensi dari ”keberhasilan” pemerintah tersebut yang jarang diketahui publik.
Komitmen pemerintah untuk terus melaksanakan kewajiban pembayaran pinjaman luar negerinya meskipun sumber keuangan negara terbatas. Sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan tren yang meningkat. Sejak awal masa pemerintahan presiden SBY di tahun 2005 sampai dengan September 2008 total pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp277 triliun. Sedangkan total penarikan pinjaman luar negeri baru dari tahun 2005 sampai dengan September 2008 sebesar Rp101,9 triliun. Meskipun jumlah pembayaran pinjaman luar negeri telah lebih dari dua kali lipat penarikan pinjaman baru, jumlah total debt outstanding justru meningkat dari Rp1.294,8 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp1.486,2 triliun pada bulan September 2008. Meskipun perkembangan rasio utang terhadap PDB menunjukkan penurunan, jika secara nominal total utang luar negeri pemerintah justru menunjukkan peningkatan. Data depkeu juga menyebutkan bahwa sampai dengan 5 tahun kedepan kewajiban untuk membayar kembali utang sesuai jatuh temponya masih cukup tinggi, rata-rata sekitar Rp89,2 triliun per tahun.
Data Dirjen Pengelolaan Utang menyebutkan bahwa sampai dengan akhir September 2008 jumlah penarikan pinjaman luar negeri pemerintah kumulatif sebesar USD 183.569,7 juta sedangkan jumlah cicilan pokok, bunga dan biaya-biaya utang luar negeri yang telah dibayarkan sebesar USD 192.322 juta. Pengalaman selama 4 tahun terakhir pemerintahan presiden SBY juga membuktikan bahwa secara nominal jumlah debt outstanding pemerintah justru meningkat meskipun jumlam pembayaran bunga dan cicilan pokok jauh lebih besar dari penarikan pinjaman baru
Untuk mengurangi beban pembayaran utang dalam jangka waktu dekat pemerintah melakukan strategi pertukaran utang (debt switching). Kebijakan restrukturisasi utang yang dilakukan pemerintah adalah melalui mekanisme pasar, yang antara lain dengan melakukan reprofiling, debt swap, dan buyback. Pemerintah juga telah menciptakan sumber-sumber keuangan negara yang lebih beragam sebagai bagian dari manajemen pengelolaan utangnya. Dengan demikian utang jangka pendek dapat dipindahkan beban pembayarannya melalui penerbitan SBN jangka panjang. Bertambahnya penerbitan SBN yang dilakukan pemerintah tidak hanya untuk menutupi defisit yang semakin besar, tetapi juga kebutuhan refinancing pinjaman luar negeri yang jatuh tempo.
Meskipun peningkatan penerbitan SUN yang dilakukan pemerintah didasari oleh semangat untuk mengurangi ketergantungan keuangan negara terhadap pinjaman luar negeri, porsi kepemilikan asing atas SUN menunjukkan peningkatan. Dari 2,69% pada bulan Desember 2004, kepemilikan asing atas SUN Indonesia meningkat menjadi 19,47% pada bulan September 2008. Fakta tersebut menunjukkan indikasi bahwa penerbitan SUN menjadi lahan investasi yang menarik bagi investor asing, terutama di tengah naiknya suku bunga dan imbal hasil akibat kondisi pasar keuangan saat ini.
Kondisi krisis keuangan global yang berdampak juga di Indonesia membuat pemerintah mengambil satu langkah kebijakan fiskal yaitu dengan memperlebar defisit anggaran sebesar 2,5% dari PDB yang berdampak pada semakin membengkaknya kebutuhan pembiayaan melalui utang luar negeri. Menurut Kepala Bappenas, Paskah Suzeta, pemerintah harus mencari dana pinjaman luar negeri mengingat keterbatasan kapasitas belanja pemerintah untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan, terutama dalam kondisi krisis global saat ini. Bahkan ironisnya, belanja parpol untuk pemilu 2009 pun dimasukkan sebagai salah satu faktor penopang pertumbuhan ekonomi.
Dalam pasal 23 APBN tahun 2009 disebutkan bahwa jika terjadi keadaan darurat seperti penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kenaikan biaya utang, maka pemerintah memeiliki kelonggaran untuk mengambil langkah-langkah diantaranya yaitu menerbitkan SBN yang melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN tahun yang bersangkutan dan melakukan penarikan dana pembiayaan siaga dari sumber pinjaman bilateral maupun multilateral. Tidak hanya untuk memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi, strategi tersebut dibutuhkan mengingat tingginya jumlah pinjaman luar negeri yang akan jatuh tempo pada tahun 2009 sebesar Rp60,82 triliun dan ditambah dengan jumlah SUN yang jatuh tempo sebesar Rp39,05 triliun.
Melihat tingginya biaya penerbitan SBN maka pemerintah meyakini pengalokasian pinjaman siaga untuk menutupi defisit APBN 2009 merupakan alternatif pembiayaan yang paling aman dan menarik di tengah ketidakpastian dalam pasar keuangan dan krisis ekonomi dunia saat ini. Di tengah kondisi pasar derivatif yang tidak stabil saat ini restrukturisasi utang melalui mekanisme pasar merupakan hal yang paling beresiko. Jika penerbitan SUN tidak mampu mencapai target maka hal ini membuktikan lemahnya kepercayaan pemegang SUN pemerintah Indonesia. Bagi para investor, saat ini yang paling aman adalah mengejar SUN yang diterbitkan oleh pemerintah Amerika karena dianggap investasi surat utang yang paling aman.
Beralih pada pinjaman siaga multilateral dan bilateral menjadi jalan keluar pemerintah untuk emnutupi pembengkakan defisit APBN 2009. Sampai dengan sekarang pemerintah menyatakan ”berhasil” mendapat komitmen pinjaman siaga hingga US$6 miliar (setara Rp66 triliun) yang bersumber dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Islam (IDB), Bank Pembangunan Asia (ADB), Pemerintah Australia, dan Pemerintah Jepang. Pinjaman siaga ini di luar nilai pinjaman proyek dan pinjaman program yang telah disepakati dengan lembaga donor. Melalui skema Deferred Drowdown Option [pinjaman siaga] yang didapat dari para kreditor bilateral dan multilateral tersebut Menteri Keuangan mengklaim suatu hasil yang menguntungkan karena besaran bunga yang hanya 2,75% dianggap lebih murah di tengah ketatnya likuiditas di pasar bila dibandingkan dengan bunga yang berasal dari penerbitan instrumen pembiayaan lain seperti surat utang negara.
Meskipun dikatakan memiliki bunga rendah dan tanpa conditionalities, komitmen yang dibuat oleh kreditor bilateral dan multilateral masih belum mencapai tahap persetujuan loan agreement. Oleh karena itu masih belum bisa dilihat bagaimana dampak pinjaman baru ini terhadap peningkatan stok utang pemerintah dan beban pembayarannya di masa yang akan datang. Jika merujuk pada skema DDO yang ditawarkan oleh Bank Dunia tetap ada beberapa hal yang menjadi prasyarat meskipun dikatakan sebelumnya bahwa pinjaman siaga tersebut tidak memiliki conditionalities diantaranya yaitu melakukan penyesuaian kerangka makroekonomi dan mengikuti program-program yang tercantum dalam Letter of Development Policy.
Selain membayar bunga pinjaman, skema DDO yang ditawarkan oleh Bank Dunia juga mensyaratkan biaya-biaya pinjaman seperti front-end fee dan commitment fee yang masing-masing besarnya 1% dengan ketentuan tertentu. Seharusnya menilai skema pinjaman siaga ini tidak sesederhana seperti yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan, hanya dengan mempertimbangakn rendahnya bunga pinjaman dan tidak adanya ikatan politis sebagai conditionalities pinjaman. Langkah pemerintah untuk tidak meminjam pada IMF bisa jadi disebabkan untuk menghindari sentimen negatif yang bisa berdampak politik bagi pemerintah yang sedang berkuasa sekarang, terutama di masa menjelang pemilu 2009. Namun yang perlu diingat bahwa baik IMF maupun Bank Dunia merupakan dua institusi keuangan internasional yang senantiasa berpegang pada Washington Consensus dalam setiap kebijakannya.
Jika berani melakukan tuntutan penghapusan utang, dan banyak argumentasi yang bisa dipakai bahwa tuntutan penghapusan utang memang legitimate untuk diterima Indonesia, maka pemerintah tidak perlu mengajukan pinjaman baru untuk mengatasi krisis. Alokasi pembayaran utang luar negeri bisa dimanfaatkan untuk membantu rakyat mengatasi dampak krisis. Belum lagi jika mempertimbangkan banyaknya proyek utang yang buruk kinerjanya seperti telah dijelaskan sebelumnya serta bukti-bukti audit yang dilakukan BPKP menemukan sebanyak Rp 438,15 miliar dana yang tidak digunakan (menyimpang) dan telah ditindaklanjuti sebesar Rp 330,41 miliar (75,41 persen) seharusnya bisa menjadi argumentasi yang kuat untuk menilai rendahnya efektifitas utang luar negeri sebagai instrumen pembangunan dan kebijakan ekonomi. Renegosiasi atas utang luar negeri pemerintah, atau penghentian pembayaran utang-utang luar negeri yang tidak efektif, illegitimate, dan merugikan kepentingan rakyat harusnya bisa dilakukan dan menjadi alternatif “penghematan” belanja negara sehingga penarikan utang baru tidak perlu dilakukan lagi.
Communiqué Bersama Masyarakat Sipil Sebagai Respon Terhadap Krisis Global
Sistem ekonomi-politik global yang berkembang saat ini telah dipakai untuk mendorong liberalisasi ekonomi di segala sektor baik melalui liberalisasi perdagangan, liberalisasi modal, maupun liberalisasi sektor keuangan. Liberalisasi yang diasumsikan mampu mendorong pertumbuhan tersebut ternyata juga menimbulkan kemiskinan, kesenjangan, ketidak-adilan, serta sistem keuangan yang tidak stabil dan justru memicu krisis global seperti saat ini. Di bawah sistem pasar yang terbuka membuat nasib jutaan masyarakat dunia bisa ditentukan oleh tindakan segelintir spekulator.
Latar Belakang
Sistem ekonomi-politik global yang berkembang saat ini telah dipakai untuk mendorong liberalisasi ekonomi di segala sektor baik melalui liberalisasi perdagangan, liberalisasi modal, maupun liberalisasi sektor keuangan. Liberalisasi yang diasumsikan mampu mendorong pertumbuhan tersebut ternyata juga menimbulkan kemiskinan, kesenjangan, ketidak-adilan, serta sistem keuangan yang tidak stabil dan justru memicu krisis global seperti saat ini. Di bawah sistem pasar yang terbuka membuat nasib jutaan masyarakat dunia bisa ditentukan oleh tindakan segelintir spekulator. Sistem ekonomi terbuka juga membuat ekonomi nasional semakin rentan terhadap goncangan eksternal.
Prinsip “laissez-faire” yang dipercaya oleh penganut neoliberalisme dan disebarkan ke seluruh dunia ternyata tidak mampu mewujudkan efek “tetesan ke bawah” (trickle down effect). Rezim neoliberal yang didukung oleh institusi-institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) justru sering melahirkan kebijakan yang menyebabkan kerugian di negara-negara berkembang. Sistem ini justru melanggengkan eksploitasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang terutama melalui kegiatan industri pertambangan dan transaksi utang luar negeri. Dominasi satu kekuatan tertentu juga membuat proses pengambilan keputsan menjadi jauh dari prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.
Krisis dan Dampaknya
Krisis keuangan yang berawal di Amerika Serikat telah berkembang menjadi ancaman global dan ikut menyeret negara-negara dunia ketiga yang berada pada lantai terlemah ekonomi dunia ikut terjebak di dalamnya. Namun, pemerintah Amerika Serikat dan institusi Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia) telah gagal mengatasinya. Saat ini mereka meminta seluruh dunia untuk ikut menanggung biaya krisis keuangan global yang bahkan negara berkembang tidak menjadi penyebabnya.
Ancaman pemutusan hubungan kerja semakin menyebar ke seluruh dunia disebabkan oleh deindustrialisasi dan turunnya kemampuan produksi. Jumlah ekspor yang menurun tidak hanya karena turunnya permintaan tetapi juga aksi setiap negara untuk mengetatkan impor untuk menyelamatkan ekonomi negaranya masing-masing. Aliran pelarian modal semakin besar karena investor asing ingin menyelamatkan kebutuhan likuiditas di negara asalnya. Depresiasi mata uang, krisis nilai tukar, dan tekanan inflasi memperbesar efek krisis yang dirasakan negara-negara berkembang.
Namun sayangnya kebijakan yang diambil sebagai respon terhadap krisis tetap tidak mencerminkan keberpihakan terhadap jutaan rakyat miskin. Aksi seragam atas injeksi likuiditas di sektor keuangan serta bailout dilakukan untuk “menolong” sektor perbankan dan lembaga-lembaga hedge fund dianggap sebagai obat generic yang mampu mengatasi masalah. Bahkan pemerintah Indonesia tidak tanggung-tanggung segera melakukan buyback saham dan SUN yang hanya berdampak pada semakin berkurangnya kerugian yang diderita investor pemegang saham dan surat berharga negara.
Rekomendasi yang diajukan pemerintah Indonesia melalui menteri keuangan dalam forum pertemuan tingkat menteri negara-negara G20 juga mengecewakan. Kesepakatan untuk mereformasi Bretton Woods Institution hanya menghasilkan pemberian mandat kepada Bank Dunia dan Bank pembangunan lainnya untuk meningkatkan kapasitas pinjaman melalui “global expenditure fund”. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia kembali kepada tradisi lama yaitu pinjaman (utang) untuk mengatasi masalah. Rekomendasi ini perlu diwaspadai sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan pemerintah menarik pinjaman siaga dari Bank Dunia yang telah memberikan komitmen sebesar USD $2 milyar.
Tantangan dan Kesempatan
Paradigma neoliberal tidak hanya terbukti telah gagal, tetapi juga telah memperlebar jurang kemiskinan karena kemakmuran dan akumulasi capital hanya terpusat pada segelintir orang. Nasib masyarakat dunia yang terkena dampak krisis global tidak hanya cukup diserahkan pada segelintir pemimpin negara-negara G20 dan G8. Skenario penyelamatan dari krisis saat ini harus melalui mekanisme yang adil dan demokratis serta merepresentasikan seluruh negara-negara di dunia dan bukan hanya negara-negara yang mengusai ekonomi dunia.
Sudah saatnya gagasan alternatif bagi sistem politik-ekonomi global yang konsisten pada nilai-nilai keadilan dan solidaritas sosial serta menghormatai prinsip demokrasi dalam pengambilan keputusan. Sudah saatnya mengambil kebijakan yang melihat dari sudut pandang korban, yaitu sekitar 850 juta masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan bukan untuk menyelamatkan aset segelintir pemilik modal. Kontradiksi kebijakan bailout yang tidak berpihak pada masyarakat miskin dunia terbukti dengan jumlah dana yg dikucurkan The Fed untuk menyelamatkan perbankan sebesar USD $700 milyar sedangkan komitmen yang diberikan oleh seluruh negara-negara maju untuk debt cancellation bagi negara-negara dunia ketiga hanya sebesar USD $100 milyar dan sampai tahun 2008 hanya USD $88 milyar yang telah dicairkan.
Meskipun krisis telah bisa diramalkan, lembaga keuangan internasional yang bertanggung jawab menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan global telah gagal untuk mengantisipasi dan mencegah dampaknya yang semakin meluas. Sangat penting belajar pada pengalaman krisis di tahun 1980-an, 1990-an, dan 2000 baik yang terjadi di Amerika Latin atau Asia Tenggara bahwa lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia hanya mengaplikasikan kebijakan stabilisasi neoklasik yang mengabaikan dan tidak memprioritaskan kepentingan masyarakat miskin. Bahkan sampai saat ini IMF juga masih menyarankan kebijakan yang telah terbukti gagal di masa lalu untukmenghadapi krisis yaitu pemotongan anggaran sosial yang justru sangat dibutuhkan untuk memenuhi hak dasar rakyat.
Proposal dan Aksi Bersama
1. Mengubah prioritas kebijakan untuk merespon krisis dari aksi bailout sektor perbankan menjadi jaminan sosial bagi rakyat
2. Pemanfaatan dana masyarakat yang terhimpun dalam APBN diprioritaskan untuk melindungi hak dasar rakyat di bidang pangan, kesehatan, pendidikan, energi serta lingkungan dari dampak krisis dan bukan untuk menanggung kerugian sektor keuangan dan berbagai macam akibat bisnis spekulasi
3. Melakukan kontrol terhadap perdagangan pasar uang dan saham (derivative) untuk menekan aksi spekulasi dan tingginya aliran hot money yang bisa mengancam stabilitas ekonomi nasional
4. Menghentikan segala bentuk eksploitasi yang menimbulkan penghisapan negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang baik melalui eksploitasi sumber daya alam maupun transaksi utang luar negeri
5. Melakukan negosiasi kepada pihak kreditor untuk menghentikan pembayaran utang tidak hanya karena rakyat Indonesia lebih membutuhkan untuk menghadapi dampak krisis global tetapi juga kenyataan bahwa seluruh total pembayaran cicilan pokok, bunga, dan biaya yang telah dilakukan sudah melebihi jumlah utang yang diterima (disbursement)
6. Mendesakkan prioritas agenda penghapusan utang dan bukan menciptakan mekanisme pinjaman baru yang tetap mengandalkan institusi keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia
7. Tidak melibatkan lembaga-lembaga IMF dan Bank Dunia dalam berbagai upaya untuk mengatasi krisis karena lembaga-lembaga tersebut ikut bertanggung jawab sebagai penyebab krisis global yang meluas
8. Merubah sistem politik, ekonomi, dan keuangan internasional yang tidak mencerminkan keadilan, demokrasi, dan mengancam kedaulatan karena hanya menjadi alat dominasi dan eksploitasi negara-negara dunia ketiga, termasuk institusi-institusi internasional (IFI’s) di dalamnya seperti WTO, IMF dan Bank Dunia
9. Menciptakan sistem yang mampu membentuk pola hubungan yang adil antar negara-negara di dunia, menghormati prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia dan kesetaraan gender, serta menjamin terwujudnya kedaulatan pangan, ekonomi dan politik
Latar Belakang
Sistem ekonomi-politik global yang berkembang saat ini telah dipakai untuk mendorong liberalisasi ekonomi di segala sektor baik melalui liberalisasi perdagangan, liberalisasi modal, maupun liberalisasi sektor keuangan. Liberalisasi yang diasumsikan mampu mendorong pertumbuhan tersebut ternyata juga menimbulkan kemiskinan, kesenjangan, ketidak-adilan, serta sistem keuangan yang tidak stabil dan justru memicu krisis global seperti saat ini. Di bawah sistem pasar yang terbuka membuat nasib jutaan masyarakat dunia bisa ditentukan oleh tindakan segelintir spekulator. Sistem ekonomi terbuka juga membuat ekonomi nasional semakin rentan terhadap goncangan eksternal.
Prinsip “laissez-faire” yang dipercaya oleh penganut neoliberalisme dan disebarkan ke seluruh dunia ternyata tidak mampu mewujudkan efek “tetesan ke bawah” (trickle down effect). Rezim neoliberal yang didukung oleh institusi-institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) justru sering melahirkan kebijakan yang menyebabkan kerugian di negara-negara berkembang. Sistem ini justru melanggengkan eksploitasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang terutama melalui kegiatan industri pertambangan dan transaksi utang luar negeri. Dominasi satu kekuatan tertentu juga membuat proses pengambilan keputsan menjadi jauh dari prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.
Krisis dan Dampaknya
Krisis keuangan yang berawal di Amerika Serikat telah berkembang menjadi ancaman global dan ikut menyeret negara-negara dunia ketiga yang berada pada lantai terlemah ekonomi dunia ikut terjebak di dalamnya. Namun, pemerintah Amerika Serikat dan institusi Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia) telah gagal mengatasinya. Saat ini mereka meminta seluruh dunia untuk ikut menanggung biaya krisis keuangan global yang bahkan negara berkembang tidak menjadi penyebabnya.
Ancaman pemutusan hubungan kerja semakin menyebar ke seluruh dunia disebabkan oleh deindustrialisasi dan turunnya kemampuan produksi. Jumlah ekspor yang menurun tidak hanya karena turunnya permintaan tetapi juga aksi setiap negara untuk mengetatkan impor untuk menyelamatkan ekonomi negaranya masing-masing. Aliran pelarian modal semakin besar karena investor asing ingin menyelamatkan kebutuhan likuiditas di negara asalnya. Depresiasi mata uang, krisis nilai tukar, dan tekanan inflasi memperbesar efek krisis yang dirasakan negara-negara berkembang.
Namun sayangnya kebijakan yang diambil sebagai respon terhadap krisis tetap tidak mencerminkan keberpihakan terhadap jutaan rakyat miskin. Aksi seragam atas injeksi likuiditas di sektor keuangan serta bailout dilakukan untuk “menolong” sektor perbankan dan lembaga-lembaga hedge fund dianggap sebagai obat generic yang mampu mengatasi masalah. Bahkan pemerintah Indonesia tidak tanggung-tanggung segera melakukan buyback saham dan SUN yang hanya berdampak pada semakin berkurangnya kerugian yang diderita investor pemegang saham dan surat berharga negara.
Rekomendasi yang diajukan pemerintah Indonesia melalui menteri keuangan dalam forum pertemuan tingkat menteri negara-negara G20 juga mengecewakan. Kesepakatan untuk mereformasi Bretton Woods Institution hanya menghasilkan pemberian mandat kepada Bank Dunia dan Bank pembangunan lainnya untuk meningkatkan kapasitas pinjaman melalui “global expenditure fund”. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia kembali kepada tradisi lama yaitu pinjaman (utang) untuk mengatasi masalah. Rekomendasi ini perlu diwaspadai sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan pemerintah menarik pinjaman siaga dari Bank Dunia yang telah memberikan komitmen sebesar USD $2 milyar.
Tantangan dan Kesempatan
Paradigma neoliberal tidak hanya terbukti telah gagal, tetapi juga telah memperlebar jurang kemiskinan karena kemakmuran dan akumulasi capital hanya terpusat pada segelintir orang. Nasib masyarakat dunia yang terkena dampak krisis global tidak hanya cukup diserahkan pada segelintir pemimpin negara-negara G20 dan G8. Skenario penyelamatan dari krisis saat ini harus melalui mekanisme yang adil dan demokratis serta merepresentasikan seluruh negara-negara di dunia dan bukan hanya negara-negara yang mengusai ekonomi dunia.
Sudah saatnya gagasan alternatif bagi sistem politik-ekonomi global yang konsisten pada nilai-nilai keadilan dan solidaritas sosial serta menghormatai prinsip demokrasi dalam pengambilan keputusan. Sudah saatnya mengambil kebijakan yang melihat dari sudut pandang korban, yaitu sekitar 850 juta masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan bukan untuk menyelamatkan aset segelintir pemilik modal. Kontradiksi kebijakan bailout yang tidak berpihak pada masyarakat miskin dunia terbukti dengan jumlah dana yg dikucurkan The Fed untuk menyelamatkan perbankan sebesar USD $700 milyar sedangkan komitmen yang diberikan oleh seluruh negara-negara maju untuk debt cancellation bagi negara-negara dunia ketiga hanya sebesar USD $100 milyar dan sampai tahun 2008 hanya USD $88 milyar yang telah dicairkan.
Meskipun krisis telah bisa diramalkan, lembaga keuangan internasional yang bertanggung jawab menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan global telah gagal untuk mengantisipasi dan mencegah dampaknya yang semakin meluas. Sangat penting belajar pada pengalaman krisis di tahun 1980-an, 1990-an, dan 2000 baik yang terjadi di Amerika Latin atau Asia Tenggara bahwa lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia hanya mengaplikasikan kebijakan stabilisasi neoklasik yang mengabaikan dan tidak memprioritaskan kepentingan masyarakat miskin. Bahkan sampai saat ini IMF juga masih menyarankan kebijakan yang telah terbukti gagal di masa lalu untukmenghadapi krisis yaitu pemotongan anggaran sosial yang justru sangat dibutuhkan untuk memenuhi hak dasar rakyat.
Proposal dan Aksi Bersama
1. Mengubah prioritas kebijakan untuk merespon krisis dari aksi bailout sektor perbankan menjadi jaminan sosial bagi rakyat
2. Pemanfaatan dana masyarakat yang terhimpun dalam APBN diprioritaskan untuk melindungi hak dasar rakyat di bidang pangan, kesehatan, pendidikan, energi serta lingkungan dari dampak krisis dan bukan untuk menanggung kerugian sektor keuangan dan berbagai macam akibat bisnis spekulasi
3. Melakukan kontrol terhadap perdagangan pasar uang dan saham (derivative) untuk menekan aksi spekulasi dan tingginya aliran hot money yang bisa mengancam stabilitas ekonomi nasional
4. Menghentikan segala bentuk eksploitasi yang menimbulkan penghisapan negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang baik melalui eksploitasi sumber daya alam maupun transaksi utang luar negeri
5. Melakukan negosiasi kepada pihak kreditor untuk menghentikan pembayaran utang tidak hanya karena rakyat Indonesia lebih membutuhkan untuk menghadapi dampak krisis global tetapi juga kenyataan bahwa seluruh total pembayaran cicilan pokok, bunga, dan biaya yang telah dilakukan sudah melebihi jumlah utang yang diterima (disbursement)
6. Mendesakkan prioritas agenda penghapusan utang dan bukan menciptakan mekanisme pinjaman baru yang tetap mengandalkan institusi keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia
7. Tidak melibatkan lembaga-lembaga IMF dan Bank Dunia dalam berbagai upaya untuk mengatasi krisis karena lembaga-lembaga tersebut ikut bertanggung jawab sebagai penyebab krisis global yang meluas
8. Merubah sistem politik, ekonomi, dan keuangan internasional yang tidak mencerminkan keadilan, demokrasi, dan mengancam kedaulatan karena hanya menjadi alat dominasi dan eksploitasi negara-negara dunia ketiga, termasuk institusi-institusi internasional (IFI’s) di dalamnya seperti WTO, IMF dan Bank Dunia
9. Menciptakan sistem yang mampu membentuk pola hubungan yang adil antar negara-negara di dunia, menghormati prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia dan kesetaraan gender, serta menjamin terwujudnya kedaulatan pangan, ekonomi dan politik
Krisis Global dalam APBN 2009
Tidak cukup hanya dengan mengeluarkan sepuluh perintah dalam menghadapi krisis finansial yang diimplementasikan antara lain dengan melakukan buyback saham-saham BUMN dan SUN, pemerintahan SBY-JK juga mengeluarkan langkah untuk ”mengamankan” anggaran (APBN 2009). Kebijakan tersebut sebagaimana tercantum dalam Ayat Dua Pasal 23 RAPBN 2009, pemerintah dapat melakukan sejumlah langkah apabila telah menyampaikan usulannya kepada DPR.
Tidak cukup hanya dengan mengeluarkan sepuluh perintah dalam menghadapi krisis finansial yang diimplementasikan antara lain dengan melakukan buyback saham-saham BUMN dan SUN, pemerintahan SBY-JK juga mengeluarkan langkah untuk ”mengamankan” anggaran (APBN 2009). Kebijakan tersebut sebagaimana tercantum dalam Ayat Dua Pasal 23 RAPBN 2009, pemerintah dapat melakukan sejumlah langkah apabila telah menyampaikan usulannya kepada DPR. Langkah tersebut berupa ; 1. melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya dan atau pengeluaran melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN 2009; 2. melakukan pergeseran anggaran belanja antar program, antar kegiatan dan atau antar jenis belanja dalam satu kementerian atau lembaga dan atau antar kementerian dan lembaga; 3. penghematan belanja negara dalam rangka peningkatan efisiensi karena sasaran program atau kegiatan prioritas yang tetap harus tercapai; 4. menerbitkan SBN yang melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN tahun yang bersangkutan; 5. penarikan dana pembiayaan siaga dari sumber pinjaman bilateral maupun multilateral.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam revisi RUU APBN 2009 yang diajukan pemerintah dan telah disahkan oleh DPR pada akhir bulan Oktober kemarin. Pertama, tentang penerbitan SBN yang melebihi pagu yang ditetapkan APBN. Meskipun pemerintah sudah menurunkan target penerbitan SBN pada tahun 2009 dari Rp103,5 triliun menjadi Rp54,7 triliun, munculnya kebijakan tersebut memberikan kelonggaran bagi pemerintah untuk tetap menerbitkan SBN dalam jumlah yang besar. Strategi tersebut dibutuhkan mengingat tingginya jumlah pinjaman luar negeri yang akan jatuh tempo pada tahun 2009 sebesar Rp60,82 triliun dan ditambah dengan jumlah SUN yang jatuh tempo sebesar Rp39,05 triliun.
Di sisi lain jumlah cadangan devisa negara juga telah terkuras sebesar 4,1 miliar dollar AS lebih, dari 56,6 miliar dollar AS menjadi 52,5 miliar dollar AS untuk melakukan intervensi terhadap nilai tukar mata uang agar nilai rupiah tidak terus merosot. Nilai tersebut pun diragukan, karena diperkirakan BI telah menghabiskan 15-20 miliar dollar AS.
Pasal 23 tersebut memberikan kelonggaran bagi pemerintah untuk menerbitkan SBN lebih banyak dari yang ditargetkan dalam APBN meskipun resiko dan cost of borrowing penerbitan SBN semakin mahal sebagai akibat dari krisis yang terjadi saat ini. Tidak hanya kenaikan suku bunga Libor yang ditanggung pemerintah, tetapi juga kenaikan yield (imbal hasil) yang disebabkan oleh naiknya premi risiko akibat krisis subprime mortgage serta ekpektasi kenaikan inflasi akibat naiknya harga minyak dan komoditas di pasar internasional.
Bisa dilihat bahwa apa yang dilakukan pemerintah tidak hanya melindungi kepentingan pemodal besar (baca: asing) dengan kebijakan buyback saham dan SUN, tetapi juga berani mengambil kebijakan yang semakin memperbesar resiko krisis global yang akan berdampak pada Indonesia. Bertambahnya penerbitan SBN diperlukan karena semakin besarnya defisit dan kebutuhan refinancing (sebagian) PLN yang jatuh tempo. Strategi pengelolaan utang pemerintah saat ini yang dilakukan hanya melalui mekanisme pasar diantaranya dengan melakukan reprofiling, debt swap, dan buyback.
Di tengah kondisi pasar derivatif yang tidak stabil saat ini restrukturisasi utang melalui mekanisme pasar merupakan hal yang paling beresiko. Pada hasil buyback SUN yang dilakukan pemerintah pada tanggal 30 Oktober kemarin pembelian pemerintah hanya sebesar Rp41 milyar yang jauh lebih kecil dari penawaran pemegang surat utang sebesar Rp1,247 trilyun. Hal ini membuktikan lemahnya kepercayaan pemegang SUN pemerintah Indonesia. Bagi para investor, saat ini yang paling aman adalah mengejar SUN yang diterbitkan oleh pemerintah Amerika karena dianggap investasi surat utang yang paling aman.
Kedua, berkaitan dengan penarikan dana pembiayaan siaga dari sumber pinjaman bilateral maupun multilateral yang sampai saat ini komitmen pinjaman siaga baru didapat dari Bank Dunia sebesar USD 2 milyar. Langkah pemerintah untuk tidak meminjam pada IMF bisa jadi hanya disebabkan untuk menghindari sentimen negatif yang bisa berdampak politik bagi pemerintah yang sedang berkuasa sekarang, terutama di masa menjelang pemilu 2009. Namun yang perlu diingat bahwa baik IMF maupun Bank Dunia merupakan dua institusi keuangan internasional yang senantiasa berpegang pada Washington Consensus dalam setiap kebijakannya. Untuk itulah kita harus tetap mewaspadai conditionalities (persyaratan) yang akan dikenakan oleh Bank Dunia dalam memberikan pinjaman.
Momentum krisis finansial global yang membuktikan bagaimana “kegagalan” mekanisme pasar ini seharusnya dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menegosiasikan kembali utang-utang pemerintah dan bukannya melakukan restrukturisasi utang melalui mekanisme pasar juga atau menarik pinjaman multilateral dan bilateral baru. Data Dirjen Pengelolaan Utang menyebutkan bahwa sampai dengan akhir September 2008 jumlah penarikan pinjaman luar negeri pemerintah kumulatif sebesar USD 183.569,7 juta sedangkan jumlah cicilan pokok, bunga dan biaya-biaya utang luar negeri yang telah dibayarkan sebesar USD 192.322 juta. Dengan demikian, jumlah yang dibayarkan sebenarnya sudah jauh lebih besar dari jumlah pinjaman luar negeri yang diterima Indonesia. dengan kata lain sebenarnya utang-utang luar negeri kita sudah terbayar lunas, bahkan lebih.
Jika berani melakukan tuntutan penghapusan utang, dan banyak argumentasi yang bisa dipakai bahwa tuntutan penghapusan utang memang legitimate untuk diterima Indonesia, maka pemerintah tidak perlu mengajukan pinjaman baru untuk mengatasi krisis. Alokasi pembayaran utang luar negeri bisa dimanfaatkan untuk membantu rakyat mengatasi dampak krisis. Langkah ini tentunya akan lebih bermanfaat bagi rakyat daripada kebijakan memotong subsidi pangan untuk mempertahankan sektor riil dari hantaman krisis.
Tidak cukup hanya dengan mengeluarkan sepuluh perintah dalam menghadapi krisis finansial yang diimplementasikan antara lain dengan melakukan buyback saham-saham BUMN dan SUN, pemerintahan SBY-JK juga mengeluarkan langkah untuk ”mengamankan” anggaran (APBN 2009). Kebijakan tersebut sebagaimana tercantum dalam Ayat Dua Pasal 23 RAPBN 2009, pemerintah dapat melakukan sejumlah langkah apabila telah menyampaikan usulannya kepada DPR. Langkah tersebut berupa ; 1. melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya dan atau pengeluaran melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN 2009; 2. melakukan pergeseran anggaran belanja antar program, antar kegiatan dan atau antar jenis belanja dalam satu kementerian atau lembaga dan atau antar kementerian dan lembaga; 3. penghematan belanja negara dalam rangka peningkatan efisiensi karena sasaran program atau kegiatan prioritas yang tetap harus tercapai; 4. menerbitkan SBN yang melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN tahun yang bersangkutan; 5. penarikan dana pembiayaan siaga dari sumber pinjaman bilateral maupun multilateral.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam revisi RUU APBN 2009 yang diajukan pemerintah dan telah disahkan oleh DPR pada akhir bulan Oktober kemarin. Pertama, tentang penerbitan SBN yang melebihi pagu yang ditetapkan APBN. Meskipun pemerintah sudah menurunkan target penerbitan SBN pada tahun 2009 dari Rp103,5 triliun menjadi Rp54,7 triliun, munculnya kebijakan tersebut memberikan kelonggaran bagi pemerintah untuk tetap menerbitkan SBN dalam jumlah yang besar. Strategi tersebut dibutuhkan mengingat tingginya jumlah pinjaman luar negeri yang akan jatuh tempo pada tahun 2009 sebesar Rp60,82 triliun dan ditambah dengan jumlah SUN yang jatuh tempo sebesar Rp39,05 triliun.
Di sisi lain jumlah cadangan devisa negara juga telah terkuras sebesar 4,1 miliar dollar AS lebih, dari 56,6 miliar dollar AS menjadi 52,5 miliar dollar AS untuk melakukan intervensi terhadap nilai tukar mata uang agar nilai rupiah tidak terus merosot. Nilai tersebut pun diragukan, karena diperkirakan BI telah menghabiskan 15-20 miliar dollar AS.
Pasal 23 tersebut memberikan kelonggaran bagi pemerintah untuk menerbitkan SBN lebih banyak dari yang ditargetkan dalam APBN meskipun resiko dan cost of borrowing penerbitan SBN semakin mahal sebagai akibat dari krisis yang terjadi saat ini. Tidak hanya kenaikan suku bunga Libor yang ditanggung pemerintah, tetapi juga kenaikan yield (imbal hasil) yang disebabkan oleh naiknya premi risiko akibat krisis subprime mortgage serta ekpektasi kenaikan inflasi akibat naiknya harga minyak dan komoditas di pasar internasional.
Bisa dilihat bahwa apa yang dilakukan pemerintah tidak hanya melindungi kepentingan pemodal besar (baca: asing) dengan kebijakan buyback saham dan SUN, tetapi juga berani mengambil kebijakan yang semakin memperbesar resiko krisis global yang akan berdampak pada Indonesia. Bertambahnya penerbitan SBN diperlukan karena semakin besarnya defisit dan kebutuhan refinancing (sebagian) PLN yang jatuh tempo. Strategi pengelolaan utang pemerintah saat ini yang dilakukan hanya melalui mekanisme pasar diantaranya dengan melakukan reprofiling, debt swap, dan buyback.
Di tengah kondisi pasar derivatif yang tidak stabil saat ini restrukturisasi utang melalui mekanisme pasar merupakan hal yang paling beresiko. Pada hasil buyback SUN yang dilakukan pemerintah pada tanggal 30 Oktober kemarin pembelian pemerintah hanya sebesar Rp41 milyar yang jauh lebih kecil dari penawaran pemegang surat utang sebesar Rp1,247 trilyun. Hal ini membuktikan lemahnya kepercayaan pemegang SUN pemerintah Indonesia. Bagi para investor, saat ini yang paling aman adalah mengejar SUN yang diterbitkan oleh pemerintah Amerika karena dianggap investasi surat utang yang paling aman.
Kedua, berkaitan dengan penarikan dana pembiayaan siaga dari sumber pinjaman bilateral maupun multilateral yang sampai saat ini komitmen pinjaman siaga baru didapat dari Bank Dunia sebesar USD 2 milyar. Langkah pemerintah untuk tidak meminjam pada IMF bisa jadi hanya disebabkan untuk menghindari sentimen negatif yang bisa berdampak politik bagi pemerintah yang sedang berkuasa sekarang, terutama di masa menjelang pemilu 2009. Namun yang perlu diingat bahwa baik IMF maupun Bank Dunia merupakan dua institusi keuangan internasional yang senantiasa berpegang pada Washington Consensus dalam setiap kebijakannya. Untuk itulah kita harus tetap mewaspadai conditionalities (persyaratan) yang akan dikenakan oleh Bank Dunia dalam memberikan pinjaman.
Momentum krisis finansial global yang membuktikan bagaimana “kegagalan” mekanisme pasar ini seharusnya dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menegosiasikan kembali utang-utang pemerintah dan bukannya melakukan restrukturisasi utang melalui mekanisme pasar juga atau menarik pinjaman multilateral dan bilateral baru. Data Dirjen Pengelolaan Utang menyebutkan bahwa sampai dengan akhir September 2008 jumlah penarikan pinjaman luar negeri pemerintah kumulatif sebesar USD 183.569,7 juta sedangkan jumlah cicilan pokok, bunga dan biaya-biaya utang luar negeri yang telah dibayarkan sebesar USD 192.322 juta. Dengan demikian, jumlah yang dibayarkan sebenarnya sudah jauh lebih besar dari jumlah pinjaman luar negeri yang diterima Indonesia. dengan kata lain sebenarnya utang-utang luar negeri kita sudah terbayar lunas, bahkan lebih.
Jika berani melakukan tuntutan penghapusan utang, dan banyak argumentasi yang bisa dipakai bahwa tuntutan penghapusan utang memang legitimate untuk diterima Indonesia, maka pemerintah tidak perlu mengajukan pinjaman baru untuk mengatasi krisis. Alokasi pembayaran utang luar negeri bisa dimanfaatkan untuk membantu rakyat mengatasi dampak krisis. Langkah ini tentunya akan lebih bermanfaat bagi rakyat daripada kebijakan memotong subsidi pangan untuk mempertahankan sektor riil dari hantaman krisis.
Langganan:
Postingan (Atom)