Rabu, 25 Februari 2009

Korupsi Utang Luar Negeri Libatkan Kreditor

Rencana KPK untuk melakukan klarifikasi terhadap pengelolaan utang luar negeri pemerintah yang ditujukan kepada tiga lembaga yaitu Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Bappenas merupakan satu langkah positif. Meskipun cukup disayangkan mengapa inisiatif ini baru dilakukan saat ini meskipun penyimpangan pengelolaan utang luar negeri pemerintah sudah disuarakan sejak lama.

Rencana KPK untuk melakukan klarifikasi terhadap pengelolaan utang luar negeri pemerintah yang ditujukan kepada tiga lembaga yaitu Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Bappenas merupakan satu langkah positif. Meskipun cukup disayangkan mengapa inisiatif ini baru dilakukan saat ini meskipun penyimpangan pengelolaan utang luar negeri pemerintah sudah disuarakan sejak lama.
Penyimpangan dalam pengelolaan utang luar negeri pemerintah tidak hanya sebatas pada penyelewengan terhadap sejumlah uang tertentu yang berasal dari pinjaman atau utang luar negeri tetapi juga menyangkut persoalan yang lebih mendasar. Korupsi kebijakan untuk mematuhi berbagai agenda neoliberal yang bertentangan dengan amanat konstitusi dalam penyelenggaraan kebijakan ekonomi melalui berbagai policy matrix, letter of development policy, serta indikator makroekonomi dan fiskal yang harus dipenuhi oleh pihak debitor. Korupsi anggaran proyek utang akibat penggelembungan harga barang, kualitas tidak sesuai dengan standar yang ada, rendahnya penyerapan, banyaknya pinjaman yang kurang efektif maupun tidak efektif, pengelolaan yang tidak transparan, dsb.

Berbeda dengan data KPK yang mengutip hasil audit BPK yang menyatakan terdapat 2.214 loan agreement per bulan Juli 2008, menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU), sampai dengan tahun 2008 jumlah perjanjian pinjaman (loan agreement) yang telah ditandatangani oleh pemerintah, baik yang berasal dari lembaga multilateral, bilateral, maupun pinjaman komersial sebanyak ±5000 perjanjian. Struktur perjanjian pinjaman antara luar negeri pada umumnya terdiri atas mata uang, bunga, biaya-biaya, jangka waktu (tenor), jumlah angsuran, dan grace period. Grace period merupakan periode antara tanggal penandatanganan pinjaman dengan pembayaran cicilan pokok pertama. Sedangkan ketentuan atas bunga terdiri dari jenis bunga, referensi bunga, dan spread.

Proses pemeriksaan atau audit terhadap utang-utang luar negeri tersebut tidak hanya menyangkut transaparansi dan klarifikasi nominal dan perbedaan catatan antara beberapa lembaga seperti Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan Bappenas tetapi juga secara meyeluruh meliputi:
1. Total hutang, susunan, riwayat dan kerugiannya;
2. Asal mula, tujuan-tujuan, bagaimana kesepakatan hutang berlangsung (kondisi dan keadaan sekitar);
3. Syarat-syarat yang ditetapkan, bagaimana sumber-sumber ditempatkan
4. Bagaimana pembayaran utang menghisap anggaran negara, biaya-biaya sosial;
5. Legitimasi, legalitas utang;
6. Apa saja yang sudah dibayar dan siapa yang diuntungkan dari pembayaran itu, permukaan hubungan ketergantungan;
7. Komisi-komisi yang dibayar;
8. Bunga yang dikenakan dan dibayar, perubahan ketentuan-ketentuan unilateral;
9. Syarat perjanjian yang tak terduga
10. Mismanajemen hutang, pemeriksaan kebijakan ekonomi dan proses hutang
Untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap utang-utang luar negeri pemerintah maka terlebih dahulu diperlukan moratorium pembayaran utang dan penarikan sebelum penyelidikan terhadap penyelewengan utang luar negeri dilaporkan.

Karena utang luar negeri merupakan transaksi yang harus dibayar kembali, maka jika hasil penyelidikan KPK nantinya mampu membuktikan penyelewengan atas pengelolaan utang luar negeri maka harus juga dicarikan solusi bagi beban utang tersebut agar tidak lagi membebani anggaran negara. Penyelesaian terhadap beban utang yang terbukti telah disalahgunakan tersebut harus mencakup siapa yang harus membayar bebean utang yang tidak mendatangkan manfaat kepada rakyat tersebut atau diperlukan penghapusan utang atas utang-utang tersebut.

Tidak hanya menuntut pertanggungjawaban aktor-aktor domestik, tetapi juga pihak kreditor internasional karena transaksi utang luar negeri melibatkan kedua belah pihak baik debitor maupun kreditor. Terlebih lagi jika terdapat policy matrix ataupun berbagai macam conditionalities yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia sebagai debitor pada kenyataannya justru lebih banyak yang menguntungkan kepentingan pihak kreditor.


2 komentar:

  1. kok bisa bpk ama djpu jumlah loan agreement ga sama? gimana ceritanya mbak?

    BalasHapus
  2. sebenarnya saya juga tdk mendapat info dr manakah sumber data BPK yg digunakan sebagai dasar laporan, tp kalau data DJPU yang saya dapat berasala dari nota dinas DJPU yang ditujukan untuk menteri keuangan. mungkin bs jadi perbedaan disebabkan oleh pencatatan jangka waktu pinjaman. masalah sebenarnya ada di DJPU/depkeu krn menurut KPK saja pencatatan atas loan agreement-nya saja sudah tdk "rapi"

    BalasHapus