Sistem ekonomi-politik global yang berkembang saat ini telah dipakai untuk mendorong liberalisasi ekonomi di segala sektor baik melalui liberalisasi perdagangan, liberalisasi modal, maupun liberalisasi sektor keuangan. Liberalisasi yang diasumsikan mampu mendorong pertumbuhan tersebut ternyata juga menimbulkan kemiskinan, kesenjangan, ketidak-adilan, serta sistem keuangan yang tidak stabil dan justru memicu krisis global seperti saat ini. Di bawah sistem pasar yang terbuka membuat nasib jutaan masyarakat dunia bisa ditentukan oleh tindakan segelintir spekulator.
Latar Belakang
Sistem ekonomi-politik global yang berkembang saat ini telah dipakai untuk mendorong liberalisasi ekonomi di segala sektor baik melalui liberalisasi perdagangan, liberalisasi modal, maupun liberalisasi sektor keuangan. Liberalisasi yang diasumsikan mampu mendorong pertumbuhan tersebut ternyata juga menimbulkan kemiskinan, kesenjangan, ketidak-adilan, serta sistem keuangan yang tidak stabil dan justru memicu krisis global seperti saat ini. Di bawah sistem pasar yang terbuka membuat nasib jutaan masyarakat dunia bisa ditentukan oleh tindakan segelintir spekulator. Sistem ekonomi terbuka juga membuat ekonomi nasional semakin rentan terhadap goncangan eksternal.
Prinsip “laissez-faire” yang dipercaya oleh penganut neoliberalisme dan disebarkan ke seluruh dunia ternyata tidak mampu mewujudkan efek “tetesan ke bawah” (trickle down effect). Rezim neoliberal yang didukung oleh institusi-institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) justru sering melahirkan kebijakan yang menyebabkan kerugian di negara-negara berkembang. Sistem ini justru melanggengkan eksploitasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang terutama melalui kegiatan industri pertambangan dan transaksi utang luar negeri. Dominasi satu kekuatan tertentu juga membuat proses pengambilan keputsan menjadi jauh dari prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.
Krisis dan Dampaknya
Krisis keuangan yang berawal di Amerika Serikat telah berkembang menjadi ancaman global dan ikut menyeret negara-negara dunia ketiga yang berada pada lantai terlemah ekonomi dunia ikut terjebak di dalamnya. Namun, pemerintah Amerika Serikat dan institusi Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia) telah gagal mengatasinya. Saat ini mereka meminta seluruh dunia untuk ikut menanggung biaya krisis keuangan global yang bahkan negara berkembang tidak menjadi penyebabnya.
Ancaman pemutusan hubungan kerja semakin menyebar ke seluruh dunia disebabkan oleh deindustrialisasi dan turunnya kemampuan produksi. Jumlah ekspor yang menurun tidak hanya karena turunnya permintaan tetapi juga aksi setiap negara untuk mengetatkan impor untuk menyelamatkan ekonomi negaranya masing-masing. Aliran pelarian modal semakin besar karena investor asing ingin menyelamatkan kebutuhan likuiditas di negara asalnya. Depresiasi mata uang, krisis nilai tukar, dan tekanan inflasi memperbesar efek krisis yang dirasakan negara-negara berkembang.
Namun sayangnya kebijakan yang diambil sebagai respon terhadap krisis tetap tidak mencerminkan keberpihakan terhadap jutaan rakyat miskin. Aksi seragam atas injeksi likuiditas di sektor keuangan serta bailout dilakukan untuk “menolong” sektor perbankan dan lembaga-lembaga hedge fund dianggap sebagai obat generic yang mampu mengatasi masalah. Bahkan pemerintah Indonesia tidak tanggung-tanggung segera melakukan buyback saham dan SUN yang hanya berdampak pada semakin berkurangnya kerugian yang diderita investor pemegang saham dan surat berharga negara.
Rekomendasi yang diajukan pemerintah Indonesia melalui menteri keuangan dalam forum pertemuan tingkat menteri negara-negara G20 juga mengecewakan. Kesepakatan untuk mereformasi Bretton Woods Institution hanya menghasilkan pemberian mandat kepada Bank Dunia dan Bank pembangunan lainnya untuk meningkatkan kapasitas pinjaman melalui “global expenditure fund”. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia kembali kepada tradisi lama yaitu pinjaman (utang) untuk mengatasi masalah. Rekomendasi ini perlu diwaspadai sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan pemerintah menarik pinjaman siaga dari Bank Dunia yang telah memberikan komitmen sebesar USD $2 milyar.
Tantangan dan Kesempatan
Paradigma neoliberal tidak hanya terbukti telah gagal, tetapi juga telah memperlebar jurang kemiskinan karena kemakmuran dan akumulasi capital hanya terpusat pada segelintir orang. Nasib masyarakat dunia yang terkena dampak krisis global tidak hanya cukup diserahkan pada segelintir pemimpin negara-negara G20 dan G8. Skenario penyelamatan dari krisis saat ini harus melalui mekanisme yang adil dan demokratis serta merepresentasikan seluruh negara-negara di dunia dan bukan hanya negara-negara yang mengusai ekonomi dunia.
Sudah saatnya gagasan alternatif bagi sistem politik-ekonomi global yang konsisten pada nilai-nilai keadilan dan solidaritas sosial serta menghormatai prinsip demokrasi dalam pengambilan keputusan. Sudah saatnya mengambil kebijakan yang melihat dari sudut pandang korban, yaitu sekitar 850 juta masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan bukan untuk menyelamatkan aset segelintir pemilik modal. Kontradiksi kebijakan bailout yang tidak berpihak pada masyarakat miskin dunia terbukti dengan jumlah dana yg dikucurkan The Fed untuk menyelamatkan perbankan sebesar USD $700 milyar sedangkan komitmen yang diberikan oleh seluruh negara-negara maju untuk debt cancellation bagi negara-negara dunia ketiga hanya sebesar USD $100 milyar dan sampai tahun 2008 hanya USD $88 milyar yang telah dicairkan.
Meskipun krisis telah bisa diramalkan, lembaga keuangan internasional yang bertanggung jawab menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan global telah gagal untuk mengantisipasi dan mencegah dampaknya yang semakin meluas. Sangat penting belajar pada pengalaman krisis di tahun 1980-an, 1990-an, dan 2000 baik yang terjadi di Amerika Latin atau Asia Tenggara bahwa lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia hanya mengaplikasikan kebijakan stabilisasi neoklasik yang mengabaikan dan tidak memprioritaskan kepentingan masyarakat miskin. Bahkan sampai saat ini IMF juga masih menyarankan kebijakan yang telah terbukti gagal di masa lalu untukmenghadapi krisis yaitu pemotongan anggaran sosial yang justru sangat dibutuhkan untuk memenuhi hak dasar rakyat.
Proposal dan Aksi Bersama
1. Mengubah prioritas kebijakan untuk merespon krisis dari aksi bailout sektor perbankan menjadi jaminan sosial bagi rakyat
2. Pemanfaatan dana masyarakat yang terhimpun dalam APBN diprioritaskan untuk melindungi hak dasar rakyat di bidang pangan, kesehatan, pendidikan, energi serta lingkungan dari dampak krisis dan bukan untuk menanggung kerugian sektor keuangan dan berbagai macam akibat bisnis spekulasi
3. Melakukan kontrol terhadap perdagangan pasar uang dan saham (derivative) untuk menekan aksi spekulasi dan tingginya aliran hot money yang bisa mengancam stabilitas ekonomi nasional
4. Menghentikan segala bentuk eksploitasi yang menimbulkan penghisapan negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang baik melalui eksploitasi sumber daya alam maupun transaksi utang luar negeri
5. Melakukan negosiasi kepada pihak kreditor untuk menghentikan pembayaran utang tidak hanya karena rakyat Indonesia lebih membutuhkan untuk menghadapi dampak krisis global tetapi juga kenyataan bahwa seluruh total pembayaran cicilan pokok, bunga, dan biaya yang telah dilakukan sudah melebihi jumlah utang yang diterima (disbursement)
6. Mendesakkan prioritas agenda penghapusan utang dan bukan menciptakan mekanisme pinjaman baru yang tetap mengandalkan institusi keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia
7. Tidak melibatkan lembaga-lembaga IMF dan Bank Dunia dalam berbagai upaya untuk mengatasi krisis karena lembaga-lembaga tersebut ikut bertanggung jawab sebagai penyebab krisis global yang meluas
8. Merubah sistem politik, ekonomi, dan keuangan internasional yang tidak mencerminkan keadilan, demokrasi, dan mengancam kedaulatan karena hanya menjadi alat dominasi dan eksploitasi negara-negara dunia ketiga, termasuk institusi-institusi internasional (IFI’s) di dalamnya seperti WTO, IMF dan Bank Dunia
9. Menciptakan sistem yang mampu membentuk pola hubungan yang adil antar negara-negara di dunia, menghormati prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia dan kesetaraan gender, serta menjamin terwujudnya kedaulatan pangan, ekonomi dan politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar