Akhir-akhir ini masyarakat dunia menghadapi dua masalah besar, yaitu melonjaknya harga minyak dunia serta krisis pangan yang terjadi secara global. Jika dirunut penyebabnya kedua hal tersebut memiliki keterkaitan erat. Melonjaknya harga minyak dunia menyebabkan harga bahan pangan naik karena dipicu oleh naiknya biaya transportasi. Permintaan minyak sebagai sumber energi yang semakin meningkat membuat manusia mencari bahan bakar alternatif sebagai pengganti bahan bakar fosil. Salah satunya dengan menggunakan bio-fuel yang berasal dari bahan nabati sehingga produk pangan seperti kedelai sekarang dialihfungsikan menjadi bahan bakar.
Untuk mengatasi permasalahan energi dan pangan tersebut, pemerintah Indonesia beberapa waktu lalu “terpaksa” mengeluarkan kebijakan yang tidak populer yaitu dengan menaikkan harga BBM. Lalu apa hubungannya kebijakan tersebut dengan kemiskinan? Sebagai kompensasi atas kenaikan BBM pemerintah mengganti subsidi BBM (barang) dengan subsidi orang dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dalam argumentasinya, pemerintah menyatakan bahwa program BLT akan bisa mengurangi angka kemiskinan.
Dalam sebuah surat kabar beberapa waktu lalu yang mengutip pernyataan anggota staf khusus Menteri Keuangan, Chatib Basri, mengatakan bahwa bantuan sebesar Rp100.000/bulan tersebut bisa meningkatkan daya beli masyarakat. Tambahan pendapatan sebesar 25% tersebut lebih besar dari proyeksi inflasi akibat kenaikan harga BBM sebesar 11-12 persen.
Secara riil perhitungan tersebut akan sangat jauh dari kenyataan. Secara sederhana saja kita perhitungkan bahwa kenaikan ongkos makan untuk sekali makan naik Rp500,-. Untuk tiga kali makan maka satu orang harus menambah Rp1.500,- per hari. Untuk satu keluarga yang terdiri dari empat orang maka keluarga tersebut harus menambah Rp6.000,- per hari dan menjadi Rp180.000 per bulan. Angka ini jauh diatas nilai BLT yang diberikan pemerintah. Belum lagi jika kita memperhitungkan kenaikan ongkos transportasi dan kenaikan harga kebutuhan lain. Dengan demikian perbandingan antara besar tambahan pendapatan dan perhitungan makro atas inflasi di atas tidaklah sesuai.
Asisten Direktur IMF untuk Asia-Pasifik, Milan Zavadjil, di lain pihak justru mengatakan bahwa kenaikan harga BBM yang diikuti oleh kenaikan haraga barang kebutuhan lainnya akan meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran. Namun, optimisme IMF mengatakan bahwa akan terjadi stimulus ekonomi yang disebabkan oleh meningkatnya investasi di Indonesia.
Kalau dilihat lebih jauh memang pada akhir tahun ini investasi yang masuk akan meningkat. Hal ini disebabkan karena rencana privatisasi beberapa BUMN strategis seperti PT Krakatau Steel atau sektor-sektor strategis lain seperti pelabuhan serta pembukaan kontrak eksplorasi minyak baru. Sektor-sektor strategis tersebut tentunya sangat menarik minat investor asing bahkan beberapa diantaranya ditengarai telah melakukan loby dengan pemerintah.
Satu hal yang perlu diingat bahwa investasi asing yang dilakukan melalui pembelian saham tidak akan mengurangi jumlah pengangguran. Arus kapital yang masuk melalui bursa saham tidak akan memunculkan industri baru yang mampu menyerap tenaga kerja. Keuntungan yang dicapai perusahaan juga akan dibagi sesuai kepemilikan saham dan tidak lagi menjadi sumber pendapatan pemerintah Indonesia sepenuhnya. Terlebih lagi setelah diberlakukannya UU Penanaman Modal tahun 2007 menjamin kebebasan repatriasi kapital bagi investor asing.
Optimisme pemerintah Indonesia dalam program poverty reduction juga tidak berhenti sampai di situ. Pemerintah menawarkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang merupakan integrasi dari lima program sebelumnya (PPK, P2KP, PPIP, P2DTK, dan PISEW). Jika dilihat lebih lanjut dua program besar seperti P2KP dan PPK merupakan proyek yang didanai pinjaman dari Bank Dunia. Sejak tahun 1998 PPK telah menggelontorkan pinjaman yang jumlah totalnya US$1,6 milliar. Ini membuktikan bahwa untuk mengatasi masalah kemiskinan pemerintah Indonesia masih sangat tergantung pada utang luar negeri.
Jika dikatakan bahwa program pengentasan kemiskinan tersebut merupakan kelanjutan dari program sebelumnya, apakah implementasinya selama ini menunjukkan keberhasilan? Atau apakah selama ini pemerintah pernah mempublikasikan tentang efektifitas program tersebut untuk mengentaskan kemiskinan? Terlebih lagi karena program-program tersebut didanai hutang luar negeri maka di masa yang akan datang negara ini akan dibebani pembayaran hutang pokok, bunga, dan kewajiban-kewajiban lainnya sebagai negara debitor.
Terlepas dari semua hal tersebut, beberapa fakta yang perlu kita catat terkait dengan kemiskinan di Indonesia adalah sebagai berikut. Data menunjukkan bahwa kemiskinan meningkat dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75% pada tahun 2006 dan mencapai angka 34,2 juta (17,3%) di akhir tahun 2007. Tingkat pengangguran juga meningkat dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005 dan di tahun 2007 sejumlah 10,55 juta (9,75%) orang. Menurut LIPI kenaikan harga BBM akan meningkatkan jumlah kemiskinan mencapai 41,7 juta (21,92%). Berdasarkan angka-angka tersebut kita dapat menyimpulkan sendiri apakah program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini justru menunjukkan hasil yang negatif atau dengan kata lain “gagal”.
Defisit anggaran belanja negara 2008 yang semakin membengkak menjadi alasan utama pemerintah dalam menaikkan harga BBM. Namun pada kenyataannya setiap tahun APBN selalu menunjukkan angka defisit. Pemerintah selalu menyalahkan subsidi BBM sebagai faktor utama penyebab membengkaknya defisist APBN 2008. Apakah hal ini benar?
Jika melihat APBN-P 2008 pemerintah mengeluarkan sebesar Rp94.794,2 milyar hanya untuk pembayaran bunga hutang luar negeri dan dalam negeri. Jumlah ini lebih besar dari defisit APBN sebesar Rp94.503,3 milyar. Jumlah ini masih ditambah dengan pembayaran cicilan pokok hutang pokok luar negeri sebesar Rp61.254,9 milyar. Belum lagi ditambah beban hutang dalam negeri yang harus dibayar. Dengan demikian hutang luar negeri juga memiliki kontribusi sebagai penyabab defisitnya APBN. Lalu mengapa pemerintah tidak pernah menyentuh permasalahan ini?
Yang lebih tidak bisa dimengerti lagi adalah langkah pemerintah untuk selalu menambah hutang luar negeri setiap tahunnya dengan alasan menutupi defisit neraca pembayaran. Padahal hutang luar negeri merupakan faktor penyebab defisitnya APBN. Sangatlah tidak logis upaya menutup defisit dengan menambah sisi beban dalam anggaran.
Melihat fakta diatas, program-program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan dengan dana hutang luar negeri juga tidak bisa dikatakan berhasil. Menatasi maasalah kemiskinan dengan solusi utang luar negeri hanyalah menjadi lingkaran setan yang juga menyebabkan kemiskinan. Banyak hal yang membuat kita terus mempertanyakan kebijakan pemerintah Indonesia. Dan akhirnya, mengutip Amien Rais dalam bukunya yang juga mempertanyakan “What kind of goverment do we have?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar