Kamis, 29 Mei 2008

SOSIALISME PASAR :

SOSIALISME PASAR :

DUKUNGAN SOCIAL, RURAL, DAN AGRICULTURAL POLICIES

DALAM EKONOMI DI CINA

Kemajuan ekonomi yang cukup pesat di Cina sekarang menjadi banyak perhatian. Mulai dari kekhawatiran akan munculnya kekuatan ekonomi baru di Asia Timur dari negara-negara yang sudah maju saat ini seperti Amerika Serikat dan Jepang, terutama setelah Cina menyatakan keinginannya untuk menggantikan kedudukan Jepang menjadi penguasa ekonomi Asia. Selain banyak ditakuti, perekonomian Cina yang tumbuh semakin pesat ini juga bermanfaat bagi negara-negara berkembang di sekitarnya. Produk-produk industri dari Cina yang memiliki keunggulan harga yang kompetitif sekarang menjadi pilihan utama bagi sebagian besar konsumen di Asia.

Tidak hanya pengaruhnya dalam ekonomi dunia dan perdagangan luar negeri, kemajuan ekonomi Cina bisa dilihat dari keberhasilan pemerintah Cina dalam melaksanakan reformasi ekonomi sejak tahun 1970-an. Reformasi ekonomi inilah yang kemudian mengubah dasar ekonomi Cina yang dulunya terpusat dan komunal menjadi ekonomi yang bergaya “Sosialisme Pasar”. Perubahan dasar kebijakan ekonomi inilah yang menurut sebagian orang, Cina tidak lagi pantas disebut negara Komunis dengan sistem Sosialis. Namun pemimpin-pemimpin Cina sendiri berpendapat inilah “sosialisme gaya Cina” dimana keberadaan sistem pasar dalam ekonomi mereka tidak merubah prinsip-prinsip Komunisme dan Sosialisme dalam pemerintahan dan struktur politiknya. Hal ini terbukti dengan masih tetapnya peran Partai Komunis Cina sebagai puncak dari piramida kekuasaan di Cina. Lalu jika Cina menyebut ekonominya sebagai sosialisme pasar, apakah benar masih ada sosialisme dalam kebijakan ekonominya?

Tidak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan ekonomi Cina saat ini terkait erat hubungannya dengan reformasi ekonomi yang dilakukan Cina lebih dari dua dekade yang lalu. Jikalau saat itu Perdana Menteri Zhou Enlai tidak merubah kebijakan ekonomi menjadi lebih pragmatis tetapi tetap menjalankan sistem ekonomi komunal seperti yang diinginkan kelompok konservatif, mungkin masa depan Cina tidak seperti sekarang. Saat ini Cina mampu mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 9,5% per tahun selama 20 tahun terakhir. Namun apakah pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di Cina ini merupakan solusi bagi masalah ekonomi Cina atau justru menambah masalah baru. Jika demikian, lalu apa yang dilakukan Cina untuk mengatasi masalah ekonomi yang timbul akibat terlalu pesatnya pertumbuhan ekonomi.

Terlepas dari kondisi politiknya, Cina telah melakukan berbagai macam perubahan kebijakan ekonomi sejak kemerdekaan awal kemerdekaan People’s Republik of China. Mulai dari upaya untuk melakukan pemulihan dan rehabilitasi ekonomi pasca perang (1949-1952) yang kemudian diubah menjadi pembangunan yang dititikberatkan pada sektor industri berat pada tahun 1953. Setelah kegagalan program “Lompatan Jauh ke Depan” -yang merupakan bukti atas kegagalan Mao dalam membangun ekonomi Cina- dan Revolusi Kebudayaan yang juga tidak mengakibatkan perbaikan pada ekonomi Cina, mulai muncul kebijakan ekonomi yang lebih pragmatis dan lama-kelamaan menjadi apa yang disebut Sosialisme Pasar. Perubahan tersebut dimulai dari sektor pertanian yang kemudian diperluas ke sektor industri dan jasa.

KEBIJAKAN EKONOMI DALAM REFORMASI EKONOMI CINA

Perubahan ekonomi di Cina yang begitu cepat telah berlangsung sejak dilakukannya reformasi ekonomi lebih dari 25 tahun yang lalu. Prestasi ekonomi yang luar biasa ini telah digerakkan oleh perubahan dalam kebijakan perekonomian pemerintah. Usaha untuk mereformasi ekonomi Cina tidak selalu berjalan mulus karena sering mendapat tentangan dari kelompok konservatif pada awal reformasi di akhir tahun 1970-an. Bagi Partai Komunis China (PKC), menentukan kebijakan ekonomi bukanlah suatu keputusan yang mudah. Dalam kebijakannya partai akan menggunakan wilayah tertentu sebagai percobaan, setelah kebijakan tersebut diimplementasikan, Partai akan mengevaluasi hasilnya. Jika kebijakan tersebut baik maka akan diteruskan dan digunakan di semua wilayah.

Seperti dikatakan diatas bahwa reformasi ekonomi domestik yang dilakukan di Cina dimulai dengan reformasi ekonomi pertanian. Pada tahun 1978, PKC memperkenalkan sistem pertanggungjawaban kepada masyarakat Cina, meningkatkan harga produk-produk pertanian dan menurunkan harga input pertanian moderen. Pada tahun 1983, pemerintah mengijinkan petani untuk mempekerjakan tujuh orang pekerja. Di tahun 1984 pemerintah juga mengijinkan petani untuk menjual produk pertanian di luar perbatasan.[1] Pada akhir tahun yang sama, pelaksanaan sistem pertanggungjawaban rumah tangga pada gilirannya akan menuju “decolectivization of the people’s communes” . program ini terdiri dari dua sistem yaitu baogan daohu’ –sistem insentif- dan ‘baochan daohu’ –sistem produksi di bawah kontrak pemerintah-. Pada tahap kedua reformasi petanian, diperkenalkan mekanisme pasar yang kemudian menjadi “double-track system”, dimana petani diperbolehkan menjual surplus hasil produksinya di pasar bebas setelah mencukupi kuota yang ditentukan oleh pemerintah. Tahun 1986 dibuat Undang-undang Administrasi Tanah yang memberikan insentif yang lebih banyak bagi petani untuk meningkatkan hasil produksinya.

Pada akhir tahun 1970-an sampai awal 1980-an reformasi di sektor pertanian ditujukan untuk menjaga keseimbangan antara reformasi sektor industri dan pertanian, belajar dari pengalaman sebelumnya dimana prioritas yang terlalu besar terhadap pembangunan industri berat telah mengabaikan sektor industri ringan, barang konsumsi, dan produksi pertanian. Dengan kebijakan yang dilakukan oleh Deng Xiaoping ini, dia menjadi pemimpin yang mampu mengurangi tingkat kemiskinan rakyatnya daripada pemimpin Cina yang lain. Deng memilih reformasi berorientasi pasar yang kemudian menuju Chinese NEP (New Economic Policy). Dia juga melakukan rencana modernisasi ekonomi dalam bulan Desember 1978. Strategi ini, Four Modernization, –pertanian, industri, pertahanan nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi- berdasarkan rancangan yang telah dibuatnya bersama dengan Zhou Enlai di awal tahun 1970-an. Sebagai hasilnya, Deng Xiaoping merupakan “Chief Architect” reformasi ekonomi Cina.[2]

Di sektor industri, reformasi pertama-tama dimulai dari sistem ketenagakerjaan dan manajemen personalia yang disebut “Iron Rice Bowl” di awal tahun 1980-an. Iron Rice Bowl, adalah istilah yang menyatakan bahwa sekali seseorang dipekerjakan di sektor industri, baik dia produktif maupun tidak, tidak seorangpun bisa memecatnya dan dia bisa memiliki pekerjaan tersebut selamanya seperti sebuah ‘mangkuk besi’ yang tidak bisa dipecahkan.[3] Dalam ekonomi yang terpusat[4] efisiensi bukanlah suatu prioritas. Namun ketika pertumbuhan ekonomi menuntut produktifitas dan efisiensi, kebijakan ekonomi akan menjadi “decentralization of decision-making in a traditionally centrally planned industry[5].

Elemen penting dalam reformasi ekonomi selain pemindahan tanggung jawab produksi ke level rumah tangga adalah reformasi harga produk-produk pertanian sebagai bagian dari proses liberalisasi pasar. Reformasi yang terpusat membuat pemerintah melakukan kontrol terhadap produk-produk pertanian tahun 1979 sampai 1984. Meskipun menggunakan kuota produksi, hasil pertanian seperti padi dan daging babi bisa dijual dengan harga lebih tinggi. Tahun 1985 sampai 1993 fokus berganti untuk mulai melepaskan kontrol harga. Produk-produk pertanian yang penting menggunakan sistem harga ganda, sedangkan produk-produk lainnya seperti buah dan perikanan dijual dengan harga pasar.[6] Untuk selanjutnya kebijakan kontrol harga dihapuskan pada tahun 2000 (OECD: 2005).

REFORMASI EKONOMI YANG BERKELANJUTAN

Untuk membangun perekonomian negara yang kokoh tidak hanya bisa selesai dalam sepuluh atau dua puluh tahun. Terbukti dengan pengalaman Cina dan apa yang terjadi pada negara tersebut sekarang. Tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 9,5% per tahun ternyata tidak secara otomatis menyelesaikan masalah ekonomi Cina. Dibutuhkan kebijakan ekonomi yang sesuai dan berkelanjutan untuk menyelesaikan masalah-masalah baru yang muncul. Tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah pusat cukup stabil selama ini, namun prioritasnya selalu berubah sesuai dengan kondisi sosial ekonomi (OECD, 2005).

Dalam sektor pertanian, pergeseran prioritas juga terjadi. Misalnya pada kebijakan ketahanan pangan yang pada awalnya diprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan pangan dengan kemampuan untuk mencukupi kebutuhan beras sendiri. Mulai awal tahun 1990-an kebijakan tidak hanya terfokus untuk mencukupi kebutuhan pangan, tetapi juga harus tersedia bahan pangan dengan harga yang terjangkau. Pada akhir tahun 1990-an, ketika perbedaan pendapatan di pedesaan menjadi isu penting, maka fokus kebijakan bergeser menuju peningkatan pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor pertanian dan masih dipadukan dengan penyediaan suplai pangan yang cukup.[7]

Reformasi ekonomi yang berorientasi pasar dan sektor swasta memainkan peran penting dalam proses produksi dan perdagangan. Mulai tahun 1990-an terjadi perubahan dalam kebijakan ekonomi pemerintah, dimana kebijakan-kebijakan tersebut memungkinkan munculnya sektor swasta yang kuat. Reformasi dan transformasi sektor perusahaan negara mendominasi kebijakan ekonomi di awal tahun 1990-an. Sejak tahun 1998, sebuah kebijakan yang menumbuhkan small enterprises dan restrukturisasi perusahaan-perusahaan besar telah berhasil diwujudkan, dan perusahaan yang dikuasai negara semakin berkurang jumlahnya dalam waktu lima tahun. Kebijakan tenaga kerja dibuat semakin fleksibel tetapi justru mengurangi pekerja di sektor industri. Pemerintah menciptakan lingkungan bisnis dengan memperkenankan masuknya investasi luar negeri, mengurangi tarif dan menghilangkan monopoli perdagangan oleh negara.[8]

Sejajar dengan pembangunan industri dan sarana fisik, pemerintah Cina telah mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan generasi muda. Pemerintah mengeluarkan program yang mewajibkan pendidikan 9 tahun kepada semua anak, dan diharapkan terwujud serta dapat mencapai semua daerah termasuk pedesaan pada tahun 2006.[9] Sebagai hasilnya, kebijakan ini telah berhasil meningkatkan kualitas tenaga kerja. Pendidikan yang lebih tinggi dan reformasi ekonomi adalah dua kekuatan dinamis yang saling mempengaruhi. Sejak tahun 1978, reformasi pendidikan di Cina telah didorong oleh sektor ekonomi dan kekuatan pasar.[10] Namun kebijakan reformasi pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah Cina masih bersifat “top-down”. Kurangnya inisiatif yang bersifat “bottom-up” menimbulkan pertanyaan tentang efektifitas dan efisiensi dari proses reformasi tersebut. Sistem pendidikan di Cina dituntut untuk bisa merespon pertumbuhan ekonominya dan kebutuhan pasar. Dengan demikian untuk menemukan sistem pendidikan yang lebih baik masih menjadi tantangan bagi pemerintah Cina.

KEBERHASILAN YANG MENDATANGKAN MASALAH

Perubahan yang cepat dalam pertumbuhan ekonomi Cina telah memberikan kontribusi tidak hanya meningkatkan pendapatan per kapita, tetapi juga berhasil mengurangi tingkat kemiskinan. Sejak melakukan reformasi dan Open Door Policy, Cina telah meraih sukses yang mengesankan dalam perekonomiannya. Pertumbuhan ekonomi 9,5% per tahun sejak tahun 1978 telah menolong beberapa ratus juta orang dari kemiskinan, dengan indikasi bahwa Cina telah berhasil mengurangi 75% kemiskinan dalam lebih dari 20 tahun terakhir.[11] Selain meningkatkan pendapatan, reformasi yang berorientasi pasar di Cina juga telah berhasil melakukan pembangunan di wilayah pedesaan dan perkotaan.

Perusahaan swasta yang semakin banyak muncul berhasil menyediakan lapangan kerja. Namun di sisi lain, restrukturisasi terhadap perusahaan negara justru meningkatkan jumlah orang yang kehilangan lapangan pekerjaan. Sektor swasta yang sangat kuat inilah yang menjadi kunci utama pertumbuhan ekonomi Cina sangat tinggi. Penguatan terhadap sektor bisnis ini juga didukung oleh modernisasi dan penegakan hukum yang lebih baik. Dengan demikian terbukti bahwa reformasi ekonomi tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh perbaikan di sektor-sektor lain.

Dibalik keberhasilan ekonominya ternyata Cina masih memiliki banyak tantangan. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang mereka alami tidak merata di seluruh wilayah. Lebih dari 160 juta penduduk Cina terutama di wilayah barat merupakan masyarakat miskin yang masih mengkonsumsi kurang dari satu dollar per hari, terkadang tanpa akses terhadap air bersih, atau fasilitas kesehatan dan pendidikan yang mencukupi. Cina juga menghadapi “growth-growing income inequality[12], ketimpangan ekonomi antara wilayah barat dan pesisir timur Cina. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di wilayah timur tidak sebanding dengan kemiskinan yang masih menjadi masalah di wilayah barat. Data pemerintah menyebutkan, setidaknya 26,1 juta orang berada dalam kemiskinan absolut. Kesenjangan antara kelompok yang kaya dan yang miskin meningkat dengan cepat sehingga persoalan sosial ekonomi mulai naik ke permukaan, sehingga ketidakpuasan muncul dimana-mana.[13]

Untuk mengatasi masalah ketimpangan ekonomi di daerah pedesaan tersebut, Presiden Hu Jintao dan Perdana Menteri Wen Jiabao memberikan perhatian yang lebih besar dari pada pendahulunya kepada wilayah pedesaan. Prioritas pemerintah tahun 2004-2005 adalah ekonomi pedesaan. Upaya peningkatan pendapatan di daerah pedesaan diikuti juga dengan upaya untuk meningkatkan pendidikan dan kesehatan di daerah pedesaan. Untuk mengurangi kesenjangan pendapatan di daerah pedesaan dan perkotaan, pada tahun 2004 diperkenalkan “rural income support policy” –reformasi pedesaan- yang disebut dengan kebijakan “san nong”. Kebijakan tersebut terdiri atas :

  1. meningkatkan pendapatan bersih petani per kepala di tahun 2004 dari Rmb2. 574 menjadi Rmb2.702.
  2. meningkatkan keuntungan produksi padi, diantaranya dengan mempermudah petani untuk mendapatkan akses kredit pedesaan.
  3. mempermudah penduduk desa untuk bekerja di kota.
  4. pemerintah akan terus mengurangi pajak yang memberatkan bagi petani.
  5. meningkatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di daerah pedesaan.
  6. meningkatkan pelayanan kesehatan di pedesaan.
  7. memberikan perhatian lebih kepada orang-orang yang paling miskin, diprioritaskan pada wilayah etnis minoritas di Cina bagian barat dan bagian tengah.
  8. meningkatkan pelayanan publik di wilayah pedesaan.[14]

Dampak dari kemiskinan dan ketimpangan ekonomi antara pedesaan dan perkotaan membawa masalah baru juga, yaitu tingkat urbanisasi yang tinggi. Namun di sisi lain urbanisasi bisa mendorong pemerataan pendapatan dimana penduduk miskin yang tidak memiliki pekerjaan di desa bisa mendapatkan pekerjaan dan mengurangi beban hidup mereka. Perdana Menteri Wen menyatakan akan memberi perhatian lebih besar pada pembangunan sektor sosial dan prasarana sosial. Ini dimaksudkan untuk mengurangi berbagai kesenjangan di masyarakat yang bisa menimbulkan ketegangan sosial politik yang besar.[15]

Kedua, pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh besarnya industri juga membawa masalah tingginya tingkat polusi di Cina. Kebijakan pemerintah telah berhasil mengurangi polusi di Cina, tetapi Cina masih berada pada urutan ke lima dari sepuluh negara yang tingkat polusinya paling tinggi (OECD: 2005). Disamping meningkatnya polusi, Cina juga membutuhkan banyak input industri, yaitu energi –minyak ataupun listrik-, biji besi dan baja. Kini Cina telah menyerap 30% pasokan minyak dunia, 30% produk bijih besi dan 27% dari total produk baja dunia. Permintaan yang mendadak dalam dua tahun terakhir itu menyebabkan kenaikan harga komoditas di seluruh dunia (Soesastro: 2004). Apabila kenaikan ini tidak diredam maka akan menciptakan inflasi yang berlebihan.[16] Masalah kekurangan energi terutama untuk kebutuhan industri telah membayangi Cina. Dua pertiga dari jumlah provinsi di Cina memiliki masalah utama di sektor energi, terutama di Provinsi Zhejiang yang penuh dengan industri manufaktur telah terjadi pasokan energi. Pemerintah Cina sendiri telah mengupayakan berbagai kebijakan untuk menghemat pasokan energi.

Ketiga, belakangan ini fokus perhatian terhadap pertumbuhan ekonomi Cina bergeser kearah overheating ekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi Cina yang terlalu tinggi. Jika pemerintahnya tidak bisa mendinginkan dengan jalan memperlambat pertumbuhan ekonominya, keadaan tersebut akan mempercepat inflasi. Resiko utama pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi adalah ketidakmampuan sistem keuangan Cina untuk mengalokasikan modal secara efisien (Soesastro: 2004). Yang terjadi sekarang ini di Cina sebenarnya adalah kelebihan investasi (overinvestment) di satu pihak dan tingkat konsumsi yang lemah (underconsumption) di pihak lain. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Cina telah mengeluarkan beberapa kebijakan. Reserve requirement untuk perbankan telah dua kali dinaikkan. Bank sentral, The People’s Bank of China, untuk pertama kali dalam sembilan tahun terakhir telah menaikkan suku bunga bagi pinjaman komersial. Kebijakan pengetatan secara selektif (selective tightening) dimaksudkan untuk membatasi kredit di sektor tertentu seperti besi dan baja, aluminium, petrokimia, industri mobil, bahan bangunan dan property. Pemerintah Cina juga telah mengawasi penggunaan tanah untuk investasi baru. Selain itu juga telah diusulkan agar Cina merevaluasi mata uangnya.[17] Namun upaya Cina untuk mengendalikan ekonominya ini bukan berarti tanpa masalah. Wakil Ketua Biro Statistik China, Qiu Xiaohua, mengatakan bahwa pengendalian ekonomi, termasuk pengekangan kucuran pinjaman pada beberapa sektor, seperti baja, telah memperburuk hutang korporasi. Kontrol yang berlebihan terhadap pinjaman jangka pendek telah membawa kesulitan baru pada sektor produksi dan aktivitas bisnis untuk perusahaan-perusahaan.[18]

KESIMPULAN

Setelah melihat bagaimana kebijakan ekonomi di Cina sejak awal reformasi menuju modernisasi dan industrialisasi ekonomi yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi saat ini, terlihat peran pemerintah cukup besar di dalamnya. Meskipun Cina telah melaksanakan Open Door Policy, kebijakan ekonomi tetap dalam kontrol pemerintah. Peran pemerintah yang sangat besar dalam menentukan kebijakan ekonomi membuat koordinasi dan respon terhadap perubahan situasi bisa dilakukan dengan cepat. Strategi untuk menguji dan mengevaluasi suatu kebijakan di wilayah yang terbatas sebelum diterapkan secara nasional bisa memperkecil resiko kegagalan jika kebijakan tersebut tidak sesuai.

Jika kita bertanya-tanya dimanakah letak sosialisme Cina dalam ekonominya yang berorientasi pasar, mungkin jawabannya ada dalam kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah Cina di sektor sosial –kesehatan dan pendidikan-, pertanian, dan reformasi pedesaan. Kebijakan ekonomi dalam beberapa sektor tersebut mungkin tidak populer di negara kapitalis, tetapi di Cina sejak awal reformasinya sampai ketika tingkat pertumbuhan ekonominya lebih dari 9% per tahun, sektor-sektor tersebut masih menjadi prioritas pemerintah. Industrialisasi tidak hanya difokuskan untuk membangun industri berat dan berskala besar. Dukungan bagi munculnya small and medium enterprises ikut meperkuat struktur industri di Cina.

Menempatkan pertanian sebagai salah satu sasaran modernisasi pada awal reformasi ekonominya, merupakan bentuk kesadaran bahwa industrialisasi tidak akan bisa berhasil tanpa dukungan sektor pertanian. Reformasi pertanian tidak dilakukan dengan melepas seluruh kontrol pemerintah dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar tetapi melalui kebijakan quota dan kontrol harga terhadap produk-produk pertanian dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dengan harga yang terjangkau.

Pembangunan dan reformasi pedesaan merupakan prioritas berikutnya setelah keberhasilan Cina dalam melakukan industrialisasi. Rural income support policy merupakan upaya pemerintah Cina untuk mengatasi masalah ketimpangan pendapatan di wilayah pedesaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan melalui peningkatan pendidikan dan pelayanan kesehatan. Dukungan pemerintah yang begitu besar di sektor sosial melalui peningkatan pendidikan dan pelayanan kesehatan membuktikan bahwa industrialisasi dan ekonomi pasar bukanlah satu-satunya prioritas pemerintah Cina untuk membangun ekonominya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa kebijakan ekonomi Cina tidak hanya bersifat market oriented tetapi juga bersifat welfare oriented, sehingga tidak salah jika para pemimpin Cina mengatakan bahwa sosialisme di Cina masih ada dan tidak hanya terbatas dalam bidang politik dimana keberadaan Partai Komunis Cina masih tetap dipertahankan.



[1] Hiromi Yamamoto, The Evolution of Economic Reforms in China, (Kyoto University : 2004) <http://www.tsc.nccu.edu.tw/2004conference/Yamamoto.pdf >, 25 Desember 2005

[2] Gunduz Findikcioglu, Weekly Market Comment, 24 Oktober 2005. <http://www.tskb.com/download/ekon_yorum/last.pdf> 25 Desember 2005.

[3] Wan-hua Ma, Economic Reform and Higher Education in China, Juli 2003 (Los Angeles: Center for International & Development Education (CIDE) and UCLA Graduate School of Education & Information Studies (GSEIS)). <http://www.gseis.ucla.edu/cide/reports/> 25 Desember 2005.

[4] Cina memang melakukan reformasi ekonomi yang berorientasi pasar, namun kebijakan ekonomi diputuskan secara terpusat oleh pemerintah terutama Partai Komunis Cina.

[5] Ma, Economic Reform and Higher Education in China, 2003

[6] Lihat Nico Heerink, et.al. Policy reforms, rice production and sustainable land use in China: A macro-micro analysis, paper dipresentasikan pada Asia-Europe Workshop on Sustainable Resource Management and Policy Option for Rice Ecosystems (SUMAPOL 2005) yang pertama, 11-14 Mei 2005, di Hangzhou, Profinsi Zhejiang, P.R. China. <http://www.alterra.wur.nl/Internet/webdocs/> 25 Desember 2005

[7] Heerink et.al. Policy reforms, rice production and sustainable land use in China: A macro-micro analysis

[8] Lihat Organisation for Economic Co-operation and Development, Policy Brief “Economic Survey of China, 2005” <http://www.oecd.org/dataoecd/10/25/35294862.pdf> 25 Desember 2005

[9] Organisation for Economic Co-operation and Development, Policy Brief “Economic Survey of China, 2005”.

[10] Ma, Economic Reform and Higher Education in China, 2003

[11] Findikcioglu, Weekly Market Comment

[12] Findikcioglu, Weekly Market Comment

[13] James Luhulima, “Sistem Kendali Terpusat, Dasar Kemajuan China”, Kompas, 12 Desember 2005. <http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/> 20 Desember 2005.

[14] Lihat The Economist Intelligence Unit, “China at glance : 2004-05”, Country Report China, Maret 2004 www.ieu.com,<http://www.cba.hawaii.edu/mkt/docs/syllabi/fall04/ChinaReport.pdf.> 25 Desember 2005.

[15] Hadi Soesastro, “Prospek Ekonomi Asia tahun 2004”, Kompas 31 Mei 2004. <http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view>, 20 Desember 2005.

[16] Banu Astono, “Cina Direm, Dunia Panik”, Kompas, 17 Mei 2004. <http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/> 20 Desember 2005

[17] Hadisoesastro, “Prospek Ekonomi Asia tahun 2004”, Kompas 31 Mei 2004.

[18] Uni Sosial Demokrat,Tarik Kembali Investasi dengan Mencari Peluang di Pasar Global dan Pasar China”, Kompas, 21 Juli 2004, <http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=43>, 20 Desember 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar