Akhir-akhir ini masyarakat dunia menghadapi dua masalah besar, yaitu melonjaknya harga minyak dunia serta krisis pangan yang terjadi secara global. Jika dirunut penyebabnya kedua hal tersebut memiliki keterkaitan erat. Melonjaknya harga minyak dunia menyebabkan harga bahan pangan naik karena dipicu oleh naiknya biaya transportasi. Permintaan minyak sebagai sumber energi yang semakin meningkat membuat manusia mencari bahan bakar alternatif sebagai pengganti bahan bakar fosil. Salah satunya dengan menggunakan bio-fuel yang berasal dari bahan nabati sehingga produk pangan seperti kedelai sekarang dialihfungsikan menjadi bahan bakar.
Untuk mengatasi permasalahan energi dan pangan tersebut, pemerintah Indonesia beberapa waktu lalu “terpaksa” mengeluarkan kebijakan yang tidak populer yaitu dengan menaikkan harga BBM. Lalu apa hubungannya kebijakan tersebut dengan kemiskinan? Sebagai kompensasi atas kenaikan BBM pemerintah mengganti subsidi BBM (barang) dengan subsidi orang dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dalam argumentasinya, pemerintah menyatakan bahwa program BLT akan bisa mengurangi angka kemiskinan.
Dalam sebuah surat kabar beberapa waktu lalu yang mengutip pernyataan anggota staf khusus Menteri Keuangan, Chatib Basri, mengatakan bahwa bantuan sebesar Rp100.000/bulan tersebut bisa meningkatkan daya beli masyarakat. Tambahan pendapatan sebesar 25% tersebut lebih besar dari proyeksi inflasi akibat kenaikan harga BBM sebesar 11-12 persen.
Secara riil perhitungan tersebut akan sangat jauh dari kenyataan. Secara sederhana saja kita perhitungkan bahwa kenaikan ongkos makan untuk sekali makan naik Rp500,-. Untuk tiga kali makan maka satu orang harus menambah Rp1.500,- per hari. Untuk satu keluarga yang terdiri dari empat orang maka keluarga tersebut harus menambah Rp6.000,- per hari dan menjadi Rp180.000 per bulan. Angka ini jauh diatas nilai BLT yang diberikan pemerintah. Belum lagi jika kita memperhitungkan kenaikan ongkos transportasi dan kenaikan harga kebutuhan lain. Dengan demikian perbandingan antara besar tambahan pendapatan dan perhitungan makro atas inflasi di atas tidaklah sesuai.
Asisten Direktur IMF untuk Asia-Pasifik, Milan Zavadjil, di lain pihak justru mengatakan bahwa kenaikan harga BBM yang diikuti oleh kenaikan haraga barang kebutuhan lainnya akan meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran. Namun, optimisme IMF mengatakan bahwa akan terjadi stimulus ekonomi yang disebabkan oleh meningkatnya investasi di Indonesia.
Kalau dilihat lebih jauh memang pada akhir tahun ini investasi yang masuk akan meningkat. Hal ini disebabkan karena rencana privatisasi beberapa BUMN strategis seperti PT Krakatau Steel atau sektor-sektor strategis lain seperti pelabuhan serta pembukaan kontrak eksplorasi minyak baru. Sektor-sektor strategis tersebut tentunya sangat menarik minat investor asing bahkan beberapa diantaranya ditengarai telah melakukan loby dengan pemerintah.
Satu hal yang perlu diingat bahwa investasi asing yang dilakukan melalui pembelian saham tidak akan mengurangi jumlah pengangguran. Arus kapital yang masuk melalui bursa saham tidak akan memunculkan industri baru yang mampu menyerap tenaga kerja. Keuntungan yang dicapai perusahaan juga akan dibagi sesuai kepemilikan saham dan tidak lagi menjadi sumber pendapatan pemerintah Indonesia sepenuhnya. Terlebih lagi setelah diberlakukannya UU Penanaman Modal tahun 2007 menjamin kebebasan repatriasi kapital bagi investor asing.
Optimisme pemerintah Indonesia dalam program poverty reduction juga tidak berhenti sampai di situ. Pemerintah menawarkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang merupakan integrasi dari lima program sebelumnya (PPK, P2KP, PPIP, P2DTK, dan PISEW). Jika dilihat lebih lanjut dua program besar seperti P2KP dan PPK merupakan proyek yang didanai pinjaman dari Bank Dunia. Sejak tahun 1998 PPK telah menggelontorkan pinjaman yang jumlah totalnya US$1,6 milliar. Ini membuktikan bahwa untuk mengatasi masalah kemiskinan pemerintah Indonesia masih sangat tergantung pada utang luar negeri.
Jika dikatakan bahwa program pengentasan kemiskinan tersebut merupakan kelanjutan dari program sebelumnya, apakah implementasinya selama ini menunjukkan keberhasilan? Atau apakah selama ini pemerintah pernah mempublikasikan tentang efektifitas program tersebut untuk mengentaskan kemiskinan? Terlebih lagi karena program-program tersebut didanai hutang luar negeri maka di masa yang akan datang negara ini akan dibebani pembayaran hutang pokok, bunga, dan kewajiban-kewajiban lainnya sebagai negara debitor.
Terlepas dari semua hal tersebut, beberapa fakta yang perlu kita catat terkait dengan kemiskinan di Indonesia adalah sebagai berikut. Data menunjukkan bahwa kemiskinan meningkat dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75% pada tahun 2006 dan mencapai angka 34,2 juta (17,3%) di akhir tahun 2007. Tingkat pengangguran juga meningkat dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005 dan di tahun 2007 sejumlah 10,55 juta (9,75%) orang. Menurut LIPI kenaikan harga BBM akan meningkatkan jumlah kemiskinan mencapai 41,7 juta (21,92%). Berdasarkan angka-angka tersebut kita dapat menyimpulkan sendiri apakah program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini justru menunjukkan hasil yang negatif atau dengan kata lain “gagal”.
Defisit anggaran belanja negara 2008 yang semakin membengkak menjadi alasan utama pemerintah dalam menaikkan harga BBM. Namun pada kenyataannya setiap tahun APBN selalu menunjukkan angka defisit. Pemerintah selalu menyalahkan subsidi BBM sebagai faktor utama penyebab membengkaknya defisist APBN 2008. Apakah hal ini benar?
Jika melihat APBN-P 2008 pemerintah mengeluarkan sebesar Rp94.794,2 milyar hanya untuk pembayaran bunga hutang luar negeri dan dalam negeri. Jumlah ini lebih besar dari defisit APBN sebesar Rp94.503,3 milyar. Jumlah ini masih ditambah dengan pembayaran cicilan pokok hutang pokok luar negeri sebesar Rp61.254,9 milyar. Belum lagi ditambah beban hutang dalam negeri yang harus dibayar. Dengan demikian hutang luar negeri juga memiliki kontribusi sebagai penyabab defisitnya APBN. Lalu mengapa pemerintah tidak pernah menyentuh permasalahan ini?
Yang lebih tidak bisa dimengerti lagi adalah langkah pemerintah untuk selalu menambah hutang luar negeri setiap tahunnya dengan alasan menutupi defisit neraca pembayaran. Padahal hutang luar negeri merupakan faktor penyebab defisitnya APBN. Sangatlah tidak logis upaya menutup defisit dengan menambah sisi beban dalam anggaran.
Melihat fakta diatas, program-program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan dengan dana hutang luar negeri juga tidak bisa dikatakan berhasil. Menatasi maasalah kemiskinan dengan solusi utang luar negeri hanyalah menjadi lingkaran setan yang juga menyebabkan kemiskinan. Banyak hal yang membuat kita terus mempertanyakan kebijakan pemerintah Indonesia. Dan akhirnya, mengutip Amien Rais dalam bukunya yang juga mempertanyakan “What kind of goverment do we have?”.
Selasa, 17 Juni 2008
MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs): STRATEGI PEMBANGUNAN UNTUK MENGATASI KEMISKINAN GLOBAL
Millennium Development Goals (MDGs) play roles as poverty reduction new initiatives. It is a global commitment to solve extreme poverty problem. But, in fact it still uses the same strategy to put into practice related to debt. Consessional loan trough Official Development Assistance and debt relief are the main instrument on its poverty reduction program. After 7 years this development strategies were implemented, unfortunately it does not bring significant result on poverty reduction. On the other side, now the international community face the energy and food crisis phenomena.
Di tengah derasnya arus globalisasi masyarakat dunia tetap mengahdapi stu masalah besar yang masih belum bisa terpecahkan, yaitu kemiskinan. Isu kemiskinan masih menjadi perhatian utama masyarakat dunia. Arus globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi ternyata tidak berkorelasi positif terhadap penurunan jumlah masyarakat miskin di dunia tetapi justru tidak hanya meningkatkan jumlah masyarakat miskin di dunia melainkan juga kesenjangan yang semakin lebar antara penduduk kaya dan miskin. Pada tahun 2001 tercatat masih ada sekitar 800 juta masyarakat dunia yang kekurangan pangan dan di tahun 2005 UNDP mencatat sekitar 3 milyar orang di dunia hidup kurang dari US$ 2 per hari.
Banyak upaya dan strategi pembangunan yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Masyarakat internasional telah sepakat melakukan upaya dalam sebuah komitmen global yang dinamakan Millennium Development Goals (MDGs). Pada tahun 2000, para pemimpin dari 189 negara sepakat untuk mengentaskan kemiskinan dengan mengadopsi UN Millennium Declaration pada 2000 Millennium Summit di New York, Amerika Serikat. Dalam deklarasi tersebutlah tercantum komitmen MDGs. MDGs terdiri dari 8 goals, 18 target, dan lebih dari 40 indikator dalam berbagai aspek pembangunan ekonomi dan sosial yang mesti dicapai oleh semua negara pada tahun 2015.
Selain melalui PBB, strategi lain juga diterapkan oleh International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Melalui Poverty Reduction Strategy Paper (PRSP) yang pertama kali dicetuskan sejak tahun 1999 oleh kedua lembaga tersebut menjadi basis operasional bagi program-program pengentasan kemiskinan oleh Bank Dunia dan IMF. Yang menarik dari PRSP ini adalah dua jenis program pembangunan yang ditawarkan oleh IMF dan Bank Dunia untuk mengatasi kemiskinan berhubungan dengan pinjaman atau hutang. Pertama, berupa pinjaman lunak yang diberikan IMF dalam skema Poverty Reduction and Growth Facility (PRGF) pinjaman yang diberikan oleh Bank Dunia dalam melalui Poverty Reduction Support Credit (PRSC). Kedua, PRSP dijadikan dasar penghapusan hutang (debt relief) melalui mekanisme Heavily Indebted Poor Country (HIPC) yang diinisiasi oleh Bank Dunia dan IMF sejak tahun 1996.
Program-program tersebut telah dilaksanakan dalam jangka waktu yang tidak singkat. Dan saat ini sudah bisa dilihat bagaimana efektifitas atau hasil yang dicapai dari program-program tersebut untuk menngurangi kemiskinan
Menarik untuk dianalisis mengapa setelah tujuh tahun MDGs dilaksanakan justru krisis pangan yang terjadi. Apakah strategi pembangunan global untuk mengatasi kemiskinan tersebut telah gagal? Lalu bagaimana dengan program-program poverty reduction yang berkaitan dengan hutang, apakah bisa menjadi strategi pembangunan yang efektif dalam mengurangi kemiskinan?
DEFINISI TENTANG KEMISKINAN
Ketika orang mendengar kata kemiskinan maka biasanya yang akan terpikirkan adalah kondisi seseorang yang kekurangan uang atau sumber daya material. Namun sebenarnya mengartikan kemiskinan tidak sesederhana itu. Kemiskinan lebih kompleks dari yang kita bayangkan. Untuk mendifinisikannya saja tidak ada ukuran yang seragam, terlebih lagi untuk melihat penyebab dari kemiskinan. Hal ini berdampak orang memmakai startegi yang berbeda-beda untuk mengatasi maslah kemiskinan. Tetapi yang perlu dicatat bahwa identifikasi yang salah terhadap penyebab kemiskinan akan melahirkan strategi yang salah dan tidak akan bisa menyelesaikan masalah.
Cermin dari kegagalan upaya poverty reduction selama ini bisa jadi berasal dari kesalahan yang cukup mendasar, yakni kegagalan untuk memahami apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan kemiskinan.[1] Secara garis besar kita mengenal ada dua jenis macam kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut merupakan kondisi dimana seseorang berada dalam kondisi kekurangan sumber daya untuk mempertahankan hidupnya. Kemiskinan absolut identik dengan kurang terpenuhinya kebutuhan dasar hidup, misalnya makanan, pakaian, atau tempat tinggal. Sedangkan kemiskinan relatif merupakan kondisi dimana seseorang kekurangan sumberdaya untuk mengikuti pola hidup yang sesuai dengan keadaan umum atau normal yang ada di lingkungannya pada waktu tertentu.[2]
Kemiskinan absolut dahulunya juga terjadi di wilayah-wilayah yang kita kenal sebagai negara maju sekarang, seperti Inggris atau Amerika Serikat namun jumlahnya semakin menurun. Berbeda dengan kondisi di negara-negara dunia ketiga dimana masalah kemiskinan absolut masih banyak terjadi. Pada kenyatannya pemahaman kemiskinan dalam artian absolut lebih dominan. Definisi kemiskinan absolut inilah yang kemudian dijadikan indikator pengukuran tentang kemiskinan.
Dalam prakteknya pemahaman tentang kemiskinan memunculkan bentuk pengukuran yang berbeda-beda. Ada beberapa jenis pengukuran, diantaranya income poverty (IP) seperti US$1 atau US$2 standard yang dikembangkan oleh Bank Dunia atau 80% kalori minimum yang ditetapkan oleh FAO-WHO dan human poverty index (HPI) yang dikembangkan oleh UNDP.[3]
Dari beberapa jenis pengukuran tersebut IP menjadi yang paling ”populer” meskipun HPI memiliki indikator yang lebih kompleks. Penilaian HPI dibangun diatas tiga ukuran. Pertama, ukuran harapan hidup yang diukur melalui prosentase orang yang meninggal dibawah usia 40 tahun. Kedua, indikator pengetahuan yang dihitung dari prosentase angka buta huruf. Ketiga, ukuran standar hidup yang dinilai dari akses terhadap pelayanan kesehatan, akses terhadap air bersih dan prosesntase balita yang mengalami kekurangan gizi.
Namun yang lebih sering dilakukan ketika mengidentifikasikan kemiskinan kita akan lebih sering merujuk pada sejumlah orang yang berpendapatan kurang dari $1 atau $2 per hari. Seperti yang digunakan sebagai acuan dalam MDGs sejak tahun 2000 the international poverty line telah dipatok pada angka $1.08 per hari berdasarkan pada nilai index purchasing power parity (PPP) tahun 1993.[4] Dampak dari identifikasi kemiskinan tersebut adalah munculnya strategi poverty reduction yang berorientasi pada upaya untuk meningkatkan pendapatan perkapita.
Millennium Development Goals (MDGs): “Resep” untuk Mengatasi Kemiskinan Global
Seperti telah dikatakan di awal bahwa MDGs merupakan komitmen global yang menunjukkan bahwa masalah kemiskinan menjadi perhatian utama masyarakat dunia. Bahkan dalam goal 1 dicantumkan bahwa tujuan dari MDGs adalah menghapuskan extreme poverty dan kelaparan. Target yang dipegang adalah pada tahun 2015 berhasil mengurangi angka kemiskinan ekstrim sampai setengah jumlahnya di tahun 1990. dan pada tahun 2004 dilaporkan bahwa angka kemiskinan ekstrim (berpenghasilan dibawah 1$ per hari) menurun dari 1,25 milyar orang di tahun 1990 menjadi 980 juta orang.
Satu hal menarik yang perlu dicatat dalam laporan tersebut juga menyatakan bahwa hasil-hasil pertumbuhan ekonomi dan proses pembangunan yang selama ini diterapkan terutama di negara dunia ketiga tidak bisa dibagai secara merata. Ternyata proses pembangunan dan industrialisasi yang diterapkan di negara-negara dunia ketiga justru menghasilkan kesenjangan yang semakin lebar antara kelompok paling miskin dan kelompok kaya.
To some extent, these situations reflect the fact that the benefits of economic growth in the developing world have been unequally shared. Widening income inequality is of particular concern in Eastern Asia, where the share of consumption of the poorest people declined dramatically between 1990 and 2004. Most economies have failed to provide employment opportunities to their youth, with young people more than three times as likely as adults to be unemployed (UN, 2007).[5]
Fakta tersebut juga sesuai dengan apa yang terjadi di Indonesia. Data menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia justru meningkat dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75% pada tahun 2006 dan mencapai angka 34,2 juta (17,3%) di akhir tahun 2007. Tingkat pengangguran juga meningkat dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005 dan di tahun 2007 sejumlah 10,55 juta (9,75%) orang.
Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun meningkat yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005. Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin turun dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama.
Apa ada yang salah dengan strategi pembangunan yang telah diterapkan selama ini? Model pembangunan yang kemudian disebut sebagai orthodox development theory oleh Rostow dalam The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto menggambarkan bahwa “What is modern is good and what is traditional is bad. Development means becoming modern like the West”. Model pembangunan tersebut menjadi teori pembangunan yang terbaik dan paling berpengaruh di tahun 1950-an dan 1960-an (Foster-Carter, 1976).[6] Model pembangunan ini ternyata menimbulkan masalah pada periode berikutnya.
Bagi para pengkritiknya, tahap-tahap pembangunan yang digambarkan oleh Rostow dan bercermin pada pengalaman pembangunan dan industrialisasi barat tidak bisa menjadi acuan universal bagi strategi pembangunan di seluruh dunia. Jika mengacu pada model pembangunan yang digambarkan Rostow akan membuat seluruh manusia bagaimanapun kondisi lingkungan, sosial, maupun budayanya harus menuju perubahan ke tahap industrialisasi dan modernisasi seperti yang digambarkan di negara-negara maju saat ini. Dengan demikian mengabaikan nilai-nilai pluralitas lokal dimana setiap kelompok masyarakat mungkin memiliki nilai dan definisi terhadap tujuan “pembangunan” yang berbeda.
Bukti nyata bagaiman kegagalan model dan kebijakan pembangunan yang selama ini dipraktekkan dan menunjukkan hasil yang berbeda diantaranya bagaimana kebijakan industrialisasi dalam pembangunan justru mengakibatkan pencemaran lingkungan dan krisis energi dunia. Bahkan sejak era pembangunan global tahap pertama di tahun 1960-an di negara-negara dunia ketiga justru menimbulkan kesenjangan dan masih belum terselesaikannya masalah kemiskinan yang ada di sana. Dengan demikian, model pembangunan yang mungkin berhasil dilakukan di negara-negara barat balum tentu sesuai dan efektif untuk dijadikan acuan dalam menyusun startegi pembanguna di negara-negara dunia ketiga.
Dalam perkembangan sekarang ethical development mainstreaming sudah menunjukkan perkembangan terutama di negara-negara dunia ketiga. Misalnya dalam MDG’s telah memunculkan upaya gender equality sedang diupayakan meskipun dalam perspektif libertarian. Program pembangunan yang tidak hanya memacu pertumbuhan ekonomi seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan menjadi prioritas dalam MDGs sejalan dengan upaya pengentasan kemiskinan global. Terlihat bahwa upaya-upaya untuk mengatasi kemiskinan tidak lagi bertumpu pada industrialisasi dan modernisasi.
Meskipun dilaporkan setiap tahun bahwa program-program yang dijalankan menunjukkan kemajuan, mengapa MDGs juga masih belum bisa menghasilkan perubahan yang signifikan sampai saat ini? Setelah tujuh tahun berjalan kedelapan goals yang dirancang sebagai program pembangunan untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan justru muncul kondisi krisis pangan dunia. Apkah kesalahan hanya diakibatkan oleh kurang ditaatinya komitmen bersama tersebut oleh negara-negara maju yang harus menyisihkan sebesar 0,7% dari GDP-nya untuk MDGs?
Hutang dan Pinjaman Lunak sebagai Strategi Operasional untuk Mengurangi Kemiskinan Global
Jika diamatis ecara keseluruhan, MDGs merupakan program internasional untuk mengurangi kemiskinan global dengan memberikan pinjaman kepada negara-negara dunia ketiga (developing and least developing countries). Semangat ’charity’ yang menjadi komitmen negara-negara maju kemudian diimplementasikan dalam bentuk pemberian ODA kepada negara-negara dunia ketiga yang memiliki masalah kemiskinan ekstrim.
Developed countries need to deliver fully on longstanding commitments to achieve the official development assistance (ODA) target of 0.7 per cent of gross national income (GNI) by 2015(UN, 2007)[7]
Penyaluran ODA bisa dilakukan secara bilateral maupun melalui lembaga-lembaga multilateral seperti IMF dan Bnak Dunia. Dalam grafik berikut ditunjukkan bahwa alokasi ODA yang terbesar dalam MDGs digunakan untuk memberikan penghapusan hutang. Namun komitmen untuk “menyumbangkan” bagian dari PDB yang tadinya memiliki target 0,7% hanya terealisasi kurang dari 0,35% seperti ditunjukkan dalam grafik berikut.
Sumber: United Nations, The Millennium Development Goals Report 2007
Instrument utama yang dijadikan acuan oleh pihak donor untuk memberikan pinjaman ODA kepada dalam kerangka MDGs adalah Poverty Reduction Strategy Papers (PRSP). PRSP merupakan basis operasional bagi IMF dan Bank Dunia untuk memberikan pinjaman lunak atau pun memberikan penghapusan hutang bagi negara-negara yang dianggap memerlukannya. Secara normatif PRSP merupakan panduan yang sangat bagus bagi upaya poverty reduction. Hal ini tercermin dalam prinsip utama yang harus ada dalam PRSP yaitu country driven, result oriented, comprehensive, partnership-oriented, dan long term perspective.[8]
Bentuk pinjaman yang diberikan berdasarkan PRSP biasanya dilakukan melalui “Poverty Reduction and Growth Facility” (PRGF). Sedangkan penghapusan hutang dilakukan melalui mekanisme Heavily Indebted Poor Countries (HIPC). Meskipun keduanya memiliki tujuan yang sangat bertentangan namun anehnya seringkali kedua mekanisme tersebut, baik PRGF maupun HIPC memiliki persyaratan yang sama yaitu privatisasi.
Conditions that HIPCs must meet on the path to “completion point” include a wide range of reforms regarding public expenditure management and governance and health and education targets, as well as so-called “structural reforms” which involve instructions on how to run various sectors of the economy or government, privatization of select industries or utilities, and trade and financial sector liberalization through removal of tariffs or deregulation.[9]
Persayaratan-persyaratan tersebut sejalan dengan Washington Consensus yang menjadi dasar setiap kebijakan IMF dan Bank Dunia.[10]
Pengalaman di beberapa negara yang telah menerima inisiatif tersebut hamper seragam. Zambia harus melakukan privatisasi terhadap bank nasionalnya. Nikaragua harus melakukan privatisasi di sektor listrik yang mengakibatkan kenaikan tarif listrik sebesar 20% yang justru membebani masyarakat miskin.[11] Sedangkan di Sierra Leone privatisasi dilakukan di hampir semua sektor strategis seperti air, energi dan komunikasi yang melibatkan 24 perusahaan milik negara.
Bagi negara-negara Afrika, mekanisme-mekanisme tersebut dianggap telah digunakan oleh lembaga kreditor untuk mendiktekan kebijakan ekonomi yang harus dilakukan di negara mereka. Sejalan dengan komentar yang diberikan oleh berbagai NGO seperti Jubilee South, Focus on the Global South, AWEPON, dan the Centor do Estudios Internacionales yang melihat fenomena poverty reduction program yang dilakukan oleh IMF dan Bank Dunia justru didominasi oleh pendesakan kebijakan liberalisasi di berbagai sektor.
"Fighting poverty becomes the newest justification for the aging prescriptions geared to increasing the overall opening of the "host country" to external economic actors and free market rules."[12]
Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Liberalisasi yang terjadi di sektor perbankan, energi dan air telah lama terjadi. Namun di sisi lain pinjaman lembaga donor internasional maupun dalam kerangka ODA yang diberikan secara bilateral keduanya berjalan beriringan. Sejak tahun 1980an melalui Rural Development Program sampai sekarang menjadi Kecamatan Development Program dan Urban Poverty Project ditujukan untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Apa yang Salah dengan MDGs?
Melihat strategi pembangunan yang dilakukan dunia internasional untuk mengatasi masalah kemiskinan global ada beberapa hal yang bisa diidentifikasikan sebagai ”kesalahan” yang menyebabkan upaya tersebut tidak berhasil. Pertama, meskipun kerangka program pembangunan MDGs merupakan inisiatif baru namun sama seperti strategi-strategi pemabngunan sebelumnya yang menggantungkan pada hutang atau pinjaman kepada negara-negara dunia ketiga sebagai instrumennya. Bahkan sejak Marshal Plan atau sejak dicetuskannya Resolusi PBB no 200 pada tanggal 4 Desember strategi program pembangunan yang serupa sudah dilaksanakan. Pemberian pinjamna atau bantuan internasional sejak awal telah dijadikan instrumen untuk mewujudkan rencana pembangunan.[13]
Bagaimana kita bisa berhasil mengatasi kemiskinan dengan instrumen yang sama telah menciptakan kemiskinan? Pengalaman di banyak negara dunia ketiga mengatakan bahwa hutang menimbulakan banyak implikasi negatif. Pembayaran hutang menuntut pemotongan bagi alokasi anggaran pada sektor pendidikan, kesehatan, dan pengeluaran-pengeluaran sosial lainnya. Seperti yang dijelaskan oleh Noreena Hertz:
As a consequence of having to pay its debts, a country is unable to guarantee its citizens subsistence levels of food, water, clothing and shelter and basic health care and education.[14]
Cutbacks in education and health care budget as the consequences of structural adjustment program will make people (especially the poor) get more suffer. When health care isn’t free or parents have to pay more to sent their children to go to school are the root causes of poverty.[15]
Pemotongan alokasi anggaran kesehatan dan pendidikan tersebut merupakan konsekuensi dari Structural Adjustment yang sering disyaratkan oleh lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk mencapai target ekonomi makro seperti yang mereka harapkan.
Baik IMF dan Bank Dunia memiliki peran sebagai “credit community enforcer” yang berusaha menstimulasi penarikan pinjaman yang dilakukan oleh negara-negara miskin. Pinjaman dengan resiko tinggi tersebut ditawarkan dan ketika krisis terjadi mereka datang dengan menawarkan pinjaman melalui program dan skema yang berbeda.[16] IMF akan lebih banyak mengurus kebijakan moneter dan menerapkan balance of payments dalam manajemen krisis, sedangkan Bank Dunia akan lebih banyak menyalurkan pinjaman untuk dana pembangunan.
Kedua, pengalaman di banyak negara dunia ketiga menunjukkan bahwa proses liberalisasi dan privatisasi ternyata semakin kuat didesakkan. Menurut IMF dan Bank Dunia (berdasarkan Washington Consensus) kedua hal tersebut menjadi syarat mutlak jika program pengentasan kemiskinan bisa “berhasil”. Utnuk menilai benar atau salah pernyataan tersebut mungkin kita bisa melihat fakta-fakta yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian Washington Consensus menciptakan trend baru bagi model pembangunan. Dahulu Rostow memperkenalkan tahap-tahap pembangunan sebagai model untuk mengarah pada industrialisasi, sekarang IMF dan Bank Dunia menciptakan model pembangunan yang mengarah pada privatisasi dan liberalisasi.
KESIMPULAN
Kemiskinan ternyata menjadi masalah yang sulit untuk diatasi. Keberagaman dalam mendefinisikannya dan kesalahan dalam menentukan faktor penyebabnya menjadi alasan mengapa selama ini program poverty reduction tidak bisa berjalan dengan efektif. Sebagai komitmen global untuk mengatasi masalah kemiskinan, MDGs ternyata tidak sepenuhnya diimplementasikan melalui strategi yang berbeda. Penjelasan diatas menemukan fakta bahwa dalam MDGs pun pinjaman, hutang, dan bantuan luar negri masih menjadi instrumen utama masyarakat internasional untuk menyebarkan strategi pembangunan melalui berabgai macam mekanisme. Liberalisasi dan privatisasi yang secara structural membuat masyarakat miskin semakin terpinggirkan juga semakin gencar dilakukan. Dua hal tersebut bisa jadi menjadi factor yang sebenarnya menyebabkan mengapa berbagai macam strategi global untuk mengatasi kemiskinan tidak juga berhasil. Jika kita mampu mengubah startegi yang “salah” tersebut mungkit suatu saat nanti kemiskinan akan bisa benar-benar dihapuskan.
Di tengah derasnya arus globalisasi masyarakat dunia tetap mengahdapi stu masalah besar yang masih belum bisa terpecahkan, yaitu kemiskinan. Isu kemiskinan masih menjadi perhatian utama masyarakat dunia. Arus globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi ternyata tidak berkorelasi positif terhadap penurunan jumlah masyarakat miskin di dunia tetapi justru tidak hanya meningkatkan jumlah masyarakat miskin di dunia melainkan juga kesenjangan yang semakin lebar antara penduduk kaya dan miskin. Pada tahun 2001 tercatat masih ada sekitar 800 juta masyarakat dunia yang kekurangan pangan dan di tahun 2005 UNDP mencatat sekitar 3 milyar orang di dunia hidup kurang dari US$ 2 per hari.
Banyak upaya dan strategi pembangunan yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Masyarakat internasional telah sepakat melakukan upaya dalam sebuah komitmen global yang dinamakan Millennium Development Goals (MDGs). Pada tahun 2000, para pemimpin dari 189 negara sepakat untuk mengentaskan kemiskinan dengan mengadopsi UN Millennium Declaration pada 2000 Millennium Summit di New York, Amerika Serikat. Dalam deklarasi tersebutlah tercantum komitmen MDGs. MDGs terdiri dari 8 goals, 18 target, dan lebih dari 40 indikator dalam berbagai aspek pembangunan ekonomi dan sosial yang mesti dicapai oleh semua negara pada tahun 2015.
Selain melalui PBB, strategi lain juga diterapkan oleh International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Melalui Poverty Reduction Strategy Paper (PRSP) yang pertama kali dicetuskan sejak tahun 1999 oleh kedua lembaga tersebut menjadi basis operasional bagi program-program pengentasan kemiskinan oleh Bank Dunia dan IMF. Yang menarik dari PRSP ini adalah dua jenis program pembangunan yang ditawarkan oleh IMF dan Bank Dunia untuk mengatasi kemiskinan berhubungan dengan pinjaman atau hutang. Pertama, berupa pinjaman lunak yang diberikan IMF dalam skema Poverty Reduction and Growth Facility (PRGF) pinjaman yang diberikan oleh Bank Dunia dalam melalui Poverty Reduction Support Credit (PRSC). Kedua, PRSP dijadikan dasar penghapusan hutang (debt relief) melalui mekanisme Heavily Indebted Poor Country (HIPC) yang diinisiasi oleh Bank Dunia dan IMF sejak tahun 1996.
Program-program tersebut telah dilaksanakan dalam jangka waktu yang tidak singkat. Dan saat ini sudah bisa dilihat bagaimana efektifitas atau hasil yang dicapai dari program-program tersebut untuk menngurangi kemiskinan
Menarik untuk dianalisis mengapa setelah tujuh tahun MDGs dilaksanakan justru krisis pangan yang terjadi. Apakah strategi pembangunan global untuk mengatasi kemiskinan tersebut telah gagal? Lalu bagaimana dengan program-program poverty reduction yang berkaitan dengan hutang, apakah bisa menjadi strategi pembangunan yang efektif dalam mengurangi kemiskinan?
DEFINISI TENTANG KEMISKINAN
Ketika orang mendengar kata kemiskinan maka biasanya yang akan terpikirkan adalah kondisi seseorang yang kekurangan uang atau sumber daya material. Namun sebenarnya mengartikan kemiskinan tidak sesederhana itu. Kemiskinan lebih kompleks dari yang kita bayangkan. Untuk mendifinisikannya saja tidak ada ukuran yang seragam, terlebih lagi untuk melihat penyebab dari kemiskinan. Hal ini berdampak orang memmakai startegi yang berbeda-beda untuk mengatasi maslah kemiskinan. Tetapi yang perlu dicatat bahwa identifikasi yang salah terhadap penyebab kemiskinan akan melahirkan strategi yang salah dan tidak akan bisa menyelesaikan masalah.
Cermin dari kegagalan upaya poverty reduction selama ini bisa jadi berasal dari kesalahan yang cukup mendasar, yakni kegagalan untuk memahami apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan kemiskinan.[1] Secara garis besar kita mengenal ada dua jenis macam kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut merupakan kondisi dimana seseorang berada dalam kondisi kekurangan sumber daya untuk mempertahankan hidupnya. Kemiskinan absolut identik dengan kurang terpenuhinya kebutuhan dasar hidup, misalnya makanan, pakaian, atau tempat tinggal. Sedangkan kemiskinan relatif merupakan kondisi dimana seseorang kekurangan sumberdaya untuk mengikuti pola hidup yang sesuai dengan keadaan umum atau normal yang ada di lingkungannya pada waktu tertentu.[2]
Kemiskinan absolut dahulunya juga terjadi di wilayah-wilayah yang kita kenal sebagai negara maju sekarang, seperti Inggris atau Amerika Serikat namun jumlahnya semakin menurun. Berbeda dengan kondisi di negara-negara dunia ketiga dimana masalah kemiskinan absolut masih banyak terjadi. Pada kenyatannya pemahaman kemiskinan dalam artian absolut lebih dominan. Definisi kemiskinan absolut inilah yang kemudian dijadikan indikator pengukuran tentang kemiskinan.
Dalam prakteknya pemahaman tentang kemiskinan memunculkan bentuk pengukuran yang berbeda-beda. Ada beberapa jenis pengukuran, diantaranya income poverty (IP) seperti US$1 atau US$2 standard yang dikembangkan oleh Bank Dunia atau 80% kalori minimum yang ditetapkan oleh FAO-WHO dan human poverty index (HPI) yang dikembangkan oleh UNDP.[3]
Dari beberapa jenis pengukuran tersebut IP menjadi yang paling ”populer” meskipun HPI memiliki indikator yang lebih kompleks. Penilaian HPI dibangun diatas tiga ukuran. Pertama, ukuran harapan hidup yang diukur melalui prosentase orang yang meninggal dibawah usia 40 tahun. Kedua, indikator pengetahuan yang dihitung dari prosentase angka buta huruf. Ketiga, ukuran standar hidup yang dinilai dari akses terhadap pelayanan kesehatan, akses terhadap air bersih dan prosesntase balita yang mengalami kekurangan gizi.
Namun yang lebih sering dilakukan ketika mengidentifikasikan kemiskinan kita akan lebih sering merujuk pada sejumlah orang yang berpendapatan kurang dari $1 atau $2 per hari. Seperti yang digunakan sebagai acuan dalam MDGs sejak tahun 2000 the international poverty line telah dipatok pada angka $1.08 per hari berdasarkan pada nilai index purchasing power parity (PPP) tahun 1993.[4] Dampak dari identifikasi kemiskinan tersebut adalah munculnya strategi poverty reduction yang berorientasi pada upaya untuk meningkatkan pendapatan perkapita.
Millennium Development Goals (MDGs): “Resep” untuk Mengatasi Kemiskinan Global
Seperti telah dikatakan di awal bahwa MDGs merupakan komitmen global yang menunjukkan bahwa masalah kemiskinan menjadi perhatian utama masyarakat dunia. Bahkan dalam goal 1 dicantumkan bahwa tujuan dari MDGs adalah menghapuskan extreme poverty dan kelaparan. Target yang dipegang adalah pada tahun 2015 berhasil mengurangi angka kemiskinan ekstrim sampai setengah jumlahnya di tahun 1990. dan pada tahun 2004 dilaporkan bahwa angka kemiskinan ekstrim (berpenghasilan dibawah 1$ per hari) menurun dari 1,25 milyar orang di tahun 1990 menjadi 980 juta orang.
Satu hal menarik yang perlu dicatat dalam laporan tersebut juga menyatakan bahwa hasil-hasil pertumbuhan ekonomi dan proses pembangunan yang selama ini diterapkan terutama di negara dunia ketiga tidak bisa dibagai secara merata. Ternyata proses pembangunan dan industrialisasi yang diterapkan di negara-negara dunia ketiga justru menghasilkan kesenjangan yang semakin lebar antara kelompok paling miskin dan kelompok kaya.
To some extent, these situations reflect the fact that the benefits of economic growth in the developing world have been unequally shared. Widening income inequality is of particular concern in Eastern Asia, where the share of consumption of the poorest people declined dramatically between 1990 and 2004. Most economies have failed to provide employment opportunities to their youth, with young people more than three times as likely as adults to be unemployed (UN, 2007).[5]
Fakta tersebut juga sesuai dengan apa yang terjadi di Indonesia. Data menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia justru meningkat dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75% pada tahun 2006 dan mencapai angka 34,2 juta (17,3%) di akhir tahun 2007. Tingkat pengangguran juga meningkat dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005 dan di tahun 2007 sejumlah 10,55 juta (9,75%) orang.
Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun meningkat yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005. Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin turun dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama.
Apa ada yang salah dengan strategi pembangunan yang telah diterapkan selama ini? Model pembangunan yang kemudian disebut sebagai orthodox development theory oleh Rostow dalam The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto menggambarkan bahwa “What is modern is good and what is traditional is bad. Development means becoming modern like the West”. Model pembangunan tersebut menjadi teori pembangunan yang terbaik dan paling berpengaruh di tahun 1950-an dan 1960-an (Foster-Carter, 1976).[6] Model pembangunan ini ternyata menimbulkan masalah pada periode berikutnya.
Bagi para pengkritiknya, tahap-tahap pembangunan yang digambarkan oleh Rostow dan bercermin pada pengalaman pembangunan dan industrialisasi barat tidak bisa menjadi acuan universal bagi strategi pembangunan di seluruh dunia. Jika mengacu pada model pembangunan yang digambarkan Rostow akan membuat seluruh manusia bagaimanapun kondisi lingkungan, sosial, maupun budayanya harus menuju perubahan ke tahap industrialisasi dan modernisasi seperti yang digambarkan di negara-negara maju saat ini. Dengan demikian mengabaikan nilai-nilai pluralitas lokal dimana setiap kelompok masyarakat mungkin memiliki nilai dan definisi terhadap tujuan “pembangunan” yang berbeda.
Bukti nyata bagaiman kegagalan model dan kebijakan pembangunan yang selama ini dipraktekkan dan menunjukkan hasil yang berbeda diantaranya bagaimana kebijakan industrialisasi dalam pembangunan justru mengakibatkan pencemaran lingkungan dan krisis energi dunia. Bahkan sejak era pembangunan global tahap pertama di tahun 1960-an di negara-negara dunia ketiga justru menimbulkan kesenjangan dan masih belum terselesaikannya masalah kemiskinan yang ada di sana. Dengan demikian, model pembangunan yang mungkin berhasil dilakukan di negara-negara barat balum tentu sesuai dan efektif untuk dijadikan acuan dalam menyusun startegi pembanguna di negara-negara dunia ketiga.
Dalam perkembangan sekarang ethical development mainstreaming sudah menunjukkan perkembangan terutama di negara-negara dunia ketiga. Misalnya dalam MDG’s telah memunculkan upaya gender equality sedang diupayakan meskipun dalam perspektif libertarian. Program pembangunan yang tidak hanya memacu pertumbuhan ekonomi seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan menjadi prioritas dalam MDGs sejalan dengan upaya pengentasan kemiskinan global. Terlihat bahwa upaya-upaya untuk mengatasi kemiskinan tidak lagi bertumpu pada industrialisasi dan modernisasi.
Meskipun dilaporkan setiap tahun bahwa program-program yang dijalankan menunjukkan kemajuan, mengapa MDGs juga masih belum bisa menghasilkan perubahan yang signifikan sampai saat ini? Setelah tujuh tahun berjalan kedelapan goals yang dirancang sebagai program pembangunan untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan justru muncul kondisi krisis pangan dunia. Apkah kesalahan hanya diakibatkan oleh kurang ditaatinya komitmen bersama tersebut oleh negara-negara maju yang harus menyisihkan sebesar 0,7% dari GDP-nya untuk MDGs?
Hutang dan Pinjaman Lunak sebagai Strategi Operasional untuk Mengurangi Kemiskinan Global
Jika diamatis ecara keseluruhan, MDGs merupakan program internasional untuk mengurangi kemiskinan global dengan memberikan pinjaman kepada negara-negara dunia ketiga (developing and least developing countries). Semangat ’charity’ yang menjadi komitmen negara-negara maju kemudian diimplementasikan dalam bentuk pemberian ODA kepada negara-negara dunia ketiga yang memiliki masalah kemiskinan ekstrim.
Developed countries need to deliver fully on longstanding commitments to achieve the official development assistance (ODA) target of 0.7 per cent of gross national income (GNI) by 2015(UN, 2007)[7]
Penyaluran ODA bisa dilakukan secara bilateral maupun melalui lembaga-lembaga multilateral seperti IMF dan Bnak Dunia. Dalam grafik berikut ditunjukkan bahwa alokasi ODA yang terbesar dalam MDGs digunakan untuk memberikan penghapusan hutang. Namun komitmen untuk “menyumbangkan” bagian dari PDB yang tadinya memiliki target 0,7% hanya terealisasi kurang dari 0,35% seperti ditunjukkan dalam grafik berikut.
Sumber: United Nations, The Millennium Development Goals Report 2007
Instrument utama yang dijadikan acuan oleh pihak donor untuk memberikan pinjaman ODA kepada dalam kerangka MDGs adalah Poverty Reduction Strategy Papers (PRSP). PRSP merupakan basis operasional bagi IMF dan Bank Dunia untuk memberikan pinjaman lunak atau pun memberikan penghapusan hutang bagi negara-negara yang dianggap memerlukannya. Secara normatif PRSP merupakan panduan yang sangat bagus bagi upaya poverty reduction. Hal ini tercermin dalam prinsip utama yang harus ada dalam PRSP yaitu country driven, result oriented, comprehensive, partnership-oriented, dan long term perspective.[8]
Bentuk pinjaman yang diberikan berdasarkan PRSP biasanya dilakukan melalui “Poverty Reduction and Growth Facility” (PRGF). Sedangkan penghapusan hutang dilakukan melalui mekanisme Heavily Indebted Poor Countries (HIPC). Meskipun keduanya memiliki tujuan yang sangat bertentangan namun anehnya seringkali kedua mekanisme tersebut, baik PRGF maupun HIPC memiliki persyaratan yang sama yaitu privatisasi.
Conditions that HIPCs must meet on the path to “completion point” include a wide range of reforms regarding public expenditure management and governance and health and education targets, as well as so-called “structural reforms” which involve instructions on how to run various sectors of the economy or government, privatization of select industries or utilities, and trade and financial sector liberalization through removal of tariffs or deregulation.[9]
Persayaratan-persyaratan tersebut sejalan dengan Washington Consensus yang menjadi dasar setiap kebijakan IMF dan Bank Dunia.[10]
Pengalaman di beberapa negara yang telah menerima inisiatif tersebut hamper seragam. Zambia harus melakukan privatisasi terhadap bank nasionalnya. Nikaragua harus melakukan privatisasi di sektor listrik yang mengakibatkan kenaikan tarif listrik sebesar 20% yang justru membebani masyarakat miskin.[11] Sedangkan di Sierra Leone privatisasi dilakukan di hampir semua sektor strategis seperti air, energi dan komunikasi yang melibatkan 24 perusahaan milik negara.
Bagi negara-negara Afrika, mekanisme-mekanisme tersebut dianggap telah digunakan oleh lembaga kreditor untuk mendiktekan kebijakan ekonomi yang harus dilakukan di negara mereka. Sejalan dengan komentar yang diberikan oleh berbagai NGO seperti Jubilee South, Focus on the Global South, AWEPON, dan the Centor do Estudios Internacionales yang melihat fenomena poverty reduction program yang dilakukan oleh IMF dan Bank Dunia justru didominasi oleh pendesakan kebijakan liberalisasi di berbagai sektor.
"Fighting poverty becomes the newest justification for the aging prescriptions geared to increasing the overall opening of the "host country" to external economic actors and free market rules."[12]
Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Liberalisasi yang terjadi di sektor perbankan, energi dan air telah lama terjadi. Namun di sisi lain pinjaman lembaga donor internasional maupun dalam kerangka ODA yang diberikan secara bilateral keduanya berjalan beriringan. Sejak tahun 1980an melalui Rural Development Program sampai sekarang menjadi Kecamatan Development Program dan Urban Poverty Project ditujukan untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Apa yang Salah dengan MDGs?
Melihat strategi pembangunan yang dilakukan dunia internasional untuk mengatasi masalah kemiskinan global ada beberapa hal yang bisa diidentifikasikan sebagai ”kesalahan” yang menyebabkan upaya tersebut tidak berhasil. Pertama, meskipun kerangka program pembangunan MDGs merupakan inisiatif baru namun sama seperti strategi-strategi pemabngunan sebelumnya yang menggantungkan pada hutang atau pinjaman kepada negara-negara dunia ketiga sebagai instrumennya. Bahkan sejak Marshal Plan atau sejak dicetuskannya Resolusi PBB no 200 pada tanggal 4 Desember strategi program pembangunan yang serupa sudah dilaksanakan. Pemberian pinjamna atau bantuan internasional sejak awal telah dijadikan instrumen untuk mewujudkan rencana pembangunan.[13]
Bagaimana kita bisa berhasil mengatasi kemiskinan dengan instrumen yang sama telah menciptakan kemiskinan? Pengalaman di banyak negara dunia ketiga mengatakan bahwa hutang menimbulakan banyak implikasi negatif. Pembayaran hutang menuntut pemotongan bagi alokasi anggaran pada sektor pendidikan, kesehatan, dan pengeluaran-pengeluaran sosial lainnya. Seperti yang dijelaskan oleh Noreena Hertz:
As a consequence of having to pay its debts, a country is unable to guarantee its citizens subsistence levels of food, water, clothing and shelter and basic health care and education.[14]
Cutbacks in education and health care budget as the consequences of structural adjustment program will make people (especially the poor) get more suffer. When health care isn’t free or parents have to pay more to sent their children to go to school are the root causes of poverty.[15]
Pemotongan alokasi anggaran kesehatan dan pendidikan tersebut merupakan konsekuensi dari Structural Adjustment yang sering disyaratkan oleh lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk mencapai target ekonomi makro seperti yang mereka harapkan.
Baik IMF dan Bank Dunia memiliki peran sebagai “credit community enforcer” yang berusaha menstimulasi penarikan pinjaman yang dilakukan oleh negara-negara miskin. Pinjaman dengan resiko tinggi tersebut ditawarkan dan ketika krisis terjadi mereka datang dengan menawarkan pinjaman melalui program dan skema yang berbeda.[16] IMF akan lebih banyak mengurus kebijakan moneter dan menerapkan balance of payments dalam manajemen krisis, sedangkan Bank Dunia akan lebih banyak menyalurkan pinjaman untuk dana pembangunan.
Kedua, pengalaman di banyak negara dunia ketiga menunjukkan bahwa proses liberalisasi dan privatisasi ternyata semakin kuat didesakkan. Menurut IMF dan Bank Dunia (berdasarkan Washington Consensus) kedua hal tersebut menjadi syarat mutlak jika program pengentasan kemiskinan bisa “berhasil”. Utnuk menilai benar atau salah pernyataan tersebut mungkin kita bisa melihat fakta-fakta yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian Washington Consensus menciptakan trend baru bagi model pembangunan. Dahulu Rostow memperkenalkan tahap-tahap pembangunan sebagai model untuk mengarah pada industrialisasi, sekarang IMF dan Bank Dunia menciptakan model pembangunan yang mengarah pada privatisasi dan liberalisasi.
KESIMPULAN
Kemiskinan ternyata menjadi masalah yang sulit untuk diatasi. Keberagaman dalam mendefinisikannya dan kesalahan dalam menentukan faktor penyebabnya menjadi alasan mengapa selama ini program poverty reduction tidak bisa berjalan dengan efektif. Sebagai komitmen global untuk mengatasi masalah kemiskinan, MDGs ternyata tidak sepenuhnya diimplementasikan melalui strategi yang berbeda. Penjelasan diatas menemukan fakta bahwa dalam MDGs pun pinjaman, hutang, dan bantuan luar negri masih menjadi instrumen utama masyarakat internasional untuk menyebarkan strategi pembangunan melalui berabgai macam mekanisme. Liberalisasi dan privatisasi yang secara structural membuat masyarakat miskin semakin terpinggirkan juga semakin gencar dilakukan. Dua hal tersebut bisa jadi menjadi factor yang sebenarnya menyebabkan mengapa berbagai macam strategi global untuk mengatasi kemiskinan tidak juga berhasil. Jika kita mampu mengubah startegi yang “salah” tersebut mungkit suatu saat nanti kemiskinan akan bisa benar-benar dihapuskan.
Minggu, 01 Juni 2008
HUTANG DAN PEMBANGUNAN
Banyak negara-negara dunia ketiga sekarang dihadapkan pada satu masalah yang sama, yaitu hutang luar negeri. Jika ingin melihat kaitan antara hutang luar negeri dan pembangunan atau untuk menjawab pertanyaan apakah hutang luar negeri memang dibutuhkan untuk membantu proses pembangunan di negara-negara dunia ketiga atau tidak, maka kita harus melihat seperti apa bentuk-bentuk hutang luar negeri yang diterima oleh negara-negara dunia ketiga serta bagaimana dampaknya bagi negara tersebut (negara debitor.
Hutang luar negeri merupakan bagian dari aliran modal dari wilayah atau negara-negara maju (developed region) ke negara-negara yang belum berkembang (less developed region). Dalam sejarahnya pada awal abad ke-19, aliran modal ini digunakan oleh Inggris untuk melakukan pembangunan di negara-negara koloninya di Amerika utara, Afrika selatan, dan Australasia. Pada dekade 1920 sampai dengan tahun 1930-an, perkembangan aliran modal ini lebih banyak dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat ke negara-negara Amerika Latin. Pada masa tersebut pinjaman yang diberikan kepada negara-negara di Amerika Selatan adalah dalam bentuk surat utang (bonds) melalui bonds market dan pemegang surat utang secara individu ini tersebar di banyak negara.[1]
Setelah berakhirnya Perang Dunia kedua bentuk aliran pinjaman ke negara-negara dunia ketiga mulai berubah. Mengikuti keberhasilan Marshall Plan untuk pembangunan Eropa yang hancur akibat perang, Amerika Serikat dan negara-negara maju menyediakan pinjaman untuk pembnagunan negara-negara dunia ketiga dalam bentuk foreign aid atau official development assistance (ODA). Beberapa dari foreign aid yang diberikan tersebut dalam bentuk grant atau hibah namun sebagian besar merupakan pinjaman lunak (concessional loan). Jumlah dari ODA yang ditransfer ke negara-negara dunia ketiga semakin besar pada masa tahun 1950-1970 seiring dengan semkain masifnya industrialisasi di negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka.[2] Tujuan dari ODA yang diberikan kepada negara-negara dunia ketiga adalah sebagai berikut:
Official development assistance was supposed to aid the take-off into self-sustaining growth which Rostow had identified as the pivotal stage in the development process(Rostow, 1960). Foreign aid would plug the gap.[3]
Namun di sisi lain, sejak kemunculannya pasca Perang Dunia II, berbagai macam bentuk pinjaman dan bantuan luar negeri yang diberikan negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dinilai memiliki kepentingan politik dan ekonomi bagi pihak kreditor. Bahkan ketika Marshal Plan menjadi sebuah ide baru dalam ‘foreign aid’ sudah dinilai memiliki banyak kepentingan ekonomi Amerika selain kepentingan geopolitik dalam situasi perang dingin.[4]
Beginning with Marshal Plan when it was new aid concept, which included a sort of preferential credit that generally benefited the supplier of aid more than recipient.[5]
Marshal Plan generosity: much of the money so provided came back to the USA for the purchase of food , raw materials and capital goods. It was thus a powerful stimulant to American Economy.[6]
Hasil dari penelitian di empat negara di Amerika Latin (Columbia, Chile, Brazil, dan Peru), Teresa Hayter menyimpulkan bahwa hutang luar negeri pada dasarnya bukanlah transfer sumbar daya yang bebas bersyarat. Menurut Hayter ada beberapa hal yang biasa dipersyaratkan dalam pemberian hutang luar negeri. Pertama, pembelian barang dan jasa dari negara pemberi pinjaman. Kedua, peniadaan kebebasan untuk melakukan kebijakan ekonomi tertentu. Ketiga, permintaan untuk melakukan kebijakan ekonomi yang dikehendaki oleh pemberi pinjaman, terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur tangan negara dalam ekonomi.[7]
Dalam sejarahnya pemberian bantuan atau pinjaman sarat dengan berbagai macam kepentingan. Utang merupakan sarana bagi negara-negara kreditor untuk memutar kelebihan modal yang mereka miliki agar tidak menimbulkan masalah jika disimpan di dalam negeri. Oleh karena itu mereka membutuhkan lahan di luar negeri untuk ”menginvestasikan” kelebihan modal tersebut. Susan Strange menjelaskan bahwa pinjaman yang diberikan oleh IMF tidak diberikan bagi negara yang dinilai memerlukan atau negara yang paling taat dengan aturan IMF namun diperuntukkan bagi negara yang masalah ekonominya akan berpotensi untuk mengganggu stabilitas ekonomi internasional (Strange, 1973). Dengan demikian bukan hanya dorongan untuk “mendanai” pembangunan di negara-negara dunia ketiga tetapi hutang juga merupakan instrumen ekonomi politik yang digunakan oleh negara-negara kreditor.
Bagaimana dengan kondisi negara-negara dunia ketiga yang menjadi debitor? Tidak dipungkiri memang ada proses pembangunan yang berasal dari kontribusi pinjaman atau hutang yang diberikan oleh negara-negara kreditor. Namun di sisi lain justru implikasi negatif yang lebih dominan dialami oleh negara-negara debitor. Meningkatnya suku bunga dan nilai tukar membuat jumlah hutang lama semakin membengkak dan membuat negara debitor membayar jumlah yang jauh lebih banyak dari jumlah awal hutang mereka. Dari data yang dikeluarkan oleh Jubilee USA[8] pada tahun 2007 membuktikan bahwa sejak tahun 1970-2002, negara-negara di Afrika telaah menerima pinjaman sebesar $540 milyar dan telah membayar sebesar $550 milyar untuk utang pokok dan bunganya namun mereka masih memiliki beban hutang sebesar $295 milyar yang masih harus dibayar. Tidak hanya sampai disitu, negara-negara di Afrika juga menghabiskan uang lebih banyak untuk membayar hutang daripada berbagai jenis bantuan kemanusiaan yang mereka terima.
Implikasi negatif lainnya bagi negara-negara dunia ketiga yang disebabkan oleh hutang luar negeri adalah membuat negara-negara tersebut membatasi pengeluaran sosial sebagai konsekuensi pembayaran beban hutang yang ada dalam anggaran belanja negara. Seperti yang dijelaskan oleh Noreena Hertz:
As a consequence of having to pay its debts, a country is unable to guarantee its citizens subsistence levels of food, water, clothing and shelter and basic health care and education.[9]
Cutbacks in education and health care budget as the consequences of structural adjustment program will make people (especially the poor) get more suffer. When health care isn’t free or parents have to pay more to sent their children to go to school are the root causes of poverty.[10]
Pemotongan alokasi anggaran kesehatan dan pendidikan tersebut merupakan konsekuensi dari Structural Adjustment yang sering disyaratkan oleh lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk mencapai target ekonomi makro seperti yang mereka harapkan.
Munculnya wacana debt trap ditanggapi oleh IMF dan Bank Dunia dengan mengeluarkan inisiatif baru yaitu mekanisme Heavily Indebted Poor Countries (HIPC) pada tahun 1996 untuk menghapuskan hutang bagi negara-negara yang tergolong sangat miskin. Namun mekanisme ini tetap mensyaratkan hal yang sama dengan penarikan hutang. Liberalisasi dan privatisasi masih menjadi syarat utama jika sebuah negara ingin menghapuskan hutangnya. Logika penarikan hutang untuk menutupi defisit neraca pembayaran (balance of payment) yang umum terjadi di negara-negara dunia ketiga ternyata telah menunjukkan negative transfer karena jumlah penarikan hutang yang lebih kecil dari jumlah pembayaran hutang. Di Indonesia, situasi arus pinjaman luar negeri (sejak tahun 1970-an) menunjukkan besar cicilan hutang dan bunga pinjaman semakin besar sedangkan pinjaman bersih yang masuk dan dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan semakin kecil.[11]
Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan net-negative transfer yang terjadi di Indonesia. Pertama, meskipun pinjaman belum dicairkan pihak debitor sudah harus membayar commitment fee[12] yang besarnya sekitar 1% dari jumlah utang yang telah disepakati. Commitment Fee, yaitu fee yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman (lender) atas komitmen pinjaman yang telah diberikan dan telah dituangkan dalam loan agreement. Pemberian pinjaman oleh negara kreditor tidak serta merta langsung dilakukan. Sampai dengan tahun 2005 baru 44% dari total jumlah pinjaman yang disepakati yang sudah dicairkan. Namun pemerintah tetap harus membayar biaya komitmen dari pinjaman yang belum dicairkan, artinya bahkan kita harus membayar untuk sesuatu yang belum kita terima. Kedua, bunga utang dan berbagai macam bentuk ’fee’ lainnya yang harus dibayar oleh kreditor. Ketiga, perbedaan nilai uang (net present value) pada saat pembayaran pinjaman membuat jumlah utang yang disesuaikan dengan nilai uang saat itu bisa meningkatkan jumlah hutang yang harus dibayar daripada jumlah aslinya.
Pada perkembangannya sekarang tidak hanya digunakan untuk membiayai pembangunan pinjaman luar negeri juga digunakan sebagai instrumen untuk mengurangi kemiskinan dalam program-program Bank Dunia sebagai langkah untuk mewujudkan Millennium Development Goals. Di Indonesia sendiri diantaranya ada dua proyek Bank Dunia yang ditujukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengurangi kemiskinan yaitu Kecamatan Development Project (PPK) dan Urban Poverty Project (P2KP).[13] Lalu bagaimana keberhasilan program ini dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia?
Data mengenai kondisi Indonesia menunjukkan bahwa ternyata kemiskinan meningkat dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75% pada tahun 2006. Tingkat pengangguran pun juga meningkat dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005. Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun meningkat yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005. Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin turun dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama. Hingga akhir 2007 ini, jumlah pengangguran pun masih sekitar 10,55 juta jiwa atau 9,75%, sedangkan angka kemiskinan masih bertengger sekitar 34,2 juta orang atau 17,3%.
Di tengah kondisi tersebut setiap tahunnya Indonesia masih mengalami defisit dalam anggaran belanja negaranya (2,1% tahun 2008 yang naik dari 1,5% di tahun 2007). Defisit anggaran inilah yang menjadi alasan pemerintah untuk terus menarik pinjaman baru. Dengan kata lain Indonesai akan terus terjebak dalam beban hutang luar negeri. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan yang dibiayai oleh hutang ternyata hanya menimbulkan ketergantungan dan debt trap bagi negara-negara dunia ketiga. Di sisi lain, upaya untuk mengurangi kemiskinan justru meningkatkan angka kemiskinan serta meningkatkan rasio ketimpangan penduduk miskin.
[1] Stuart Corbridge, Debt and Development, Oxford: Blackwell, 1993. p. 24-25
[2] Ibid, p. 26
[3] Ibid.
[4] Lihat dalam Jacques B. Gelinas, Freedom from Debt, London: Zed Books Ltd, 1998. p 5-6.
[5] Ibid. p. 5.
[6] J.K. Galbraith, A Journey Through Economic Time, p. 147 dalam Gelinas, p. 6
[7] Lihat Teresa Hayter, Aid as Imperialism, 1971 dalam Revrisond Baswir, Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme Indonesia, 2007.
[8] Jubilee USA merupakan bagian dari Jubilee Network, yaitu kelompok NGO yang memiliki perhatian dan berusaha untuk menyerukan penghapusan hutang haram (odious debt) di negara-negara dunia ketiga.
[9] Noreena Hertz, The Debt Threat, New York: HarperCollins Publisher Inc., 2004, p. 184.
[10] Ibid, p.148.
[11] Lihat dalam Sritua Arief dan Adi Sasono, Modal Asing, Beban Hutang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1987, p.23.
[12] Commitment fee merupakan salah satu beban yang ditanggung oleh debitor di luar hutang pokok dan bunganya. Fee lain yang juga harus dibayar yaitu administration fee, front end fee; dan Agent Fee. Lihat dalam Sanuri, Pinjaman Luar Negeri Pemerintah: Loan Agreement hingga Restrukturisasi, Direktorat Luar Negeri Bagian Export Import, Bank Indonesia, 2005.
[13] PPK dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1998. PPK dan P2KP saat ini dimasukkan dalam bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri sebagai instrumen yang dipercaya oleh pemerintah mampu mengurangi kemiskinan di Indonesia.
Hutang luar negeri merupakan bagian dari aliran modal dari wilayah atau negara-negara maju (developed region) ke negara-negara yang belum berkembang (less developed region). Dalam sejarahnya pada awal abad ke-19, aliran modal ini digunakan oleh Inggris untuk melakukan pembangunan di negara-negara koloninya di Amerika utara, Afrika selatan, dan Australasia. Pada dekade 1920 sampai dengan tahun 1930-an, perkembangan aliran modal ini lebih banyak dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat ke negara-negara Amerika Latin. Pada masa tersebut pinjaman yang diberikan kepada negara-negara di Amerika Selatan adalah dalam bentuk surat utang (bonds) melalui bonds market dan pemegang surat utang secara individu ini tersebar di banyak negara.[1]
Setelah berakhirnya Perang Dunia kedua bentuk aliran pinjaman ke negara-negara dunia ketiga mulai berubah. Mengikuti keberhasilan Marshall Plan untuk pembangunan Eropa yang hancur akibat perang, Amerika Serikat dan negara-negara maju menyediakan pinjaman untuk pembnagunan negara-negara dunia ketiga dalam bentuk foreign aid atau official development assistance (ODA). Beberapa dari foreign aid yang diberikan tersebut dalam bentuk grant atau hibah namun sebagian besar merupakan pinjaman lunak (concessional loan). Jumlah dari ODA yang ditransfer ke negara-negara dunia ketiga semakin besar pada masa tahun 1950-1970 seiring dengan semkain masifnya industrialisasi di negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka.[2] Tujuan dari ODA yang diberikan kepada negara-negara dunia ketiga adalah sebagai berikut:
Official development assistance was supposed to aid the take-off into self-sustaining growth which Rostow had identified as the pivotal stage in the development process(Rostow, 1960). Foreign aid would plug the gap.[3]
Namun di sisi lain, sejak kemunculannya pasca Perang Dunia II, berbagai macam bentuk pinjaman dan bantuan luar negeri yang diberikan negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dinilai memiliki kepentingan politik dan ekonomi bagi pihak kreditor. Bahkan ketika Marshal Plan menjadi sebuah ide baru dalam ‘foreign aid’ sudah dinilai memiliki banyak kepentingan ekonomi Amerika selain kepentingan geopolitik dalam situasi perang dingin.[4]
Beginning with Marshal Plan when it was new aid concept, which included a sort of preferential credit that generally benefited the supplier of aid more than recipient.[5]
Marshal Plan generosity: much of the money so provided came back to the USA for the purchase of food , raw materials and capital goods. It was thus a powerful stimulant to American Economy.[6]
Hasil dari penelitian di empat negara di Amerika Latin (Columbia, Chile, Brazil, dan Peru), Teresa Hayter menyimpulkan bahwa hutang luar negeri pada dasarnya bukanlah transfer sumbar daya yang bebas bersyarat. Menurut Hayter ada beberapa hal yang biasa dipersyaratkan dalam pemberian hutang luar negeri. Pertama, pembelian barang dan jasa dari negara pemberi pinjaman. Kedua, peniadaan kebebasan untuk melakukan kebijakan ekonomi tertentu. Ketiga, permintaan untuk melakukan kebijakan ekonomi yang dikehendaki oleh pemberi pinjaman, terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur tangan negara dalam ekonomi.[7]
Dalam sejarahnya pemberian bantuan atau pinjaman sarat dengan berbagai macam kepentingan. Utang merupakan sarana bagi negara-negara kreditor untuk memutar kelebihan modal yang mereka miliki agar tidak menimbulkan masalah jika disimpan di dalam negeri. Oleh karena itu mereka membutuhkan lahan di luar negeri untuk ”menginvestasikan” kelebihan modal tersebut. Susan Strange menjelaskan bahwa pinjaman yang diberikan oleh IMF tidak diberikan bagi negara yang dinilai memerlukan atau negara yang paling taat dengan aturan IMF namun diperuntukkan bagi negara yang masalah ekonominya akan berpotensi untuk mengganggu stabilitas ekonomi internasional (Strange, 1973). Dengan demikian bukan hanya dorongan untuk “mendanai” pembangunan di negara-negara dunia ketiga tetapi hutang juga merupakan instrumen ekonomi politik yang digunakan oleh negara-negara kreditor.
Bagaimana dengan kondisi negara-negara dunia ketiga yang menjadi debitor? Tidak dipungkiri memang ada proses pembangunan yang berasal dari kontribusi pinjaman atau hutang yang diberikan oleh negara-negara kreditor. Namun di sisi lain justru implikasi negatif yang lebih dominan dialami oleh negara-negara debitor. Meningkatnya suku bunga dan nilai tukar membuat jumlah hutang lama semakin membengkak dan membuat negara debitor membayar jumlah yang jauh lebih banyak dari jumlah awal hutang mereka. Dari data yang dikeluarkan oleh Jubilee USA[8] pada tahun 2007 membuktikan bahwa sejak tahun 1970-2002, negara-negara di Afrika telaah menerima pinjaman sebesar $540 milyar dan telah membayar sebesar $550 milyar untuk utang pokok dan bunganya namun mereka masih memiliki beban hutang sebesar $295 milyar yang masih harus dibayar. Tidak hanya sampai disitu, negara-negara di Afrika juga menghabiskan uang lebih banyak untuk membayar hutang daripada berbagai jenis bantuan kemanusiaan yang mereka terima.
Implikasi negatif lainnya bagi negara-negara dunia ketiga yang disebabkan oleh hutang luar negeri adalah membuat negara-negara tersebut membatasi pengeluaran sosial sebagai konsekuensi pembayaran beban hutang yang ada dalam anggaran belanja negara. Seperti yang dijelaskan oleh Noreena Hertz:
As a consequence of having to pay its debts, a country is unable to guarantee its citizens subsistence levels of food, water, clothing and shelter and basic health care and education.[9]
Cutbacks in education and health care budget as the consequences of structural adjustment program will make people (especially the poor) get more suffer. When health care isn’t free or parents have to pay more to sent their children to go to school are the root causes of poverty.[10]
Pemotongan alokasi anggaran kesehatan dan pendidikan tersebut merupakan konsekuensi dari Structural Adjustment yang sering disyaratkan oleh lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk mencapai target ekonomi makro seperti yang mereka harapkan.
Munculnya wacana debt trap ditanggapi oleh IMF dan Bank Dunia dengan mengeluarkan inisiatif baru yaitu mekanisme Heavily Indebted Poor Countries (HIPC) pada tahun 1996 untuk menghapuskan hutang bagi negara-negara yang tergolong sangat miskin. Namun mekanisme ini tetap mensyaratkan hal yang sama dengan penarikan hutang. Liberalisasi dan privatisasi masih menjadi syarat utama jika sebuah negara ingin menghapuskan hutangnya. Logika penarikan hutang untuk menutupi defisit neraca pembayaran (balance of payment) yang umum terjadi di negara-negara dunia ketiga ternyata telah menunjukkan negative transfer karena jumlah penarikan hutang yang lebih kecil dari jumlah pembayaran hutang. Di Indonesia, situasi arus pinjaman luar negeri (sejak tahun 1970-an) menunjukkan besar cicilan hutang dan bunga pinjaman semakin besar sedangkan pinjaman bersih yang masuk dan dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan semakin kecil.[11]
Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan net-negative transfer yang terjadi di Indonesia. Pertama, meskipun pinjaman belum dicairkan pihak debitor sudah harus membayar commitment fee[12] yang besarnya sekitar 1% dari jumlah utang yang telah disepakati. Commitment Fee, yaitu fee yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman (lender) atas komitmen pinjaman yang telah diberikan dan telah dituangkan dalam loan agreement. Pemberian pinjaman oleh negara kreditor tidak serta merta langsung dilakukan. Sampai dengan tahun 2005 baru 44% dari total jumlah pinjaman yang disepakati yang sudah dicairkan. Namun pemerintah tetap harus membayar biaya komitmen dari pinjaman yang belum dicairkan, artinya bahkan kita harus membayar untuk sesuatu yang belum kita terima. Kedua, bunga utang dan berbagai macam bentuk ’fee’ lainnya yang harus dibayar oleh kreditor. Ketiga, perbedaan nilai uang (net present value) pada saat pembayaran pinjaman membuat jumlah utang yang disesuaikan dengan nilai uang saat itu bisa meningkatkan jumlah hutang yang harus dibayar daripada jumlah aslinya.
Pada perkembangannya sekarang tidak hanya digunakan untuk membiayai pembangunan pinjaman luar negeri juga digunakan sebagai instrumen untuk mengurangi kemiskinan dalam program-program Bank Dunia sebagai langkah untuk mewujudkan Millennium Development Goals. Di Indonesia sendiri diantaranya ada dua proyek Bank Dunia yang ditujukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengurangi kemiskinan yaitu Kecamatan Development Project (PPK) dan Urban Poverty Project (P2KP).[13] Lalu bagaimana keberhasilan program ini dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia?
Data mengenai kondisi Indonesia menunjukkan bahwa ternyata kemiskinan meningkat dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75% pada tahun 2006. Tingkat pengangguran pun juga meningkat dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005. Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun meningkat yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005. Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin turun dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama. Hingga akhir 2007 ini, jumlah pengangguran pun masih sekitar 10,55 juta jiwa atau 9,75%, sedangkan angka kemiskinan masih bertengger sekitar 34,2 juta orang atau 17,3%.
Di tengah kondisi tersebut setiap tahunnya Indonesia masih mengalami defisit dalam anggaran belanja negaranya (2,1% tahun 2008 yang naik dari 1,5% di tahun 2007). Defisit anggaran inilah yang menjadi alasan pemerintah untuk terus menarik pinjaman baru. Dengan kata lain Indonesai akan terus terjebak dalam beban hutang luar negeri. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan yang dibiayai oleh hutang ternyata hanya menimbulkan ketergantungan dan debt trap bagi negara-negara dunia ketiga. Di sisi lain, upaya untuk mengurangi kemiskinan justru meningkatkan angka kemiskinan serta meningkatkan rasio ketimpangan penduduk miskin.
[1] Stuart Corbridge, Debt and Development, Oxford: Blackwell, 1993. p. 24-25
[2] Ibid, p. 26
[3] Ibid.
[4] Lihat dalam Jacques B. Gelinas, Freedom from Debt, London: Zed Books Ltd, 1998. p 5-6.
[5] Ibid. p. 5.
[6] J.K. Galbraith, A Journey Through Economic Time, p. 147 dalam Gelinas, p. 6
[7] Lihat Teresa Hayter, Aid as Imperialism, 1971 dalam Revrisond Baswir, Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme Indonesia, 2007.
[8] Jubilee USA merupakan bagian dari Jubilee Network, yaitu kelompok NGO yang memiliki perhatian dan berusaha untuk menyerukan penghapusan hutang haram (odious debt) di negara-negara dunia ketiga.
[9] Noreena Hertz, The Debt Threat, New York: HarperCollins Publisher Inc., 2004, p. 184.
[10] Ibid, p.148.
[11] Lihat dalam Sritua Arief dan Adi Sasono, Modal Asing, Beban Hutang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1987, p.23.
[12] Commitment fee merupakan salah satu beban yang ditanggung oleh debitor di luar hutang pokok dan bunganya. Fee lain yang juga harus dibayar yaitu administration fee, front end fee; dan Agent Fee. Lihat dalam Sanuri, Pinjaman Luar Negeri Pemerintah: Loan Agreement hingga Restrukturisasi, Direktorat Luar Negeri Bagian Export Import, Bank Indonesia, 2005.
[13] PPK dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1998. PPK dan P2KP saat ini dimasukkan dalam bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri sebagai instrumen yang dipercaya oleh pemerintah mampu mengurangi kemiskinan di Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)