Banyak negara-negara dunia ketiga sekarang dihadapkan pada satu masalah yang sama, yaitu hutang luar negeri. Jika ingin melihat kaitan antara hutang luar negeri dan pembangunan atau untuk menjawab pertanyaan apakah hutang luar negeri memang dibutuhkan untuk membantu proses pembangunan di negara-negara dunia ketiga atau tidak, maka kita harus melihat seperti apa bentuk-bentuk hutang luar negeri yang diterima oleh negara-negara dunia ketiga serta bagaimana dampaknya bagi negara tersebut (negara debitor.
Hutang luar negeri merupakan bagian dari aliran modal dari wilayah atau negara-negara maju (developed region) ke negara-negara yang belum berkembang (less developed region). Dalam sejarahnya pada awal abad ke-19, aliran modal ini digunakan oleh Inggris untuk melakukan pembangunan di negara-negara koloninya di Amerika utara, Afrika selatan, dan Australasia. Pada dekade 1920 sampai dengan tahun 1930-an, perkembangan aliran modal ini lebih banyak dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat ke negara-negara Amerika Latin. Pada masa tersebut pinjaman yang diberikan kepada negara-negara di Amerika Selatan adalah dalam bentuk surat utang (bonds) melalui bonds market dan pemegang surat utang secara individu ini tersebar di banyak negara.[1]
Setelah berakhirnya Perang Dunia kedua bentuk aliran pinjaman ke negara-negara dunia ketiga mulai berubah. Mengikuti keberhasilan Marshall Plan untuk pembangunan Eropa yang hancur akibat perang, Amerika Serikat dan negara-negara maju menyediakan pinjaman untuk pembnagunan negara-negara dunia ketiga dalam bentuk foreign aid atau official development assistance (ODA). Beberapa dari foreign aid yang diberikan tersebut dalam bentuk grant atau hibah namun sebagian besar merupakan pinjaman lunak (concessional loan). Jumlah dari ODA yang ditransfer ke negara-negara dunia ketiga semakin besar pada masa tahun 1950-1970 seiring dengan semkain masifnya industrialisasi di negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka.[2] Tujuan dari ODA yang diberikan kepada negara-negara dunia ketiga adalah sebagai berikut:
Official development assistance was supposed to aid the take-off into self-sustaining growth which Rostow had identified as the pivotal stage in the development process(Rostow, 1960). Foreign aid would plug the gap.[3]
Namun di sisi lain, sejak kemunculannya pasca Perang Dunia II, berbagai macam bentuk pinjaman dan bantuan luar negeri yang diberikan negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dinilai memiliki kepentingan politik dan ekonomi bagi pihak kreditor. Bahkan ketika Marshal Plan menjadi sebuah ide baru dalam ‘foreign aid’ sudah dinilai memiliki banyak kepentingan ekonomi Amerika selain kepentingan geopolitik dalam situasi perang dingin.[4]
Beginning with Marshal Plan when it was new aid concept, which included a sort of preferential credit that generally benefited the supplier of aid more than recipient.[5]
Marshal Plan generosity: much of the money so provided came back to the USA for the purchase of food , raw materials and capital goods. It was thus a powerful stimulant to American Economy.[6]
Hasil dari penelitian di empat negara di Amerika Latin (Columbia, Chile, Brazil, dan Peru), Teresa Hayter menyimpulkan bahwa hutang luar negeri pada dasarnya bukanlah transfer sumbar daya yang bebas bersyarat. Menurut Hayter ada beberapa hal yang biasa dipersyaratkan dalam pemberian hutang luar negeri. Pertama, pembelian barang dan jasa dari negara pemberi pinjaman. Kedua, peniadaan kebebasan untuk melakukan kebijakan ekonomi tertentu. Ketiga, permintaan untuk melakukan kebijakan ekonomi yang dikehendaki oleh pemberi pinjaman, terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur tangan negara dalam ekonomi.[7]
Dalam sejarahnya pemberian bantuan atau pinjaman sarat dengan berbagai macam kepentingan. Utang merupakan sarana bagi negara-negara kreditor untuk memutar kelebihan modal yang mereka miliki agar tidak menimbulkan masalah jika disimpan di dalam negeri. Oleh karena itu mereka membutuhkan lahan di luar negeri untuk ”menginvestasikan” kelebihan modal tersebut. Susan Strange menjelaskan bahwa pinjaman yang diberikan oleh IMF tidak diberikan bagi negara yang dinilai memerlukan atau negara yang paling taat dengan aturan IMF namun diperuntukkan bagi negara yang masalah ekonominya akan berpotensi untuk mengganggu stabilitas ekonomi internasional (Strange, 1973). Dengan demikian bukan hanya dorongan untuk “mendanai” pembangunan di negara-negara dunia ketiga tetapi hutang juga merupakan instrumen ekonomi politik yang digunakan oleh negara-negara kreditor.
Bagaimana dengan kondisi negara-negara dunia ketiga yang menjadi debitor? Tidak dipungkiri memang ada proses pembangunan yang berasal dari kontribusi pinjaman atau hutang yang diberikan oleh negara-negara kreditor. Namun di sisi lain justru implikasi negatif yang lebih dominan dialami oleh negara-negara debitor. Meningkatnya suku bunga dan nilai tukar membuat jumlah hutang lama semakin membengkak dan membuat negara debitor membayar jumlah yang jauh lebih banyak dari jumlah awal hutang mereka. Dari data yang dikeluarkan oleh Jubilee USA[8] pada tahun 2007 membuktikan bahwa sejak tahun 1970-2002, negara-negara di Afrika telaah menerima pinjaman sebesar $540 milyar dan telah membayar sebesar $550 milyar untuk utang pokok dan bunganya namun mereka masih memiliki beban hutang sebesar $295 milyar yang masih harus dibayar. Tidak hanya sampai disitu, negara-negara di Afrika juga menghabiskan uang lebih banyak untuk membayar hutang daripada berbagai jenis bantuan kemanusiaan yang mereka terima.
Implikasi negatif lainnya bagi negara-negara dunia ketiga yang disebabkan oleh hutang luar negeri adalah membuat negara-negara tersebut membatasi pengeluaran sosial sebagai konsekuensi pembayaran beban hutang yang ada dalam anggaran belanja negara. Seperti yang dijelaskan oleh Noreena Hertz:
As a consequence of having to pay its debts, a country is unable to guarantee its citizens subsistence levels of food, water, clothing and shelter and basic health care and education.[9]
Cutbacks in education and health care budget as the consequences of structural adjustment program will make people (especially the poor) get more suffer. When health care isn’t free or parents have to pay more to sent their children to go to school are the root causes of poverty.[10]
Pemotongan alokasi anggaran kesehatan dan pendidikan tersebut merupakan konsekuensi dari Structural Adjustment yang sering disyaratkan oleh lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk mencapai target ekonomi makro seperti yang mereka harapkan.
Munculnya wacana debt trap ditanggapi oleh IMF dan Bank Dunia dengan mengeluarkan inisiatif baru yaitu mekanisme Heavily Indebted Poor Countries (HIPC) pada tahun 1996 untuk menghapuskan hutang bagi negara-negara yang tergolong sangat miskin. Namun mekanisme ini tetap mensyaratkan hal yang sama dengan penarikan hutang. Liberalisasi dan privatisasi masih menjadi syarat utama jika sebuah negara ingin menghapuskan hutangnya. Logika penarikan hutang untuk menutupi defisit neraca pembayaran (balance of payment) yang umum terjadi di negara-negara dunia ketiga ternyata telah menunjukkan negative transfer karena jumlah penarikan hutang yang lebih kecil dari jumlah pembayaran hutang. Di Indonesia, situasi arus pinjaman luar negeri (sejak tahun 1970-an) menunjukkan besar cicilan hutang dan bunga pinjaman semakin besar sedangkan pinjaman bersih yang masuk dan dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan semakin kecil.[11]
Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan net-negative transfer yang terjadi di Indonesia. Pertama, meskipun pinjaman belum dicairkan pihak debitor sudah harus membayar commitment fee[12] yang besarnya sekitar 1% dari jumlah utang yang telah disepakati. Commitment Fee, yaitu fee yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman (lender) atas komitmen pinjaman yang telah diberikan dan telah dituangkan dalam loan agreement. Pemberian pinjaman oleh negara kreditor tidak serta merta langsung dilakukan. Sampai dengan tahun 2005 baru 44% dari total jumlah pinjaman yang disepakati yang sudah dicairkan. Namun pemerintah tetap harus membayar biaya komitmen dari pinjaman yang belum dicairkan, artinya bahkan kita harus membayar untuk sesuatu yang belum kita terima. Kedua, bunga utang dan berbagai macam bentuk ’fee’ lainnya yang harus dibayar oleh kreditor. Ketiga, perbedaan nilai uang (net present value) pada saat pembayaran pinjaman membuat jumlah utang yang disesuaikan dengan nilai uang saat itu bisa meningkatkan jumlah hutang yang harus dibayar daripada jumlah aslinya.
Pada perkembangannya sekarang tidak hanya digunakan untuk membiayai pembangunan pinjaman luar negeri juga digunakan sebagai instrumen untuk mengurangi kemiskinan dalam program-program Bank Dunia sebagai langkah untuk mewujudkan Millennium Development Goals. Di Indonesia sendiri diantaranya ada dua proyek Bank Dunia yang ditujukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengurangi kemiskinan yaitu Kecamatan Development Project (PPK) dan Urban Poverty Project (P2KP).[13] Lalu bagaimana keberhasilan program ini dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia?
Data mengenai kondisi Indonesia menunjukkan bahwa ternyata kemiskinan meningkat dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75% pada tahun 2006. Tingkat pengangguran pun juga meningkat dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005. Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun meningkat yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005. Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin turun dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama. Hingga akhir 2007 ini, jumlah pengangguran pun masih sekitar 10,55 juta jiwa atau 9,75%, sedangkan angka kemiskinan masih bertengger sekitar 34,2 juta orang atau 17,3%.
Di tengah kondisi tersebut setiap tahunnya Indonesia masih mengalami defisit dalam anggaran belanja negaranya (2,1% tahun 2008 yang naik dari 1,5% di tahun 2007). Defisit anggaran inilah yang menjadi alasan pemerintah untuk terus menarik pinjaman baru. Dengan kata lain Indonesai akan terus terjebak dalam beban hutang luar negeri. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan yang dibiayai oleh hutang ternyata hanya menimbulkan ketergantungan dan debt trap bagi negara-negara dunia ketiga. Di sisi lain, upaya untuk mengurangi kemiskinan justru meningkatkan angka kemiskinan serta meningkatkan rasio ketimpangan penduduk miskin.
[1] Stuart Corbridge, Debt and Development, Oxford: Blackwell, 1993. p. 24-25
[2] Ibid, p. 26
[3] Ibid.
[4] Lihat dalam Jacques B. Gelinas, Freedom from Debt, London: Zed Books Ltd, 1998. p 5-6.
[5] Ibid. p. 5.
[6] J.K. Galbraith, A Journey Through Economic Time, p. 147 dalam Gelinas, p. 6
[7] Lihat Teresa Hayter, Aid as Imperialism, 1971 dalam Revrisond Baswir, Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme Indonesia, 2007.
[8] Jubilee USA merupakan bagian dari Jubilee Network, yaitu kelompok NGO yang memiliki perhatian dan berusaha untuk menyerukan penghapusan hutang haram (odious debt) di negara-negara dunia ketiga.
[9] Noreena Hertz, The Debt Threat, New York: HarperCollins Publisher Inc., 2004, p. 184.
[10] Ibid, p.148.
[11] Lihat dalam Sritua Arief dan Adi Sasono, Modal Asing, Beban Hutang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1987, p.23.
[12] Commitment fee merupakan salah satu beban yang ditanggung oleh debitor di luar hutang pokok dan bunganya. Fee lain yang juga harus dibayar yaitu administration fee, front end fee; dan Agent Fee. Lihat dalam Sanuri, Pinjaman Luar Negeri Pemerintah: Loan Agreement hingga Restrukturisasi, Direktorat Luar Negeri Bagian Export Import, Bank Indonesia, 2005.
[13] PPK dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1998. PPK dan P2KP saat ini dimasukkan dalam bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri sebagai instrumen yang dipercaya oleh pemerintah mampu mengurangi kemiskinan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar