GENETICALLY MODIFIED ORGANISM (GMO)
ABSTRACT:
In last two decades, peoples try to develop a technology involving biotechnology to fulfill human need on food. This technology uses genetic engineering method and called Genetically Modified Organism (GMO). By using GMO we can combine between plant genetic material (DNA) and animal gene or bacteria. It shows that GMO could endanger human health and disturb ecological equality. For farmer, GMO caused a lot of problems and it just benefits multinational companies who produce GMO seeds. Further more, GMO also identified as threat for food sovereignty because intellectual property right on GMO bring seeds which are natural resource under control of Multinational Corporation. It can make people or farmer doesn’t have access for food especially seeds.
PENGEMBANGAN GMO UNTUK PERTANIAN
Saat ini masyarakat dunia dihadapkan dalam berkembangnya upaya untuk mengatasi kekurangan pangan. Salah satu bukti bahwa masalah kekurangan pangan menjadi perhatian utama masyarakat internasional saat ini adalah dengan diadopsinya UN Millennium Declaration pada 2000 Millennium Summit di New York, Amerika Serikat. Di dalam deklarasi tersebut terdapat komitmen global yang dinamakan Millennium Development Goals (MDGs). Dalam MDGs ini terdapat 8 goals yang salah satunya yaitu menegntaskan kemiskinan ekstrim dan kelaparan.[1] Selain dalam MDGs, the World Food Summit di tahun 2001 juga menyatakan tujuannya untuk mengurangi setengah dari jumlah orang yang mengalami kelaparan dari 800 juta menjadi 400 juta pada tahun 2015.
Salah satu upaya untuk mengatasi kekurangan pangan adalah dengan mengembangkan bibit dari rekayasa genetika atau GMO. Pengembangan GMO ini dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar internasional yang selama ini memproduksi pupuk dan bahan kimia untuk pertanian lainnya yang digunakan oleh petani di seluruh dunia, seperti DuPont, Monsanto, Astrazeneka, Novartis, dan Aventris atau yang sering disebut sebagai top five agro-biotech companies.[2]
GMO adalah sebuah proses bioteknologi modern yang mengubah karakter sebuah organisme (hewan atau tumbuhan) dengan mentransfer gen dari satu spesies ke spesies lainnya atau bisa juga hanya mengubah gen yang aad dalam spesies itu sendiri. Produk GMO bisa berupa obat-obatan, tanaman, enzim, bahan bakar dan pelarut (etanol).[3] Industri-industri yang mempraktekkan teknologi rekayasa genetik mengklaim bahwa GMO merupakan cara yang bisa dimanfaatkan untuk menyediakan bahan pangan bagi dunia dan juga mengatasi masalah kelaparan dan kekurangan gizi.[4]
GMO dibuat dengan menggunakan teknik biologi molekuler yang memeprboleh kan ilmuwan untuk mengidentifikasi gen-gen khusus, membuat salinan gen tersebut, dan memperkenalkan salinan gen tersebut pada organisme penerima dengan menggunakan alat yang memasukkan gen ke tumbuhan. Saat sel tanaman penerima membelah, DNA baru dari organisme baru tersalin dan dioper ke sel-sel baru di tanaman tersebut. Gen baru inilah yang dapat mempengaruhi keturunan tanaman tersebut[5] Jadi bisa saja kita menggabungkan antara gen hewan dan tumbuhan atau gen tanaman tertentu dengan jenis bakteri tertentu untuk mendapatkan sifat tanaman yang diinginkan. Misalnya menggabungkan tomat dengan gen jenis ikan kutub yang tahan dingin dan ditambah dengan virus tertentu akan menghasilkan tomat GMO baru yang tahan terhadap dingin dan tahan lama.
Secara sadar atau tidak manusia telah banyak mengkonsumsi bahan pangan yang berasal dari produk GMO, seperti kedelai dan jagung. Kedua produk tersebut telah digunakan dalam 60% produk makanan. Bahkan jagung atau kedelai tersebut juga diberikan kepada hewan ternak yang kemudian dikonsumsi manusia. Beberapa produk pertanian GMO yang telah banyak ditanam diantaranya jenis kedelai tahan herbisida (Roundup Ready) yang dikembangkan oleh Monsanto[6], jagung yang tahan terhadap serangan serangga dan herbisida dikembangkan oleh Monsanto, kacang tanah yang tahan virus dikembangkan oleh Balitbio dan tanaman lainnya. Upaya untuk mengembangakan jenis tanaman yang bisa direkayasa secara genetik juga terus berlangsung sampai saat ini.
DAMPAK PENGEMBANGAN PANGAN GMO
Setelah kita tahu bagaimana tanaman GMO dibuat dan dikembangkan selanjutnya melihat bagaimana efek pengembangan GMO pada produk tanaman pangan. Ada dua jenis dampak GMO yang berkaitan dengan kesehatan manusia dan lingkungan. Pertama, apakah produk pangan GMO ini aman bagi manusia. Kedua, bagaimana dampak tanaman GMO bagi lingkungan jika manusia menanam GMO sebagai produk pertanian.
Jika dikonsumsi manusia dan digunakan dalam bahan olahan makanan ternyata GMO memiliki beberapa resiko berbahaya bagi kesehatan manusia. Pertama, proses penggabungan gen tersebut bisa memasukkan bahan-bahan yang berbahaya dan beracun. Penggabungan sifat tadi belum tentu membawa turunan yang aman jika dikonsumsi manusia. Kedua, GMO juga menyebabkan alergi terhadap makanan dan peningkatan resiko terhadap kanker. Ketiga, kualitas nutrisi bahan pangan GMO tidak bisa dijamin dan mungkin juga terjadi kerusakan pada kualitas bahan pangan dan nutrisinya. Hal ini dikarenakan rekaya genetik hanya mempertimbangkan untuk membuat tanaman tahan terhadap serangan serangga, tahan terhadap herbisida atau tahan terhadap virus dan bukan untuk tujuan meningkatkan kandungan nutrisi pada makanan. Keempat, dalam proses penanamannya tanaman GMO ini juga mengalami peningkatan residu pestisida sehingga produk yang dihasilkan juga sangat tidak menyehatkan.[7]
Oleh karena menyadari berbahanya GMO jika dikonsumsi oleh manusia beberaap upaya digunakan untuk melindungi konsumen. Misalnya dengan tuntutan untuk memberikan label pengenal untuk produk-produk GMO dan pelarangan penggunaan bahan pangan GMO dikirimkan untuk bantuan. Konsumen di Eropa juga telah menyatakan menolak produk-produk GMO.[8] Pada bulan Agustus tahun 2002, pemerintah Zambia juga menolak kiriman bantuan kemanusiaan karena berisi jagung yang merupakan produk GMO.
Begitu pula dampaknya bagi lingkungan, ternyata GMO juga lebih banyak memberikan efek buruk bagi lingkungan diantaranya yaitu mengakibatkan polusi genetika, pengaruh buruk bagi ekologi tanah, menciptakan hama super dan rumput super, kehilangan atas keanekaragaman hayati (biodiversity), dan penggusuran varietas lokal karean penggantian secara masal dengan bibit GMO. Penanaman bibit GMO juga tidak menghasilkan panen yang lebih banyak tetapi justru lebih sedikit. Hal ini juga mengurangi kesuburan tanah akibat hilangnya bakteri Bt (Bacillus Thuringieansis) untuk pertanian organik, serta penggunaan bahan kimia yang semakin meningkat.[9]
KEPENTINGAN INDUSTRI BESAR ATAU MENCUKUPI KEBUTUHAN PANGAN?
Dengan melihat berbagai macam dampak buruk pengembangan pangan GMO akan sangat tidak masuk akal kenapa upaya ini masih diteruskan. Muncul kecurigaan-kecurigaan bahwa ada pihak-pihak yang diuntungkan dengan pengembangan GMO. untuk menjawab pertanyaan ini sangat erat kaitannya dengan struktur produksi produk GMO yang dikuasai sekelompok kecil industri besar yang memproduksi asupan pertanian yang digunakan di seluruh dunia. Pertanyaan di atas mendorong kita untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang melakukan pengembangan GMO untuk produk pertanian dan apa yang mereka dapatkan dari ’industrialisasi’ GMO tersebut
Produsen utama GMO merupakan perusahaan-perusahaan besar yang ada di negara maju diantaranya yaitu Monsanto (Amerika Serikat), Syngenta (Swiss), Bayer Cropscience (Jerman), BASF (Jerman), Dow Agrosciense (Amerika Serikat). perusahaan-perusahaan tersebut hanya memiliki sangat sedikit sekali kompetitor. Bisnis bibit global sangat terkonsentrasi selama 20 tahun terakhir dan hanya menyisakan kurang dari 6 perusahaan yang saling bersaing. Monsanto bukan hanya perusahaan terbesar dalam bisnis bibit transgenik, tetapi juga merupakan industri bibit terbesar dunia. Di pertengahan tahun 1970 terdapat 7.000 perusahaan yang memproduksi bibit dan tidak ada salah satu dari perusahaan tersebut yang menguasai sampai 0,5% dari pasar dunia. Sekarang ada 10 perusahaan yang menguasai 49% pasar benih dunia, dan seluruhnya mengembangkan benih GMO secara komersial.[10]
No | Perusahaan | Nilai Penjualan Tahun 2000 (US$) | Penguasaan Pasar Dunia |
1 | Syngenta (Novartis+Zeneca) | 6.100.000.000 | 20% |
2 | Pharmacia (Monsanto) | 4.100.000.000 | 14% |
3 | Aventis (AgrEvo+Rhone Poulenc | 3.400.000.000 | 11% |
4 | BASF (Cyanamid) | 3.400.000.000 | 11% |
5 | DuPont | 2.500.000.000 | 8% |
6 | Bayer | 2.100.000.000 | 7% |
7 | Dow Agroscience | 2.100.000.000 | 7% |
8 | Makhteshim Agan | 675.000.000 | 2% |
9 | Sumitomo | 625.000.000 | 2% |
10 | FMC | 575.000.000 | 2% |
Sumber: FSPI, seperti yang ditulis oleh Khudori dalam ”Neoliberalisme Menumpas Petani”, 2004.
Melalui badan perdaganagn dunia (WTO), setiap produk hasil erkayasa genetika tersebut –termasuk bibit hasil GMO- memperoleh dukungan hak paten melalui kebijakan Trade Related Intelectuall Property Rights (TRIPs). Kebijakan ini ditujukan agar perusahaan-perusahaan transnasional bio-tech tersebut dapat mengontrol pengembangan usaha pertanian. Perlindungan hak paten terhadap benih mengakibatkan perusahaan multinasional menyatakan bahwa benih GMO adalah penemuan baru. Lalu petani harus membayar royalti dan benih menjadi mahal. Tidak hanya benih, biasanya penjualan benih GMO diikuti –biasanya dalam bentuk paket- penjualan produk kima pertanian lainnya yang se-merk dengan benihnya. Dengan demikian perusahaan bisa memonopoli produksi pangan.[11]
Kebijakan hak paten yang tadinya bertujuan untuk melindungi kekayaan intelektual menjadi alat pemukul balik bagi petani. Berbagai kasus pelanggaran hak paten telah dituduhkan kepada petani yang mencoba menangkarkan benih mandiri. Anakan dari benih GMO tidak bisa ditanam lagi karena benih telah dirancang untuk sekali tanam[12] Dalam beberapa kasus perusahaan-perusahaan multinasional tersebut berhak melakukan tuntutan kepada petani yang dianggap melakukan pelanggaran terhadap hak paten yang mereka miliki atas benih GMO yang mereka produksi.[13]
Melalui rekayasa genetik akan memberi kesempatan bagi perusahaan multinasional untuk mencuri bibit-bibit lokal. Metodenya sangat sederhana, petani diprovokasi untuk menanam bibit-bibit hibrida atau modifikasi genetik. Gencarnya kampanye maupun demonstrasi penanaman sampai menyediakan tenaga penyuluh biasanya cukup efektif untuk merubah pola pikir petani.[14] Setelah bibit-bibit ini ditanam secara monokultur akan membuat petani kehilangan akses terhadap bibit lokal dan menjadi tergantung terhadap keberadaan bibit GMO. Dalam hal ini negara juga berperan dengan memberikan lisensi penjualan bibit yang telah dikembangkan kepada korporasi besar.[15]
Jelas sekali pengembangan bibit GMO tidak pernah menguntungkan petani dan hanya menimbulkan relasi ketergantungan. Oleh karena itu bisa disimpulkan keberadaan GMO bukan untuk mencukupi kebutuhan pangan tetapi merupakan upaya industri besar untuk mengeruk keuntungan. Terbukti bahwa GMO juga merupakan bagian korporatokrasi di sektor pertanian yang melibatkan perusahaan multinasional, negara, dan lembaga keuangan dan perdagangan internasional sebagaimana John Perkins menyebutkan bahwa korporatokrasi juga terjadi di berbagai sektor lainnya.[16]
ANCAMAN BAGI KEDAULATAN PANGAN
Konsep keamanan pangan (food security) mulai mengemuka pada tahun 1974 dalam World Food Conference. Setelah mengalami perdebatan panjang akhirnya dalam World Food Summit di tahun 1996 disepakati bahwa manajemen keamanan pangan menjadi tanggung jawab bagi masing-masing negara.[17] Konsep keamanan pangan hanya mencakup ketersediaan bahan pangan yang bisa disediakan melalui perdagangan. Konsep ini masih merupakan fenomena jangka pendek bagi ketersediaan pangan.[18] Dalam perkembangan selanjutnya gerakan petani dan NGO menginginkan konsep yang lebih menyeluruh berkaitan dengan ketersediaan bahan pangan. Oleh karena itu muncullah bentuk kedaulatan pangan yang diperjuangkan gerakan petani maupun NGO, terutama di negara-negara dunia ketiga.
Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memiliki kemampuan memproduksi kebutuhan pokok pangan sendiri secara mandiri. Kedaulatan pangan merupakan prasyarat dari keamanan pangan, maksudnya keamanan pangan mustahil akan tercapai jika kedaulatan pangan tidak ada.[19] Dalam Nyeleni Declaration, kedaulatan pangan didefinisikan sebagai berikut:
” Food sovereignty is the right of peoples to healthy and culturally appropriate food produced through ecologically sound and sustainable methods, and their right to define their own food and agriculture systems.”[20]
Berdasarkan deklarasi tersebut struktur produksi bahan pangan baik mulai proses produksi, distribusi, maupun konsumsi merupakan hak setiap manusia bukannya monopoli perusahaan besar. Dalam WSF tahun 2002 juga disebutkan bahwa kedaulatan mencakup:
“prioritizing local agricultural production to feed the population and the access of women and men farmers to land, water, seeds and credit. Hence the need for agrarian reform, to combat genetically modified organisms (GMOs) to guarantee free access to seeds, and to keep water a public good to be distributed in a sustainable way.”[21]
Kondisi yang terjadi saat ini justru berkebalikan dengan hal tersebut. Hak atas paten tehadap sumber hayati terutama tanaman pangan membuat masyarakat (petani) tidak memiliki akses terhadap bahan pangan (terutama bibit). Hal ini terjadi karena hak paten memberikan hak monopoli terhadap produksi sumber daya hayati.
Semua ini sangat erat berkaitan dengan semakin besarnya gelombang liberalisasi yang dibawa oleh kelompok neoliberalis di segala sektor termasuk sektor pertanian. Bencana terhadap sektor pertanian tradisional yang sebagian besar berkembang di negara-negara dunia ketiga telah dimulai sejak dicetuskannya Agreement on Agriculture (AOA) oleh WTO pada tahun 1995. AOA ternyata tidak hanya berdampak pada perdagangan bahan pangan tetapi juga proses produksi pertanian. Berbagai hasil perundingan WTO ternyata banyak merugikan negara-negara miskin. Arus liberalisasi yang menyebabkan ketimpangan dalam distribusi pendapatan dan kemakmuran akan semakin mendorong terjadinya penentangan terhadap globalisasi dan perdagangan bebas. Fakta diselenggarakannya konferensi World Social Forum di Porto Alegre, Brazil setidaknya membuktikan preposisi ini.[22]
Bentuk gerakan petani sekarang sudah terlembaga secara internasionl. Satu organisasi yang mengkoordinasikan gerakan petani di seluruh dunia yaitu Via Campesina.[23] Mereka ingin menggerakkan perjuangan petani untuk bertahan dari sistem global yang didominasi oleh perusahaan industri pertanian. Inti perjuangan gerakan petani dunia ini adalah agar WTO keluar dari sektor pertanian dan mewujudkan kedaulatan pangan sebagai alternatif program. Salah satunya adalah menghentikan rezim TRIPs yang memberi kesempatan bagi perusahaan besar untuk mendapatkan paten atas bibit.[24] Mereka jugalah yang dalam beberapa tahun terakhir mengkoordinasikan gerakan petani di seluruh dunia untuk mewujudkan kedaulatan pangan salah satunya dengan menentang pengembangan GMO dalam produk pertanian dan bahan pangan.
KESIMPULAN
Pengembangan GMO yang diklaim bertujuan untuk menyelesaikan masalah ketersediaan bahan pangan bagi manusia ternyata memiliki banyak dampak buruk. Produk GMO ini tidak hanay berbahaya bagi kesehatan tetapi juga memiliki efek buruk terhadap lingkungan. Petani juga banyak dirugikan karena struktur produksi GMO bagi produk pertanian ternyata hanya menimbulkan ketergantungan terhadap asupan kimia dan menguntungkan perusahaan multinasional. Isu GMO ancaman bagi kedaulatan pangan mulai digulirkan oleh gerakan petani dan NGO terutama yang berada di negar-negara dunia ketiga. Mereka beranggapan bahwa pengembangan GMO merupakan ancaman bagi kedaulatan pangan masyarakat dunia. Oleh karena itu GMO tidak bisa dianggap sebagai solusi dalam memecahkan masalah kekurangan pangan di dunia.
[1] 8 tujuan dari MDGs meliputi: mengentaskan kemiskinan ekstrim dan kelaparan; mencapai pendidikan dasar universal; mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; mengurangi tingkat kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya; menjamin kelangsungan lingkungan hidup; mengenbangkan kemitraan global untuk pembangunan
[2] Lihat dalam Ali Fahmi dan Muhammad Ikhwan, Bahaya GMO,
[3] Ibid, p. 7. GMO bisa disebut juga Genetically Modified (GM) atau transgenik atau rekayasa genetika.
[4] Choike, GM Food, <http://www.choike.org>
[5] Fahmi dan Ikhwan, op. cit. p. 10.
[6] Di Amerika Selatan jenis kedelai ini telah ditanam di pertanian seluas 16 juta hektar. Jenis kedelai ini juga telah ditanam di Indonesia.
[7] Ibid, p. 14.
[8] Dr. Shahid Zia, GMO, Environment and Food Security, Lok Sanjh Foundation,
[9] Lihat Fahmi dan Ikhwan, op. cit. p. 11-12.
[10] Carmelo Ruiz-Marrero, Latin America: The Downside of the GM Revolution, December 3, 2007, <http://americas.irc-online.org/am/4786>.
[11] Lihat Fahmi dan Ikhwan, op. cit. p. 13.
[12] Eisha Kartini Samon dan Susan Lusiana, Potret Pertanian Padi Pasca 1998: Mitos Kesejahteraan Petani,
[13] Misalnya ksus Percy Schmeiser yang dituntut oleh Monsanto karena dianggap menanam benih GMO hasil produksi Monsanto tanpa ijin. Lihat dalam laporan Center for Food Savety tahun 2005, “Monsanto vs
[14] Ali Fahmi, Sukardi, Ahmad Sopyan et all, Pertanian Organik Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melawan Neoliberalisme,
[15] Misalnya dalam kasus lisensi penjualan padi hibrida varietas Maro yang dikembangkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Padi Deptan, sehingga DuPont berhak memonopoli produksi dan pemasaran bibit tersebut.
[16] Lihat John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, San Fransisco: Berret-Koehler publisher inc. 2004.
[17] Khesab Kadka, Food Sovereignty as People’s Fundamental Rights: Nepalese Perspective, 2005.
[18] Zia, op. cit.
[19] Fahmi, op. cit. p. 14.
[20] Declaration of
[21] Choike, Agriculture and food sovereignty, <http://www.choike.org>.
[22] Budi Winarno, Globalisasi: Wujud Imperialisme Baru,
[23] Koordinator organisasi ini sedang dijabat oleh Henry Saragih yang juga menjabat sebagai Sekjend FSPI
[24] Walden Bello, Free Trade vs Small Farmers, April 27, 2007, <http://fpif.org/fpiftxt/4179>
makasih bikin tugas jadi gampang
BalasHapus