Kamis, 29 Mei 2008

LIBERALISASI PERDAGANGAN

LIBERALISASI PERDAGANGAN :

ANCAMAN BAGI SEKTOR PERTANIAN NEGARA BERKEMBANG

“Globalisasi pasar-pasar pangan tak lain adalah strategi instan untuk menciptakan kelaparan”

-Vandana Shiva-

Perdagangan atas bahan-bahan pangan dan pertanian sudah berlangsung selama ratusan tahun. Sesuai dengan prinsip comparative advantage, secara historis perdagangan antar negara terjadi karena sebuah negara ingin membeli bahan pangan yang tidak dapat diproduksi sendiri atau negara lain mampu memproduksi bahan pangan tersebut dengan harga lebih murah. Namun semakin lama perdagangan bahan pangan tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan produk yang sulit diproduksi sendiri, tetapi lebih bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara terutama berupa devisa melalui ekspor bahan pangan dan pertanian.

Berbeda dengan perdagangan produk barang atau jasa lainnya, perdagangan bahan pangan dan pertanian memiliki pengaruh yang lebih besar bagi negara-negara berkembang. Sebagian besar negara berkembang mengandalkan sektor pertanian sebagai komditas ekepor yang utama. Banyak negara-negara berkembang di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin masih mengandalkan pertanian dalam ekonominya. Namun kenyataanya negara-negraa berkembang yang perekonomiannya bertumpu pada sektor pertanian masih jauh tertinggal, sedangkan pertanian dan industri bahan pangan adalah kebutuhan pokok masyarakat yang akan terus meningkat permintaannya.

Globalisasi mensyaratkan adanya liberalisasi, terutama liberalisasi perdagangan. Dalam sektor pertanian, liberalisasi perdagangan tidak muncul secara begitu saja. Sudah sejak tahun 1968 ketika diperkenalkannya istilah Revolusi Hijau terjadi perubahan cara bercocok tanam dari pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Secara ekonomi, Revolusi Hijau adalah modernisasi pertanian, khususnya tanaman pangan, yang mengandalkan asupan kimiawi dan biologi, selain prasyarat kelancaran irigasi, ke dalam kultur bercocok tanam tanaman pangan pokok.[i] Dengan alasan modernisasi pertanian inilah negara-negara berkembang menjadi pengimpor utama alat-alat mekanik yang diperlukan dalam proses produksi bahan pangan dari negara industri maju karena mereka belum bisa memproduksi peralatan tersebut sendiri. Petani harus membeli asupan produksi yang berupa bibit unggul, pupuk buatan, insektisida, pestisida yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan besar. Rumus Revolusi Hijau adalah produksi pangan, khususnya padi, diharapkan meningkat apabila meningkat pula asupan yang disuntikkan berupa bibit unggul, aplikasi pupuk buatan, insektisida, herbisida, pembimbingan, kredit usaha tani, tangan kuat pemerintah dan iklim yang mendukung.[ii] Dalam jangka pendek Revolusi Hijau mampu dipakai untuk meningkatkan produksi pangan, namun hal ini akan menyebabkan masalah yang lain diantaranya ketergantungan petani asupan bibit unggul tanaman –terutama padi- yang bahkan pada tahap selanjutnya yaitu lepasnya keragaman bibit padi lokal dari tangan petani ke tangan perusahaan multinasional, dan juga rusaknya lingkungan akibat pencemaran bahan-bahan kimia yang berasal dari pupuk buatan, insektisida, dan pestisida, serta pola tanam monokultur yang dominan.

Ternyata permasalahan yang dihadapi negara-negara berkembang tidak hanya sampai disitu saja. Semakin lama bukannya produksi pertanian yang meningkat tetapi justru impor terhadap bahan pangan yang semakin meningkat. Sebagai salah satu contoh adalah Indonesia. Pada tahun 1985-1988 dan tahun 1990 Indonesia mampu melakukan swasembada pangan namun setelah tahun 1993 justru impor atas bahan pangan semakin meningkat, bahkan menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Padahal pertanian adalah salah satu sektor unggulan dalam perekonomian Indonesia. Ditambah lagi jika laju liberalisasi pertanian semakin tidak bisa dibendung maka arus impor terhadap bahan pangan dan pertanian akan semakin membanjiri pasar Indonesia. Lalu bagaimana dampak liberalisasi pertanian terhadap negara berkembang, dan jika hal ini dikatakan sebagai “ancaman” bagi sektor pertanian di negara berkembang, siapakah yang akan diuntungkan dalam liberalisasi pertanian tersebut?

“ideologi” LIBERALISASI PERDAGANGAN

Liberalisasi perdagangan mengharuskan negara-negara di dunia mengurangi hambatan perdagangan antar negara, baik yang berupa tarif maupun hambatan non-tarif. Dengan demikian akan mendukung semakin mudahnya arus perdagangan antar negara. Prinsip liberalisasi dan free market ini berakar dari teori yang diungkapkan oleh Adam Smith dimana comparative advantage sebagai konsep kuncinya.

Alasan liberalisasi perdagangan adalah bahwa liberalisasi perdagangan akan memberikan peluang bagi pemanfaatan terbaik atas berbagai sumber daya yang ada.[iii] Seperti dalam prinsip comparative advantage, seluruh pihak akan mendapatkan manfaat manakala negara-negara mengkhususkan diri memproduksi pangan dan jasa secara efisien, yang bisa diproduksi dengan biaya yang lebih rendah ketimbang negara-negara lain. Alasan lainnya adalah bahwa liberalisasi perdagangan akan memberikan peluang terhadap peningkatan akses pasar, sehingga juga akan meningkatkan pendapatan ekspor negara. Menurut laporan OECD pada bulan November 1999 mengatakan bahwa penghapusan berebagai hambatan perdagangan akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan liberalisasi penuh atas tarif-tarif akan mendatangkan keuntungan sebesar 3% dari GDP dunia.[iv] Disamping itu harga pangan yang rendah karena dihapuskannya berbagai tarif perdagangan antar negara akan menunjang pertumbuhan industri.

Beberapa argumen perdagangan bebas di atas terkesan menjanjikan, namun fakta yang terjadi ternyata jauh dari apa yang diharapkan. Teori tersebut bisa berlaku jika perdagangan terjadi diantara negara-negara yang tingkat ekonominya kurang lebih setara. Tetapi ketika perdagangan bebas terjadi diantara negara-negara makmur yang menjual barang-barang industri dan negara-negara yang jauh lebih miskin menjual-produk-produk primer maka negara industri majulah yang lebih banyak diuntungkan. Negara miskin perlu mengekspor lebih banyak produk untuk dapat melakukan impor produk dari negara maju. Lebih jauh lagi negara-negara miskin semakin lama akan tergantung pada produksi negara maju. Seiring dengan kedatangan globalisasi maka saat ini muncul pula aktor baru dalam perdagangan internasional yaitu korporasi-korporasi transnasional (MNCs), yang mendominasi perdagangan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan bukan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat.

Liberalisasi pertanian berarti menyerahkan sistem pertanian dan nasib petani kepada mekanisme pasar bebas, yaitu “free-fight liberalism”. Siapa yang kuatlah yang akan menang sedangkan yang lemah akan semakin kalah. Posisi perusahaan-perusahaan importir dan MNCs-lah yang akan semakin kuat, sedangkan petani-petani gurem akan semakin sulit bertahan dan akhirnya harus menyerahkan tanah mereka kepada perusahaan-perusahaan pertanian berskala besar.

Liberalisasi pertanian memiliki implikasi terhadap tiga hal, yaitu pengurangan atau penghapusan hambatan perdagangan dengan mengurangi atau menghapus tarif (bea masuk) terhadap produk-produk bahan pangan dan pertanian, pengurangan subsidi ekspor maupun subsidi domestik terhadap petani lokal, dan pencabutan monopoli perdagangan terhadap produk bahan pangan dan pertanian. Dengan demikian tidak akan ada lagi proteksi bagi petani-petani lokal di negara berkembang, membanjirnya produk-produk impor yang akan menyebabkan anjloknya harga produk pertanian sehingga membuat pertanian domestik mengalami kemunduran. Namun yang terjadi di negara-negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat adalah sebaliknya. Negara-negara industri maju tersebut justru semakin memperkuat proteksi terhadap pertanian domestik dengan tetap melakukan subsidi yang cukup besar kepada petani dan hambatan-hambatan –berupa tarif dan stansardisasi produk- terhadap produk pertanian dari negara-negara berkembang. Dengan berbagai dalih negara-negara industri maju tersebut enggan untuk mencabut kebijakan pertaniannya yang proteksionis tersebut, sedangkan di pihak lain negara-negara berkembang juga sulit melakukan protes terhadap tindakan tersebut. Ternyata dalam pelaksanaanya, liberalisasi perdagangan khususnya di sektor pertanian masih memiliki banyak sekali kekurangan.

REZIM INTERNASIONAL DALAM LIBERALISASI PERTANIAN

Liberalisasi pertanian dibawa ke dunia internasional setidaknya oleh beberapa organisasi internasional, yaitu IMF-Bank Dunia dan WTO. Pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah instrumen apa yang digunakan lembaga-lembaga internasional tersebut untuk melakukan liberalisasi pertanian dan sejak kapan hal tersebut terjadi? Begitu pula apa konsekuensinya bagi negara-negara berkembang.

Liberalisasi perdagangan adalah bagian pokok dari program penyesuaian struktural (Structural Adjustment Program-SAP) yang dipaksakan pemberlakuannya oleh Bank Dunia dan IMF di negara-negara sedang berkembang jika ingin mendapatkan bantuan, kucuran dana dan investasi. SAPs dicanangkan oleh Bank Dunia dan IMF sejak 1980 dan sampai akhir 1990-an ada 80 negara berkembang telah melaksanakan program tersebut. Kekhasan SAPs adalah mewajibkan pemerintah di negara-negara berkembang unntuk meliberalisasi perdagangan, memangkas pembelanjaan untuk program-program sosial seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan menghapuskan berbagai subsidi pangan, serta meningkatkan penghargaan kepada para pembudidaya tanaman-tanaman untuk pasar ekspor.[v] Lebih jauh lagi, SAPs juga mendorong pemerintah untuk memangkas bantuan bagi petani-petani gurem yang hasil pangannya semakin merosot.

Liberalisasi pertanian yang diikuti dengan pemangkasan subsidi-subsidi pangan, membubungnya harga-harga pangan, dan seringkali disertai dengan rendahnya tingkat upah telah menyebabkan akses pangan oleh rumah tangga miskin menjadi semakin sulit. Promosi tanaman-tanaman pangan tanpa pandang bulu juga merusak produksi pangan dan kemandirian, sedangkan liberalisasi impor mendorong ketergantungan eksternal yang lebih besar.[vi] Seperti itulah gambaran yang terjadi di banyak negara berkembang dan negara miskin. Di kebanyakan negara Bank Dunia dan IMF melalui program-programnya ternyata tidak mapu mewujudkan pertumbuhan eknomi sebagaimana yang mereka harapkan.

Lembaga internasional lainnya yang berperan besar dalam menetapkan aturan liberalisasi perdagangan adalah WTO. Lewat putaran Uruguay tahun 1993 telah disetujui berbagai kesepakatan diantarnya yaitu Persetujuan tentang Pertanian (Agrement on Agricultural-AoA). Persetujuan tentang pertanian (AoA) WTO sendiri merupakan aturan tentang bagaimana seharusnya negara-negara anggota WTO mengelola pertaniannya, meliputi berbagai hal seperti akses pasar, subsidi ekspor, dan dukungan domestik untuk sektor pertanian. Di bawah perjanjian tersebut, negara-negara anggota WTO diwajibkan untuk hanya memberikan akses minimum untuk produk pertanian yang tidak mereka ekspor dalam jumlah yang signifikan.[vii] Di bawah persetujuan tersebut, negara-negara mewajibkan mereduksi tariff-tarif pangan impor sebesar 36% selama 6 tahun (terhitung sejak 1995), dan diwajibkan juga untuk mengubah berbagai hambatan non-tarif –seperti kuota- ke dalam patokan tarif. Untuk negara-negara berkembang, reduksi yang diwajibkan yang diwajibkan sebesar 24% dalam jangka waktu 10 tahun. Aturan tersebut berlaku pula untuk memangkas subsidi ekspor bagi produk-produk pertanian, sedangkan subsidi domestik pemerintah untuk petani di negara maju harus direduksi hingga 20% dan di negara berkembang sebesar 13,33%.

Persetujuan itu juga menetapkan bahwa negara-negara tidak akan menaikkan tingkat proteksi mereka atas sektor pertanian yang telah mereka tetapkan sebelum 1993.[viii] AoA berlaku sejak Januari 1995, sehingga saat ini WTO juga bertindak sebagai pengendali sektor pertanian. Dengan AoA ini maka WTO mewajibkan anggota-anggotanya melakukan tiga hal, pertama, membuka pasar domestiknya bagi masuknya komoditas pertanian dar luar dan sebaliknya (disebut sebagai perluasan pasar / market access); kedua, mengurangi dukungan dan subsidi terhadap petani (disebut sebagai subsidi domestik / domestic support); ketiga, mengurangi subsidi dan dukungan bagi petani untuk mengekspor (disebut sebagai subsidi ekspor / export competition).[ix] Selain ketiga hal tersebut masih banyak lagiketentuan dalam AoA yang cukup rumit dan bersifat “tricky”, sehingga negara maju lebih banyak diuntungkan, sementara negara-negara dunia ketiga menjadi pihak yang dirugikan.

Jika ketentuan-ketentuan dalam liberalisasi pertanian menekan negara-negara berkembang lalu bagaimana dengan negara-negara maju? Seperti telah dikatakan di atas negara-negara maju masih lebih banyak diuntungkan oleh aturan tersebut. Belum lagi kecurangan yang dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa yang tetap melakukan subsidi dan proteksi terhadap sektor pertanian mereka. Tingkat seluruh subsidi pertanian di Amerika Serikat justru semakin meningkat dari $182 milyar pada tahun 1995, menjadi $280 milyar di tahun 1997 dan meningkat lagi menjadi $362 milyar pada tahun 1998. Begitu pula dengan Uni Eropa yang banyak mengandalkan Common Agricultural Policy (CAP) miliknya. CAP Uni Eropa merupakan salah satu kebijakan paling proteksionis di dunia dan memiliki dampak merusak terhadap ketahanan pangan di negara-negara berkembang. Lima belas negara Uni Eropa mengeluarkan dana sebesar $42 milyar per tahun untuk mensubsidi petani mereka melalui kebijakan ini. Dukungan CAP terhadap petani tersebut berbentuk pembayaran langsung, harga-harga intervensi, fasilitas-fasilitas penyimpanan untuk surplus produksi, dan subsidi-subsidi ekspor. Subsidi-subsidi ekspor CAP tersebut memungkinkan produksi Uni Eropa mampu bersaing dengan produksi petani di negara berkembang. Berbagai hambatan impor Uni Eropa juga telah mencerabut peluang ekspor kaum petani di negara-negara berkembang.[x] CAP berarti bahwa pasar petani di Uni Eropa mengalami kelebihan produksi yang besar sehingga juga akan menyebabkan turunnya harga pangan dunia. Dengan kebijakan itu Uni Eropa juga tidak mengizinkan masuknya berbagai bahan pangan yang ingin dijual negara-negara berkembang ke Uni Eropa, terutama dengan alasan standar bahan pangan dari negara berkembang yang tidak sesuai dengan ketentuan mereka.

Namun ironisnya negara-negara maju selalu berkeberatan untuk mencabut kebijakan proteksinya. Dengan berbagai alasan bahwa mereka telah melaksanakan ketentuan yang ada dalam persetujuan WTO, tapi kenyataannya justru sebaliknya. Di lain pihak negara-negara berkembang dan negara miskin kesulitan untuk memprotes hal tersebut. Selain dibutuhkan dana yang cukup banyak untuk membuktikan kerugian akibat kebijakan pertanian yang proteksionis di negara-negara maju, negara-negara dunia ketiga juga tidak memiliki bargaining potition yang cukup untuk melawan negara-negara maju.

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN BAGI SEKTOR PERTANIAN NEGARA BERKEMBANG

Berikut ini kita akan melihat bagaimana implementasi liberalisasi pertanian, khususnya di bawah aturan AoA serta dampaknya bagi pertanian di negara berkembang. Ternyata implikasi dan dampak AoA terhadap sektor pertanian di negara berkembang adalah sangat besar. Dengan AoA ini maka sektor pertanian akan diperlakukan sebagaiamana produk industri / manufaktur yang deperdagangkan secara bebas.

Sebagaimana di Indonesia dan negara-negara berkembang lain, dampak liberalisasi perdagangan dalam sektor pertanian dapat dilihat sebagai berikut. Pertama, jika dilihat dari ketentuan AoA maka terdapat tujuan untuk mempermudah negara-negara eksportir untuk memperluas pasar. Namun yang terjadi hanya menguntungkan negara-negara maju (Uni Eropa dan Amerika Serikat) yang mampu memanfaatkan peluang tersebut, sedangkan negara-negara berkembang bukannya meningkatkan ekspor tetapi justru tingkat impornya semakin melonjak. Sebagai salah satu contoh adalah Indonesia, sebelum perjanjian AoA diberlakukan Indonesia tercatat sebagai negara eksportir beras ke-9 di dunia. Akan tetapi pada tahun 1998, setelah tiga tahun diberlakukannya AoA, Indonesia tidak lagi tercatat sebagai negara eksportir beras melainkan negara importir beras terbesar di dunia. Tidak hanya beras, impor komoditas pertanian lainnya. -seperti gula dan kedelai- juga semakin meningkat. Dengan impor yang semakin besar menyebabkan anjloknya harga bahan pangan, terutama beras, di dalam negeri. Dengan demikian petani-petani domestiklah yang semakin dirugikan.

Kedua, sejak tahun 1998 pemerintah mencabut subsidi atas input-input pertanian, yaitu pupuk, benih maupun racun hama dan penyakit tanaman. Hal ini mengakibatkan ongkos produksi pertanian yang semakin meningkat, sedangkan selama ini petani terlanjur bergantung pada input-input pertanian tersebut. Akhirnya juga menyebabkan turunnya produktivitas pertanian di Indonesia. Biaya produksi yang semakin tinggi akibat penghapusan subsidi menimbulkan bentuk usaha tani yang memerlukan modal besar. Di sisi lain harga jual gabah di tingkat petani tidak seimbang dengan biaya produksi dan juga membanjirnya produk impor membuat petani kalah bersaing di pasar domestik. Hal ini tidak hanya dialami Indonesia saja tetapi juga negara-negara berkembang lainnya seperti India, Filiphina, Afrika Selatan dan negara-negara Amerika Latin.

Ketiga, yaitu isu State Trading Enterprise, salah satu contohnya adalah keberadan BULOG di Indonesia. BULOG dulu memiliki hak monopoli khusus terhadap impor beras, termasuk gula, gandum, kedelai dan sebagainya. Selain sebagai importir dan eksportir, BULOG juga berperan sebagai distributor di dalam negeri. Namun semenjak krisis atas desakan IMF atas LoI yang disepakati tahun 1997 BULOG dibatasi perannya hanya pada beras sedangkan komoditas lainnya seperti gula, terigu, dan kedelai harus diserahkan kepada mekanisme pasar.

Di bidang subsidi ekspor, pengurangan atas subsidi ekspor tidak begitu berpengaruh bagi Indonesia. Hal ini disebabkan karena memang sebelumnya pemerintah hanya memberikan subsidi yang kecil dikarenakan kemampuan keuangan pemerintah yang terbatas. Yang menjadi dampak buruk justru membanjirnya produk-produk pertanian dari negara-negara maju –seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat- yang lebih murah dikarenakan negara-negara tersebut masih memberikan subsidi yang cukup tinggi kepada petani sehingga harga produk pertanian bisa dijual lebih murah (dumping).[xi] Di lain pihak kebijakan yang berorientasi komoditas ekspor mengakibatkan tergusurnya pertanian bahan pangan pokok. Untuk mendapatkan hasil lebih petani beralih memproduksi tanaman ekspor sehingga untuk mencukupi kebutuhan bahan pangan pokok negara-negara berkembang semakin bergantung terhadap impor dari negara-negara maju. Dengan demikian liberalisai pertanian justru membuat semkin besarnya ketergantungan negara berkembang terhadap negar-negara maju dan tidak berhasil meningkatkan kemakmuran negara berkembang.

KESIMPULAN

Semua dampak buruk bagi pertanian negara berkembang tidak hanya hasil dari implementasi kesepakatan Uruguay saja. Pengalaman di negara-negara berkembang menyatakan selam 20 tahun liberalisasi pertanian juga mengikuti program-program penyesuaian struktural yang mewajibkan pemerintah menghapus berbagai hambatan impor dan ekspor. Hasil terakhir dari perundingan WTO adalah dengan disepakatinya Paket Juli WTO yang disetujui sejak tahun 2004. Lebih jauh lagi Paket Juli ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kedaulatan pangan.[xii] Dalam kenyataannya berbagai kebijakan oleh organisasi-organisasi internasional di sektor pertanian yang meningkat produktifitasnya ternyata tidak paralel dengan kesejahteraan yang didapatkan petani itu sendiri.

Dengan penerapan AoA pada tahun 2004, maka pembangunan sektor pertanian akan menghadapi ancaman besar, karena sejak itu pasar pertanian dan pangan dalam negeri harus terbuka kepada masuknya berbagai komoditas pangan dan pertanian dari luar. Demikian pula semua dukungan bagi petani lokal dengan sendirinya dihapus atau dikurangi lewat ketentuan pengurangan subsidi domestik. Ini berarti segala macam program kredit murah untuk petani dan program subsidi input-input pertanian tidak lagi dibolehkan. Di lain pihak dukungan negara terhadap ekspor petani juga ditiadakan, dan berarti petani-petani kita harus bertarung sendirian di arena pasar bebas. Prinsip akses pasar yang bebas ini dengan sendirinya akan menempatkan pasar domestik di bawah kendali perusahaan-perusahaan raksasa agribisnis. Tinggal kita lihat apa yang terjadi pada sektor pertanian negara-negara berkembang, mampukah mereka bertahan di tengah liberalisasi dan arus globalisasi.



[i] Francis Wahono, “REVOLUSI HIJAU : Dari Perangkap Involusi ke Perangkap Globalisasi”, Neoliberalisme, (Yogyakarta : Cidelaras, 2003), hlm 227.

[ii] Ibid. hlm. 232.

[iii]John Madeley, “Loba, Keranjingan Berdagang : Kaum Miskin Tumbal Perdagangan Bebas” (Yogyakarta ; Cindelaras, 2005) diterjemahkan oleh JD. Bowo Santosa, hlm.67.

[iv] Bonnie Setiawan, “Globalisasi Pertanian”.(Jakarta : Institute for Global Justice, 2003) hlm. 69

[v] Ibid. hlm. 86

[vi] Sebuah laporan Komisi Ekonomi PBB untuk Afrika (UN Economic Mission for Africa) menyatakan bahwa SAPs telah gagal menghadapi dan mengatasi dampak-dampak riil di balik krisis Afrika.

[vii] Negara maju mengizinkan akses minimum sebesar 3% bagi konsumsi domestik, dan meningkat menjadi 5% pada tahun 2000, dan untuk negara berkembang angka tersebut berkisar antara 1% sampai 4%

[viii] Ibid. hlm. 64

[ix] Setiawan. Opcit. Hlm. 73

[x] Madeley. Opcit. Hlm 105.

[xi] Uni Eropa sesungguhnya telah mensubsidi daging sapi sebesar 70% dari total daging sapi kaleng yang dipasarkan di Afrika bagian selatan. Sementara Afrika Selatan menghapus pola subsidinya, Uni Eropa justru mempertahankan CAP. Pada tahun 1996, bantuan CAP untuk produsen buah dan sayuran Uni Eropa sebesar £450 juta.

[xii] Lihat Bonie Setiawan. “Paket Juli dan Implikasinya Bagi Kedaulatan Pangan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar