Kamis, 29 Mei 2008

IKLAN, eksploitasi, DAN FEMINITAS

IKLAN, eksploitasi, DAN FEMINITAS

Melihat tampilan perempuan dalam iklan, ada banyak pertanyaan yang menggelitik pikiran saya. Bertolak dari anggapan eksploitasi terhadap perempuan –khususnya “kecantikan” wajah dan tubuh-, saya justru berfikir apakah maksud dari “eksploitasi” itu sendiri? Apakah model dalam iklan tersebut merasa dieksploitasi? Atau dia hanya menggunakan potensi yang dimilikinya dan kebetulan tampak dari wajah dan tubuhnya untuk mendapatkan uang? Kalaupun dia menggunakan kecantikannya sebagai cara untuk mendapatkan ketenaran haruskah itu disalahkan?

Dari kaca mata postmodern sudah tidak jelas lagi mana subjek maupun objeknya, siapa yang “mengeksploitasi” dan “dieksploitasi”, siapa yang “melecehkan’ dan “dilecehkan”. Mungkin dapat dibilang penampilan wanita “cantik” dalam iklan ini justru mengeksploitasi laki-laki. Dengan demikian laki-laki secara tidak sadar akan terdoktrin bagaimana image wanita cantik itu.

Menurut saya ada masalah yang lebih penting selain eksploitasi itu sendiri. Dalam hal ini adalah internalisasi nilai-nilai keperempuanan yang secara sadar atau pun tidak sudah diterima perempuan sejak kecil yang cenderung patriarchal. Tidak diragukan lagi sejak kecil baik melalui keluarga maupun lingkungan ada nilai, sikap atau norma tertentu yang dianggap patut dimiliki seorang perempuan. Salah satu contoh adalah bagaimana perempuan harus merawat wajah, tubuh, dan menjaga kecantikannya. Namun ketika perempuan memanfaatkan kecantikannya untuk mendapatkan uang –contohnya sebagai model iklan- justru dianggap merendahkan harkat dan martabat dirinya sebagai perempuan. Kenapa tidak dinilai bahwa perempuan memanfaatkan kecantikan itu seperti laki-laki memanfaatkan kekuatan fisiknya dalam bekerja. Tentu saja perempuan tidak memiliki kekuatan fisik seperti laki-laki, begitu juga sebaliknya laki-laki tidak memiliki kecantikan fisik seperti perempuan.

Dengan menganggap rendah penggunaan kecantikan perempuan dalam iklan menurut saya justru menilai rendah nilai-nilai feminitas. Apakah anggapan penampilan wanita cantik dalam iklan merupakan bentuk eksploitasi dan merendahkan harkat dan martabat wanita memang benar-benar berasal dari bentuk pemikiran kaum perempuan sendiri yang ingin meningkatkan harkat perempuan? Jangan-jangan anggapan eksploitasi ini justru dihembuskan olah kaum laki-laki yang kawatir akan tersainginya nilai-nilai maskulin oleh feminitas dalam sector publik?

Meskipun demikian bukan berarti saya setuju bahwa kecantikan fisik digunakan sebagai variable utama untuk mengukur kualitas perempuan. Ironisnya iklan kosmetik bagi perempuan justru lebih banyak muncul dari pada laki-laki, seakan-akan perempuan tak habis-habisnya untuk selalu di permak agar bentuk dan penampilannya secantik seperti yang diinginkan laki-laki (layaknya sebuah barang yang memiliki cacat dan harus selalu diperbaiki)

Seperti bagaimana laki-laki menciptakan image wanita yang dianggap cantik sehingga kecantikan justru menjadi alat represi bagi wanita seperti yang diungkapkan oleh Naomi Wolf, memang kapitalisme mendapatkan untung yang sangat besar dalam hal ini. Menggunakan kecantikan sebagai bagian dari usaha dan strategi pemasaran. Seharusnya wanita sendiri sadar dan mampu meng-counter image cantik yang disebarkan media. Selama ini perempuan sendiri terperangkap dalam persepsi tentang perempuan yang ideal berdasarkan cara pandang laki-laki atau yang dinamakan ‘male gazing’.

Semakin biasnya pengertian tentang emansipasi, keadilan gender, dan persamaan hak bagi perempuan dan laki-laki menambah buruk nilai-nilai feminitas. Emansipasi dan persamaan hak cenderung diartikan bahwa perempuan harus mampu melakukan pekerjaan laki-laki. Secara tidak langsung juga berarti bahwa nilai-nilai feminine tetap berada di bawah superioritas maskulin karena perempuan harus menjadi maskulin untuk meningkatkan harkat dan martabatnya. Dalam pengertiannya gender juga lebih cenderung diartikan sebagai jenis kelamin secara biologis. Seharusnya gender merupakan hal yang berkaitan dengan nilai-nilai, norma, dan sikap sehingga feminine tidak harus perempuan dan maskulin juga tidak harus laki-laki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar