Secara historis terbentuknya kelompok negara-negara G-8 berawal dari resesi global yang disebabkan oleh krisis minyak yang terjadi pada tahun 1970-an. Pada tahun 1974, Amerika Serikat menginisiasi sebuah forum yang dinamakan Library Group yaitu sebuah forum informal yang dihadiri oleh senior financial official dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman Barat, Perancis, dan Jepang. Pada tahun 1975 kepala negara Perancis mengundang kepala negara-negara tersebut untuk melakukan pertemuan di Rambouillet ditambah dengan Italia. Setelah pertemuan kedua mereka bersepakat untuk melakukan pertemuan regular setiap tahun (G-6). Pada tahun berikutnya, Kanada menambah keanggotaan G-6 menjadi G-7.
Secara historis terbentuknya kelompok negara-negara G-8 berawal dari resesi global yang disebabkan oleh krisis minyak yang terjadi pada tahun 1970-an. Pada tahun 1974, Amerika Serikat menginisiasi sebuah forum yang dinamakan Library Group yaitu sebuah forum informal yang dihadiri oleh senior financial official dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman Barat, Perancis, dan Jepang. Pada tahun 1975 kepala negara Perancis mengundang kepala negara-negara tersebut untuk melakukan pertemuan di Rambouillet ditambah dengan Italia. Setelah pertemuan kedua mereka bersepakat untuk melakukan pertemuan regular setiap tahun (G-6). Pada tahun berikutnya, Kanada menambah keanggotaan G-6 menjadi G-7.
Sejak tahun 1977 pertemuan G-7 juga telah mengundang perwakilan Uni Eropa yang kamudian secara setiap tahunnya ikut dalam pertemuan G-7. Berakhirnya perang dingin dan pecahnya Uni Sovyet membuat Rusia muncul sebagai negara yang perlu diperhitungkan keberadaannya. Sejak pertemuan pada tahun 1994 di Naples, Rusia selalu terlibat diluar pertemuan utama anggota G-7. Atas inisiatif Presiden Bill Clinton, pada tahun 1997 Rusia secara formal masuk dalam keanggotaan G-8 sampai sekarang.
G-8 merupakan forum internasional yang anggotanya terdiri dari 8 negara besar (industri maju): Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Itali, Jerman, Kanada, Jepang, dan Rusia. Ke-8 negara ini secara ekonomi-politik dan militer merupakan negara-negara yang menguasai kekuatan dunia. Secara ekonomi kelompok negara-negara ini menguasai 65% ekonomi dunia, berada dalam kelompok negara dangan kekuatan militer terbesar, dan memiliki kekuatan nuklir aktif. Ditambah dengan keberadaan Cina dan beberapa organisasi internasional yang juga aktif dalam setiap pertemuan tahunan G-8
Kelompok negara-negara maju ini memiliki satu forum pertemuan tahunan yang dihadiri oleh kepala pemerintahan masing-masing negara anggota dan juga mengundang beberapa organisasi multilateral seperti Uni Eropa, PBB, WTO, Bank Dunia, International Atomic Energy Agency, dan African Union. Selain itu, sejak tahun 2005 kelompok G-8 juga berinisiatif untuk melibatkan negara-negara berkembang yang diundang untuk hadir dalam pertemuan tersebut (Brazil, China, India, Mexico dan South Africa).
Selain pertemuan di tingkat kepala negara atau kepala pemerintahan, G-8 juga memiliki forum untuk pertemuan di tingkat menteri seperti pertemuan menteri keuangan yang dilakukan empat kali dalam setahun, pertemuan menteri lingkungan atau pertemuan menteri luar negeri. Pertemuan menteri luar negeri tersebut dirancang untuk mempersiapkan pertemuan di tingkat kepala negara. Sedangkan output dari pertemuan tersebut merupakan bagian dari pernyataan bersama dari negara-negara G-8 berkaitan dengan isu dan kebijakan global.
G-8 dan KEKUATAN EkONOMI POLITIK GLOBAL
Kelompok negara-negara G-8 merupakan negara-negara yang mendominasi kekuatan ekonomi politik global. Secara ekonomi mereka merupakan negara-negara industri maju sedangkan secara politik mereka termasuk negara-negara yang juga memiliki dominasi ”hard power” dalam politik internasional. Perhatian negara-negara G-8 khususnya dalam pembangunan ekonomi global adalah untuk menciptakan iklim dan kondisi yang mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Saat ini kelompok G-8 juga mencermati kondisi ekonomi global yang menunjukkan perkembangan negatif terutama disebabkan oleh krisis pangan dan energi yang dianggap mampu menghambat laju pertumbuhan ekonomi global. Inflasi yang cukup tinggi juga terjadi di negara-negara maju. Melihat kondisi dan multiple effect dalam ekonomi politik global yang terjadi saat ini beberapa agenda yang akan dibahas dalam pertemuan G-8 di Hokkaido Jepang diantaranya yaitu pertumbuhan ekonomi dunia yang berkelanjutan, investasi, perdagangan, perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, munculnya kekuatan ekonomi baru, dan sumber daya alam. Output yang diinginkan setelah pertemuan G-8 ke-34 tersebut adalah bagaimana negara-negara anggota G-8 mengkordinasikan kebijakannya dalam menghadapi isu-isu internasional.
Kelompok negara maju tersebut sangat mendukung kebijakan investasi dan perdagangan bebas yang identik dengan liberalisasi dan privatisasi. Mereka percaya bahwa jika investasi internasional bisa dilakukan secar bebas dan terbuka maka akan lebih mempercepat laju pertumbuhaan ekonomi global. Dalam pernyataan bersamanya kelompok negara G-8 menyatakan dukungannya dalam dua pilar yaitu kebijakan investasi dan sektor keuangan yang dilakukan oleh IMF melalui rezim investasi terbuka dan Poverty Reduction Growth Facility (PRGF).
Namun yang terjadi sebenarnya bahwa pertumbuhan ekonomi yang didorong liberalisasi perdagangan, privatisasi, dan rezim investasi bebas hanya menguntungkan negara-negara maju. Liberalisasi perdagangan tidak hanya mempermudah transfer hasil produksi tetapi juga mempermudah negara-negara maju untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang dimiliki oleh negara-negara dunia ketiga. Lebih dari 50% perdagangan dunia dikuasai oleh negara-negara maju di Amerika Utara dan Eropa yang masuk dalam G-8. Belum lagi nilai total perdagangan yang dimiliki oleh Jepang dan Rusia menambah besar keuntungan jika liberalisasi perdagangan diberlakukan secara global.
Dalam hal investasi, rezim open investment merupakan pintu untuk mempermudah arus investasi. FDI dan portfolio investment merupakan faktor yang cukup penting bagi perkembangan perusahaan multinasional dan transnasional sehingga perusahaan-perusahaan tersebut mampu bergerak melintasi batas negara. Melalui capital transfer inilah perusahaan multinasional bisa melakukan ekspansi ke luar negara bahkan melakukan kontrol terhadap pasar, produksi, maupun kegiatan ekonomi lain seperti investasi di sektor jasa, manufaktur, atau komoditas lainnya.
Semakin bebasnya arus modal mendorong perubahan kondisi ekonomi politik yang semakin berkembang saat ini dimana aliran modal di sektor swasta telah menggantikan aliran modal bilateral dan multilateral (official flows) sebagai sumber modal asing yang digunakan oleh negara berkembang. Perubahan ini selain membawa perubahan pada siapa yang melakukan kontrol terhadap modal, juga membawa berubahanya motif dan kepentingan bagi pihak yang menanamkan modal serta bagaimana bentuk aliran modal itu ditransfer ke negara lain. Semakin lama arus modal semakin bersifat highly mobile dan tidak stabil (volatile). Highly mobile capital inilah yang membuat negara terutama negara-negara berkembang sebagai host country semakin rentan terhadap perubahan yang terjadi dalam ekonomi global.
“POSISI” G-8 DALAM ISU UTANG dunia
Utang luar negeri merupakan bagian dari aliran modal dari wilayah atau negara-negara maju (developed region) ke negara-negara yang belum berkembang (less developed region). Dalam sejarahnya pada awal abad ke-19, aliran modal ini digunakan oleh Inggris untuk melakukan pembangunan di negara-negara koloninya di Amerika utara, Afrika selatan, dan Australasia. Pada dekade 1920 sampai dengan tahun 1930-an, perkembangan aliran modal ini lebih banyak dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat ke negara-negara Amerika Latin.
Setelah perang dunia kedua berakhir dan banyak negara-negara Asia-Afrika yang merdeka, utang luar negeri dijadikan sebagai alat untuk ‘membantu’ pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Setelah berakhirnya Perang Dunia kedua bentuk aliran pinjaman ke negara-negara dunia ketiga mulai berubah. Mengikuti keberhasilan Marshall Plan untuk pembangunan Eropa yang hancur akibat perang, Amerika Serikat dan negara-negara maju menyediakan pinjaman untuk pembangunan negara-negara dunia ketiga dalam bentuk foreign aid atau official development assistance (ODA). Beberapa dari foreign aid yang diberikan tersebut dalam bentuk grant atau hibah namun sebagian besar merupakan pinjaman lunak (concessional loan). Tujuan dari ODA yang diberikan kepada negara-negara dunia ketiga adalah sebagai berikut:
Official development assistance was supposed to aid the take-off into self-sustaining growth which Rostow had identified as the pivotal stage in the development process(Rostow, 1960). Foreign aid would plug the gap.1
Namun di sisi lain, sejak kemunculannya pasca Perang Dunia II, berbagai macam bentuk pinjaman dan bantuan luar negeri yang diberikan negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dinilai memiliki kepentingan politik dan ekonomi bagi pihak kreditor. Bahkan ketika Marshal Plan menjadi sebuah ide baru dalam ‘foreign aid’ sudah dinilai memiliki banyak kepentingan ekonomi Amerika selain kepentingan geopolitik dalam situasi perang dingin.2
Beginning with Marshal Plan when it was new aid concept, which included a sort of preferential credit that generally benefited the supplier of aid more than recipient.3
Marshal Plan generosity: much of the money so provided came back to the USA for the purchase of food , raw materials and capital goods. It was thus a powerful stimulant to American Economy.4
Munculnya wacana debt trap ditanggapi oleh negara-negara kreditor dan IFIs seperti IMF dan Bank Dunia dengan mengeluarkan inisiatif baru yaitu mekanisme Heavily Indebted Poor Countries (HIPC) pada tahun 1996 untuk menghapuskan hutang bagi negara-negara yang tergolong sangat miskin. Namun mekanisme ini tetap mensyaratkan hal yang sama dengan penarikan hutang. Liberalisasi dan privatisasi masih menjadi syarat utama jika sebuah negara ingin menghapuskan hutangnya.
Dalam isu utang khususnya, G-8 yang juga merupakan negara-negara kreditor bagi banyak negara-negara dunia ketiga sangat mendukung mekanisme Heavily Indebted Poor Countries, Paris Club, dan World Bank’s Debt Reduction Facility yang dijadikan sebagai skema penghapusan hutang bagi negara-negara dunia ketiga. Padahal mekanisme tersebut justru membawa negara-negara dunia debitor terjebak dalam privatisasi dan liberalisasi terutama di sektor-sektor strategis.
Pengalaman di beberapa negara yang telah melakukan skema tersebut hampir seragam. Zambia harus melakukan privatisasi terhadap bank nasionalnya. Nikaragua harus melakukan privatisasi di sektor listrik yang mengakibatkan kenaikan tarif listrik sebesar 20% yang justru membebani masyarakat miskin. Sedangkan di Sierra Leone privatisasi dilakukan di hampir semua sektor strategis seperti air, energi dan komunikasi yang melibatkan 24 perusahaan milik negara. Pada kenyataannya kebijakan ekonomi-politik global dan skema penghapusan utang yang selama ini didukung oleh negara-negara G-8 justru membuat kondisi di negara-negara dunia ketiga semakin buruk
Bagi negara-negara Afrika, mekanisme-mekanisme tersebut dianggap telah digunakan oleh lembaga kreditor untuk mendiktekan kebijakan ekonomi yang harus dilakukan di negara mereka. Sejalan dengan komentar yang diberikan oleh berbagai NGO seperti Jubilee South, Focus on the Global South, AWEPON, dan the Centor do Estudios Internacionales yang melihat fenomena poverty reduction program yang dilakukan oleh IMF dan Bank Dunia justru didominasi oleh pendesakan kebijakan liberalisasi di berbagai sektor.
"Fighting poverty becomes the newest justification for the aging prescriptions geared to increasing the overall opening of the "host country" to external economic actors and free market rules."5
Beberapa mekanisme negosiasi utang yang sering dipakai oleh negara-negara G-8 lainnya yaitu Paris Club dan London Club. Paris Club dipakai utnuk menegosiasikan utang bilateral antar pemerintah sedangkan London Club digunakan untuk menegosiasikan utang komersial. Namun mekanisme negosiasi tersebut masih dianggap tidak “adil” bagi kepentingan negara-negara debitor. Kesepakatan tentang debt rescheduling atau debt relief hanya berdasarkan hasil negosiasi informal antara debitor dan ke-19 kreditor yang ada dalam forum.
Meskipun demikian, mekanisme debt relief yang sering menjadi rujukan bagi negara-negara kreditor tersebut sebenarnya hanya lebih ditujukan untuk melindungi kepentingan kreditor dan sistem keuangan internasional daripada untuk mengatasi masalah krisis utang di negara-negara dunia ketiga. Hal ini tercermin ketika anjuran yang diberikan oleh International Financial Institution kepada negara-negara miskin tetap harus memprioritaskan debt service daripada membiayai subsidi dan penegluaran sosial lainnya.
Persyaratan yang diberikan untuk menerima penghapusan utang oleh negara-negara kreditor ini kebanyakan sama seperti persyaratan pinjaman yang diberikan oleh IMF dan Bank Dunia. Persyaratan tersebut merupakan bagian dari kebijakan neoliberal yanga ada dalam Washington Consensus diantaranya yaitu disiplin fiscal, tax reform, liberalisasi suku bunga, liberalisasi perdagangan, privatisasi, dan deregulasi. Ironisnya, mereka juga memasukkan larangan terhadap pengeluaran untukkebutuhan dasar seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan padahal bagi banyak negara berkembang atau negara miskin justru hal itulah yang paling dibutuhkan oleh masyarakat.
G-8 vs. KAMPANYE GLOBAL ATAS ISU UTANG
Kritik terhadap keberadaan kominitas negara-negara maju dalam kelompok G-8 banyak dikaitkan dengan tanggung jawab negara-negara maju atas beberapa isu global seperti kemiskinan di Afrika dan negara-negara berkembang yang disebabkan oleh utang dan kebijakan perdagangan internasional, pemanasan global yang disebabkan emisi karbon, permasalahan AIDS yang terkendala penerapan hak paten atas obat-obatan, serta isu-isu lain yang berkaitan dengan globalisasi. Berbagai macam bentuk demonstrasi telah dilakukan oleh kalangan NGO untuk menentang legitimasi kelompok G-8 yang dianggap harus bertanggung jawab terhadap sekian banyak permasalahan global. Kampanye penghapusan utang secara global yang dilakukan bersamaan dengan pertemuan tahunan G-8 telah dimulai sejak tahun 1998 pada pertemuan G-8 di Birmingham.
Pada tanggal 18 November tahun 2006, pejabat senior Jerman mengumumkan bahwa pertemuan G-8 tahun 2007 di Jerman tidak akan memasukan debt relief dan bantuan terhadap Afrika dalam agendanya karena rencananya akan dibicarakan pada pertemuan di tahun 2008 di Jepang. Namun melihat daftar agenda yang akan dibicarakan pada pertemmuan G-8 di Jepang ternyata hanya permasalahan Afrika yang akan dimasukkan. Sedangkan isu debt relief tidak muncul dalam agenda pertemuan G-8 ke-34 di Jepang.
Menghadapi gerakan kampanye penghapusan utang global yang mulai bangkit sejak aksi besar-besaran pada pertemuan G-8 di Birmingham, kelompok negara-negara G-8 merespon dnegan memberikan komitmen untuk melakukan penghapusan utang bagi negara-negara dunia ketiga. Namun realisasi yang diwujudkan oleh negara-negara G-8 jauh dari apa yang dijanjikan. Paris Club mengklaim bahwa telah membuat 404 kesepakatan dengan 85 negara debitor. Dari $506 billion hanya $7 billion penghapusan utang yang direalisasikan dan semuanya kepada negara-negara yang masuk dalam kategori HIPC.
Melalui mekanisme HIPC sendiri dari total $63.4 billion yang dijanjikan hanya bisa terealisasi $45.4 billion. Data-data tersebut menunjukkan bahwa terlalu sedikit jumlah utang yang bisa dihapuskan. Negara-negara miskin masih harus mengeluarakan $100 million per hari untuk membayar utang. Sampai sekarang masih diperlukan penghapusan utang minimal sebesar $400 billion lagi bagi 100 negara-negara di dunia untuk bisa menjamin ketersediaan kebutuhan dasar bagi masyarakatanya (Jubilee UK, 2008)
Tidak hanya jumlahnya yang terlalu kecil, tetapi juga persyaratan yang diajukan bagi negara-negara yang ingin mendapatkan penghapusan utang masih menjadi masalah utama. Persyaratan untuk melakukan transparansi dan akuntabilitas dalam prosesnya memang penting, namun persyaratan yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi seperti privatisasi, liberalisasi, dan praktek kebijakan fiscal harus dihapuskan. Proses penghapusan utang yang tidak adil juga masih menjadi sumber sulitnya mengatasi permasalahan ini.
After a brief survey of the roots of the debt crisis, we look at the key elements of the debt problem: the unpayable nature of much of the debt; the unjust origins of much of the debt; the unfair processes of debt cancellation; and the need to act now to prevent a future debt crisis (Jubilee Debt Campaign UK, 2008)
Oleh karena itu sangat jelas dirasakan bahwa selama ini upaya penyelesaian krisis utang di negara-negara miskin dan negara berkembang dikendalikan oleh pihak kreditor dan bukan untuk kepentingan negara debitor. Tidak hanya dalam isu utang, tapi dalam beberapa isu global lainnya penyelesaian masalah yang ditawarkan oleh kelompok negara-negara maju ini hanya
g-8 DAN iNDONESIA
Pertemuan G-8 ke-34 juga memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk hadir dalam forum tersebut. Tidak hanya di tingkat kepala negara, kelompok G-8 juga telah mengundang Indonesia untuk hadir dalam pertemuan di tingkat menteri yang telah dilakukan beberapa waktu yang lalu. Undangan yang ditujukan untuk Presiden Indonesia pada pertemuan G-8 di Jepang memberikan kesempatan bagi kita untuk mendesakkan kepentingan Indonesia dalam beberapa isu.
Pertama, dalam isu krisis energi saat ini dimana Indonesia juga terkena dampaknya maka dibutuhkan kebijakan energi yang lebih berpihak pada kepentingan nasional. Proses ekstraksi sumber daya energi di Indonesia saat ini erat dengan kepentingan negara-negara maju karena 85% struktur produksi migas di Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing. Dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia masih dikuasai oleh korporasi asing, yang juga menduduki 10 besar produsen migas di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007). Spekulasi investor di sektor migas yang banyak dilakukan oleh negara-negara maju merupakan penyebab utama tingginya harga minyak internasional saat ini.
Kedua, dalam isu krisis pangan tidak semata-mata karena kurangnya pasokan bahan pangan. Liberalisasi pertanian yang didorong atas kepentingan negara-negara maju memberikan kontribusi bagi terjadinya krisis pangan saat ini. Bukan hanya isu food security seperti yang harus didukung oleh kelompok negara maju tetapi kita juga harus mendesakkan upaya untuk mencapai kedaulatan pangan.
Ketiga, dalam isu pemanasan global, upaya untuk mendesak “tanggung jawab” negara-negara maju harus terus dilakukan. Industrialisasi yang ada di negara-negara maju dan juga eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan yang mereka lakukan di negara-negara berkembang merupakan penyebab utama kerusakan lingkungan secara global.
Isu genting dalam upaya mengatasi pemanasan global salah satunya adalah pembiayaan mitigasi dan adaptasi. Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang mendorong pembiayaan perubahan iklim melalui mekanisme utang lewat Bank Dunia. Upaya ini adalah merupakan tindakan pengalihan tanggung jawab sekaligus pencarian keuntungan (profiteering) krisis lingkungan tergenting saat ini. Tanggung jawab negara maju dalam pembiayaan mengatasi perubahan iklim tidak boleh dalam rupa utang baru dalam mekanisme apapun. Negara-negara maju harus mengurangi emisinya secara siginifikan sambil membayar pampasan ekologik kepada negara-negara berkembang
Keempat, liberalisasi investasi dan privatisasi yang terus didorong oleh negara-negara maju dan juga mulai diterapkan secara masif di Indonesia juga tidak terlepas dari kepentingan negara-negara maju yang membutuhkan “lahan” baru untuk memutar aliran kapitalnya. Kecenderungan kebijakan yang dilakukan di Indonesia justru memilih liberalisasi dan memberikan peluang yang lebih luas bagi ekspansi modal internasional.
Beberapa regulasi nasional seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan UU Penanaman Modal tahun 2007 justru menjamin kebebasan aliran modal dan investasi asing. Sektor-sektor strategis di Indonesia kini didominasi oleh kepemilikan perusahaan asing. Investasi asing telah menguasai 85,4% konsesi pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan perbankan di Indonesia (Forum Rektor Indonesia, 2007). Pemberlakuan aturan investasi yang baru tersebut membuat Indonesia berada dalam fenomena race to the bottom.
Kelima, isu utang yang justru disingkirkan dalam agenda pertemuan G-8 yang akan datang juga harus mendapat perhatian. Tuntutan penghapusan hutang bagi Indonesia tidak hanya karena hutang tersebut merupakan utang haram (odious debt) tetapi juga karena kebijakan penarikan hutang saat ini tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat. Net negative transfer yang terjadi karena pembayaran berbagai bentuk fee (commitment fee, administration fee, front end fee; dan Agent Fee), pembayaran bunga, dan selisih NPV justru lebih membebani masyarakat Indonesia. Pertemuan G-8 yang dihadiri oleh negara-negara kreditor dan IFIs bisa menjadi kesempatan untuk “menegosiasikan” kembali beban hutang Indonesia secara adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar